PANJA Harus Percepat Pembahasan RUU Pengadilan Tipikor
ICW bersama Koalisi Penyelamat Pemberantasan Korupsi melakukan konferensi pers pada hari Minggu (30/8) Pk.13.30 WIB. Dalam konferensi pers ini disampaikan dua RILIS MEDIA (dari ICW khusus menyoroti beberapa pasal krusial di RUU Pengadilan Tipikor dan rilis dari KOALISI menyampaikan hasil pemantauan proses pembahasan di Panja selama 3 hari).
Proses awal persidangan PANJA dimulai dengan sebuah catatan buruk. Rapat dilakukan secara tertutup dan didisain jauh dari jangkauan/pengawasan publik. Padahal sifat dari Rancangan Undang-undang (RUU) yang sedang disusun bukanlah sesuatu yang perlu ditutup-tutupi. RUU Pengadilan Tipikor merupakan produk hukum yang bersentuhan langsung dengan kepentingan bangsa, negara dan masyarakat luas. Tentu saja tidak pantas jika dibahas dengan rapat-rapat tertutup.
Pembahasan secara tertutup merupakan bentuk sikap antipengawasan publik, dan antitransparansi dari Panja DPR. Wajar jika masyarakat menilai miring proses pembahasan ini. Persidangan seperti ini cenderung akan membuka kesempatan untuk melakukan deal-deal politik yang tak terpantau dan terawasi. Padahal, Pasal 95 ayat (2) Tatib DPR-RI sebenarnya memungkinkan bagi Rapat Panitia Kerja dilaksanakan secara terbuka.
Selain persoalan proses, pembahasan Panja terkesan sangat lambat. Dari 43 Pasal RUU, baru 14 yang dibahas. Itupun dengan catatan: poin krusial seperti tempat kedudukan pengadilan masih dipending dan dibiarkan mengambang. Tidak begitu jelas saat ini apakah Pengadilan Tipikor akan dibentuk di setiap kabupaten/kota atau di 33 propinsi. Membaca perkembangan RUU Pengadilan Tipikor yang dibahas PANJA, pada
Pasal 3 disebutkan:
"Pengadilan TIndak Pidana Korupsi berkedudukan di setiap kabupaten/kota yang daerah hukumnya meliputi daerah hukum pengadilan negeri yang bersangkutan".
Agaknya, informasi tentang pembentukan di 33 propinsi merupakan pensiasatan pihak tertentu dipanja yang membuat kabur persoalan. Karena informasi yang koalisi dapatkan dari pemantauan, pembentukan di 33 propinsi merupakan tahap awal dari realisasi TEMPAT KEDUDUKAN Pengadilan di setiap kabupaten/kota. Hal ini tentu sangat penting dibaca secara hati-hati.
Hingga sekarang, ICW dan Koalisi tetap menyarankan pembentukan cukup di 5 region utama saja. Berdasarkan perbandingan biaya yang akan dikeluarkan untuk gaji hakim saja bahkan sangat berbeda tajam.
Jika di setiap kabupaten/kota: Gaji hakim Rp. 553, 440 Miliar
Jika di 33 propinsi : Rp. 65,88 Miliar
Jika di 5 region : Rp. 12,12 Miliar
RILIS selengkapnya ada di bawah ini.
--------------------------------------------------------
Press release ICW
PANJA Harus Percepat Pembahasan RUU Pengadilan Tipikor
Rapat Panitia Kerja (Panja) RUU Pengadilan Tindak Pidana Korupsi telah dilakukan selama tiga hari (25,26,28/8 2009). Berdasarkan pemantauan langsung yang dilakukan Koalisi terbukti pembahasan Panja dilakukan secara tertutup dan jauh dari akses publik. Hingga persidangan terakhir di Hotel Aryadutha, Lt.2, Lipo Karawaci Tanggerang beberapa anggota panja belum mempunyai kesamaan informasi terkait dengan batas pembahasan Daftar Inventaris Masalah (DIM) RUU. Salah satu anggota mengatakan sudah masuk DIM 91, namun yang lainnya mengatakan sudah DIM 93 atau 94. (Pemantau Koalisi dilarang masuk ruang sidang).
Berdasarkan dokumen DIM yang dikeluarkan Panitia Khusus (Pansus) DPR RI, DIM 94 mengatur tentang mekanisme seleksi Hakim Ad Hoc (Pasal 14 ayat (1)). Kesepakatan awal panja untuk poin ini belum begitu jelas. Akan tetapi Koalisi mendorong agar mekanisme seleksi baik untuk Hakim karir ataupun hakim ad hoc harus ditentukan secara tegas dan dengan tahapan yang jelas.
§ Setelah dicermati, pengaturan seleksi Hakim Karir tidak diatur dalam RUU. Pada DIM 67 (Pasal 11 ayat (2)) hanya disebutkan: “Hakim karir ditetapkan berdasarkan keputusan Ketua MA”. Hal ini dinilai telah memangkas unsur partisipasi dan pengawasan masyarakat dalam penentuan Hakim Karir.
* UU KPK, pasal 56 ayat (4) sebenarnya telah mengatur kewajiban Ketua MA untuk mengumumkan dan menerima masukan dari masyarakat sebelum mengangkat Hakim karir ataupun hakim ad hoc.
* ICW pernah mengajukan somasi pada Ketua MA terkait dugaan pelanggaran pasal 56 ayat (4) UU KPK ini. Karena saat itu, Ketua MA langsung mengangkat sejumlah hakim bermasalah tanpa mengikuti mekanisme pasal diatas.
* Penghilangan bagian ini sama artinya dengan mengembalikan rezim ketertutupan dan antipengawasan publik di MA.
§ Untuk seleksi Hakim Ad Hoc, Koalisi meminta Panja agar mengatur secara tegas komposisi keterlibatan unsur Komisi Yudisial, Perguruan Tinggi dan masyarakat umum dalam panitia seleksi yang dibentuk Ketua MA. Hal ini penting untuk menghindari pengatasnamaan unsur masyarakat untuk memenuhi formalitas belaka.
* Pembentuk UU dapat mengadopsi proses seleksi pimpinan KPK yang diatur di Pasal 30 dan 31 UU KPK
* Unsur penting yang wajib ada: komposisi keanggotaan pansel; jangka waktu dari satu tahapan ke tahapan lainnya; kewajiban mengumumkan dan menerima masukan masyarakat; nama yang diserahkan pansel ke Ketua MA tinggal ditetapkan (bukan bersifat rekomendasi, karena MA sudah terlibat dalam pansel atas perintah Ketua MA).
Inkonstitusionalitas Pengadilan Umum
Kembali pada prinsip dasar dari Putusan MK Nomor: 012-016-019/PUU-IV/2006 yang membatalkan Pasal 53 UU KPK tentang pembentukan Pengadilan Tipikor, perlu ditegaskan beberapa perintah konstitusional MK terhadap DPR:
a. Putusan MK diambil untuk menghindari ketidakpastian hukum (rechtsonzekerheid) yang dapat mengakibatkan kekacauan dalam pemberantasan korupsi (Hal. 286).
b. Jangan sampai melemahkan semangat pemberantasan korupsi yang telah menjadi musuh bangsa Indonesia (Hal. 286)
c. Pemeriksaan kasus korupsi saat ini yang dilakukan di Pengadilan Umum dan Pengadilan Tipikor merupakan bentuk dualisme, hal ini bertentangan dengan konstitusi. Untuk menghilangkan dualisme, harus dibentuk UU Pengadilan Tipikor sebagai pengadilan khusus satu-satunya yang memeriksa dan memutus perkara korupsi.
Dengan demikian, pembahasan RUU tidak boleh justru memperlemah pengadilan tipikor yang sudah ada. Apalagi jika diarahkan ke Pengadilan Umum. Hal inilah adalah pembangkangan konstitusional oleh DPR dan Pemerintah. Karena itulah, PANJA selain harus mempercepat proses pembahasan RUU Pengadilan Tipikor, dan tidak membajak materi krusial terkait seleksi Hakim karir dan ad hoc, serta dua poin dibawah ini:
Dua Poin krusial lainnya yang kami tekankan adalah Tempat kedudukan pengadilan, dan komposisi Hakim Ad Hoc.
1. Pengadilan cukup dibentuk di 5 region saja.
Hal ini untuk menghindari pelemahan dan pembusukan Pengadilan Tipikor. Pembentukan di 33 propinsi sangat rentan masalah, yakni akan mengancam independensi pengadilan, boros biaya, menyulitkan proses seleksi Hakim Ad Hoc dan Karir yang bermutu.
Berdasarkan penghitungan koalisi, untuk gaji hakim saja, jika dibentuk disemua kab/kota butuh Rp. 553 miliar/th; di 33 propinsi Rp.65,88 miliar/th; dan hanya Rp. 12,1 miliar/th jika di 5 region utama. Tentu saja, Panja harus menghindari terkurasnya keuangan negara, apalagi hasil yang didapatkan sangat mungkin sama buruknya dengan pengadilan umum. Atas dasar itulah, pembentukan di kab/kota atau 33 propinsi, kami nilai tidak realistis dan cacat secara sosiologis.
2. Komposisi Hakim Ad Hoc
Putusan MK sudah secara tegas menyebutkan, bahwa tujuan membentuk UU Pengadilan Tipikor tidak boleh justru semakin memperburuk keadaan dan memperlemah pemberantasan korupsi. Pasal 58, 59 dan 60 UU KPK telah mengatur komposisi yang tegas, yakni 3 Hakim Ad Hoc dan 2 Hakim karir. Atas alasan apapun, Panja tidak boleh merusak sesuatu yang pemberantasan korupsi yang sudah berjalan dengan baik di Pengadilan Tipikor.
Keberadaan hakim ad hoc dalam institusi pengadilan pun bukan hanya terjadi di Pengadilan Tipikor. Lembaga lain seperti Pengadilan Anak, HAM, Niaga, Pajak dan Pengadilan Hubungan Industrial telah menerapkannya. Apalagi, saat ini Pengadilan Tipikor dengan hakim ad hoc yang lebih dominan telah mematahkan virus Mafia Peradilan yang awalnya merupakan kenyataan di pengadilan umum.
Karena itulah, upaya memangkas dan mengurangi keberadan Hakim Ad Hoc samahalnya dengan melecehkan Putusan MK, berupaya melemahkan pemberantasan korupsi, dan bahkan ingin mengembalikan kekuatan Mafia Peradilan.
Atas dasar itulah, kami:
1.
Mendesak Panja DPR melakukan pembahasan RUU secara terbuka dan bertanggungjawab pada publik.
2.
Mendesak Panja mempercepat proses pembahasan dan tidak membajak beberapa substansi utama RUU;
3.
Mendesak Panja mengatur secara tegas:
a.
Komposisi Hakim Ad Hoc dan Karir (3:2) atau (2:1)
b.
Mekanisme seleksi terbuka untuk Hakim karir dan hakim ad hoc.
4.
Menolak keras pembentukan Pengadilan Tipikor di semua kabupaten/kota atau propinsi.
Jakarta, 30 Agustus 2009
Indonesia Corruption Watch
-----------------------------------------------------
Press release KOALISI
Panja Tak Bergairah Bahas RUU Pengadilan Tipikor
Semenjak Rabu, 26 Agustus 2009, Panitia Kerja (Panja) RUU Pengadilan Tipikor, telah memulai membahas daftar inventaris masalah (DIM) RUU Pengadilan Tipikor. Khususnya pembahasan terhadap 10 point krusial, yang sebelumnya belum disepakati di tingkat Panitia Khusus (Pansus). Terdiri dari, judul undang-undang, pengertian hakim karir dan hakim ad hoc, pengertian penuntut umum, kedudukan pengadilan Tipikor, tuntutan ganti rugi yang menjadi dasar tuntutan, kewenangan Pengadilan Tipikor untuk mengadili penggabungan tuntutan ganti rugi yang menjadi dasar dakwaan, kewenangan Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, dan lamanya pemeriksaan. Meski seharusnya Panja hanya membahas materi-materi DIM yang belum disepakati di tingkat Pansus, pada kenyataannya, sidang Panja membahas kembali seluruh materi di dalam DIM. Tindakan ini tentunya sangat buang-buang waktu, karena harus mengulang pembahasan dari awal. Padahal, beberapa materi di dalamnya, sebelumnya sudah disepakati. Lucunya, Panja membuka kembali perdebatan terhadap materi-materi yang sudah disepakati tersebut.
Selain itu, proses pembahasan DIM dilakukan secara tidak urut. Banyak diantara DIM yang tidak kunjung menemui titik kompromi untuk disepakati, dipending untuk diselesaikan pada waktu berikutnya. Sehingga proses pembahasan tidak berjalan sesuai dengan tiap-tiap cluster permasalahan. Melompat-lompat dari satu masalah satu ke masalah lainnya, padahal satu masalah belum terselesaikan dengan utuh. Anehnya lagi, terhadap DIM yang tidak mendapat tanggapan/sanggahan/usulan baru dari fraksi-fraksi, Ketua Panja justru membuka perdebatan terhadap DIM tersebut. seharusnya DIM yang tidak mendapat tanggapan dari fraksi-fraksi, langsung saja diketok untuk disepakati. Akibatnya, pembahasan berlangsung dengan sangat lambat. Waktu habis untuk membahasa hal-hal yang sifatnya tidak subtansial. Seperti usulan dari F. PG, yang sekedar mengusulkan perubahan peristilahan dari hakim ad hoc, menjadi hakim non karier. Lucunya, usulan yang sifatnya redaksional seperti di atas, dapat mengakibatkan pembahasan materi DIM dipending untuk waktu berikutnya.
Meskipun tujuan awal pembahasan dilakukan di luar Gedung DPR, adalah supaya persidangan senantiasa kuorum. Pada kenyatannya, seringkali forum tidak kourum, yang berakibat proses pembahasan molor untuk beberapa waktu lamanya. Dari total 27 orang anggota Panja, persidangan hanya diikuti oleh kurang lebih 15 orang. Waktu 4 hari yang direncankan untuk pembahasan (Rabu, Kamis, Jumat, Sabtu), Panja hanya bersidang 3 hari (Rabu, Kamis, Sabtu). Alasannya, pada Jumat, waktu digunakan untuk Paripurna ulang tahun DPR ke 64, dan rapat internal Komisi III DPR. Proses pembahasan juga belangsung sangat tertutup, mereka sampai harus menyewa ruangan berlapis-lapis. Bahkan di hari pembahasan terakhir, wartawan sama sekali tidak diperkenankan untuk mendekat. Hal ini memerlihatkan, bahwa mereka tidak menginginkan publik mengetahui bagaimana suasana pembahasan di dalam, ataukah memang ada kepentingan koruptif yang hendak diselundupkan dalam proses pembahasan ini.
Hingga Sabtu, 29 Agustus 2009, pembahasan baru menginjak DIM nomor 94, tentang tata cara seleksi hakim tindak pidana korupsi, dari total 219 DIM. Dari 10 point krusial yang dikemukakan oleh Ketua Pansus di atas, Panja sudah menyepakati hal-hal yang terkait dengan judul, dan pengertian-pengertian. Sementara kaitannya dengan kedudukan dan tempat Pengadilan Tipikor, Panja menyepakati kedudukannya berada di lingkungan peradilan umum. Namun terkait dengan tempat pembentukan, kendati dikatakan Pengadilan Tipikor dibentuk di ibukota 33 propinsi, dari verivikasi yang dilakukan diketahui, maksud dari pernyataan ini adalah, untuk pertama kalinya Pengadilan Tipikor dibentuk di ibu kota 33 propinsi, untuk selanjutnya akan dibentuk di tiap ibu kota kabupaten/kota. Akan tetapi, berdasarkan beberapa keterangan dari sejumlah anggota Panja, dan pihak secretariat yang melakukan pencatatan terhadap semua perkembangan proses pembahasan, kesepakatan tersebut sesungguhnya belum fix, artinya dipending, dan akan dibicarakan kembali pada kesempatan berikutnya.
Memerhatikan perkembangan selama berlangsungnya proses pembahasan di tingkat Panja, Koalisi menangkap sinyalemen-sinyalemen adanya upaya untuk menggagalkan penyelesaian pembahasan RUU Pengadilan Tipikor. Sinyalemen ini pun diakui oleh sebagian anggota Panja sendiri, melihat lambatnya dan berputar-putarnya proses pembahasan. Karena itu Koalisi Penyelamat Pemberantasan Korupsi menyatakan:
1. Menolak usulan pembentukan Pengadilan Tipikor di tiap ibu kota kabupaten/kota, dan pembentukan pertama kalinya di tiap ibu kota propinsi. Koalisi menuntut, pembentukan Pengadilan Tipikor cukup di lima wilayah, yang mewakili masing-masing region. Meliputi Jakarta Pusat, Medan, Makassar, Balikpapan, dan Surabaya. Pilihan ini untuk menjawab keterbatasan ketersediaan anggaran dan sumberdaya manusia, mencegah pelokalisiran penanganan kasus korupsi, serta menjaga kekhususan pengadilan Tipikor.
2. Menuntut dipertahankannya komposisi hakim yang fixed number, dengan perbandingan 3 adhoc dan 2 karir. Usulan yang menginginkan hakim karir lebih banyak, atau komposisi hakim ditentukan oleh Ketua PN (Ketua PN adalah ex-officio Ketua Pengadilan Tipikor), adalah usulan dari mereka yang menghendaki Pengadilan Tipikor setengah bubar. Karena dibawah dominasi Pengadilan Negeri. Sementara sebagian besar hakim karir di Pengadilan Negeri, integritasnya masih diragukan.
3. Menuntut Panitia Kerja RUU Pengadilan Tipikor bekerja serius, menyelesaikan pembahasan RUU Pengadilan Tipikor, jika DPR periode ini tidak ingin dikatakan sebagai DPR ‘pembunuh’ pemberantasan korupsi. Karena telah menjadi ‘jagal’ bagi matinya Pengadilan Tipikor.
Pengadilan Tipikor sudah diunjung tanduk, terancam bubar eksistensinya. Oleh karena itu, Koalisi meminta kepada seluruh elemen masyarakat Indonesia, yang tidak menginginkan terus berjayanya para koruptor di negeri ini. Untuk memberikan tekanan politik yang kuat kepada DPR dan Pemerintah, guna segera menyelesaikan pembahasan RUU Pengadilan Tipikor, yang materinya sesuai dengan harapan masyarakat.
Koalisi Penyelamat Pemberantasan Korupsi
(KRHN, ICW, LBH Jakarta, LeIP, MAPPI FH UI, PSHK, TI Indonesia, MTI, YLBHI, ILR, ILRC, IBC, ICEL, PuKAT FH UGM, FITRA, RACA Institute, Wahid Institute, LBH Padang, ICM Yogyakarta, PuSaKo Universitas Andalas, AMAK, KP2KKN Jawa Tengah, Pokja 30 Kaltim, Malang Corruption Watch (MCW), Mata Aceh, Bali Corruption Watch (BCW), SaHDAR Medan, PIAR Kupang, Garut Governance Watch (GGW), PATTIRO Semarang)