Pak SBY, Bicaralah

Kasus ”cicak lawan buaya” benar-benar bak ”opera sabun”. Ceritanya panjang, berbelit, dan setiap episode memunculkan kisah serta konflik baru, dengan tokoh misterius atau antagonis.

Kasus ini melahirkan berbagai analisis, rumor, isu, dan gosip yang merembet ke mana-mana.

Awalnya, saat kasus itu masih sederhana dan belum berkembang, publik menginginkan agar Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) segera mengambil tindakan tegas. Publik ingin SBY membuktikan tekadnya untuk menjadi ”seorang yang berdiri paling depan dalam memberantas korupsi”. Namun, saat SBY tak bertindak dan hanya memberikan keterangan normatif—di tengah kian terbuka perbedaan pendapat para tokoh yang terlibat—pertanyaan publik bergulir kian jauh dan penasaran, di mana posisi SBY dalam kasus ini. Publik juga bertanya-tanya, mengapa SBY, yang biasa cepat tanggap dan menjaga citra, kali ini banyak diam? Akibatnya, lahir berbagai persepsi, analisis, dan spekulasi dibumbui rumor, isu, dan gosip.

Tidak hanya di dalam negeri. Pers luar negeri pun mulai bertanya-tanya ihwal posisi SBY dalam kasus ini. The Wall Street Journal, misalnya, yang biasanya membela kebijakan SBY, juga ikut mempertanyakan sikap SBY melalui tulisan Indonesia Antigraft Showdown: Will the President Support the Anticorruption Commission? (Jumat, 13/11). Tentu saja berbagai analisis, persepsi, dan kabar miring ini menurunkan citra SBY. Survei yang diselenggarakan Lingkar Survei Indonesia (LSI) tanggal 3-9 November menunjukkan citra negatif SBY terus meningkat mencapai 64 persen. Kalau dibiarkan, ada kemungkinan citra SBY terus menukik.

Pak SBY, bicaralah
Kini, tiba saatnya SBY berbicara, mengungkap tuntas semua masalah yang terkait kasus ini. Bicaralah Pak SBY. Kejelasan dari SBY memiliki implikasi luas. Keterangan dari SBY amat bermanfaat, baik untuk kepemimpinannya sendiri maupun untuk kepentingan bangsa.

Penjelasan menyeluruh, mendasar, terbuka, nyata, dan rinci akan menangkis berbagai rumor, isu, dan spekulasi yang ada. Melalui keterbukaannya, SBY dapat membuktikan, suara-suara negatif yang selama ini beredar tentang diri dan kepemimpinan yang negatif tidak mendasar. Tepatnya, tidak benar.

Namun, penjelasan SBY harus mampu menjawab berbagai pertanyaan dan keraguan yang selama ini beredar di publik. SBY harus mengungkap semuanya tanpa keraguan.

Publik harus diyakinkan, dirinya sama sekali tidak terkait dengan hal-hal yang berbau buruk yang beredar di masyarakat. Tegaskan pula, SBY tetap pada komitmen memberantas korupsi, menegakkan demokrasi, dan menjaga kepentingan bangsa. SBY sebaiknya juga mengingatkan lagi, mereka yang mencatut namanya akan dituntut atau diproses secara hukum.

Meredakan suhu politik
Keterangan dari SBY secara terbuka ini dapat meredakan suhu politik yang mulai memanas. Jika suhu politik ini dibiarkan memanas tanpa manajemen yang tepat, akan bergulir menjadi bola liar dan panas yang sulit diprediksi hasil akhirnya.

Keterbukaan SBY akan berguna mengendalikan ketidakpastian itu. Melalui kesaksian SBY, publik akan mendapat kejelasan dari sumber utama yang selama ini masih simpang siur. Publik akan paham mengenai posisi SBY yang sebenarnya, dan hal ini akan menghentikan ”opera sabun” sekaligus mampu membenamkan bola liar yang memanas.

Jangan remehkan
Sebaiknya SBY jangan meremehkan kesimpangsiuran informasi dalam kasus ini. Jangan sampai kemenangan mutlak lebih dari 60 persen dan satu putaran pada pemilu lalu membuat SBY dan para pendukung terlalu percaya diri dengan mengabaikan suara publik di luar lembaga-lembaga resmi negara.

Pengalaman bangsa kita menunjukkan, persepsi dan sikap publik akan cepat berubah apabila menyangkut soal-soal ketidakadilan, demokrasi, dan korupsi. Ingat, Presiden Soeharto tumbang hanya setelah tiga bulan memenangi mayoritas mutlak pemilu dan menguasai parlemen lebih dari 70 persen. Padahal, saat itu pemerintahan Presiden Soeharto sudah mengharuskan semua anggota parlemen menjalani penelitian khusus (litsus) lebih dahulu. Namun, keadaan itu pun tidak dapat membendung aspirasi rakyat dan menyebabkan Presiden Soeharto saat itu harus lengser hanya tiga bulan setelah meraih kemenangan formal yang gilang gemilang.

Apabila SBY meremehkan persepsi publik terhadap pencitraan yang terus menurun dan keingintahuan publik yang membesar tanpa jawaban jelas, SBY bukan tidak mungkin harus memikul risiko terlampau besar.

Bukan tidak mungkin, dalam hal ini publik yang semula 60 persen memberikan dukungan kepada SBY dengan cepat berubah menilai kepemimpinan SBY tidak lagi memperjuangkan aspirasi publik, sehingga masyarakat memilih menempuh cara penyelesaian atau jalan keluar yang mereka ciptakan sendiri. Karena itu, sudah saatnya Pak SBY berbicara.

Pak SBY, bicaralah....

Wina Armada Sukardi Ketua Komisi Hukum Dewan Pers

Tulisan ini disalin dari Kompas, 17 November 2009

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan