Pajak dan Pembangkangan Sipil

Terkuaknya makelar kasus pajak di Ditjen Pajak melalui pengungkapan mafia pajak yang diduga melibatkan Gayus Tambunan, pegawai golongan III A di lingkungan Ditjen Pajak, menimbulkan reaksi keras dari publik. Hingga kini, lebih dari 12.000 face bookers telah mendukung aksi penolakan pembayaran pajak (tax avoidance).

Tak salah jika ada yang berandai-andai, jika anggota staf golongan IIIA saja bisa korupsi lebih dari Rp 25 miliar, berapa yang bisa dikorup oleh pegawai golongan IV di lembaga yang sama?

Penolakan pembayaran pajak perlu dilihat sebagai alat kontrol rakyat terhadap penguasa yang abai terhadap rakyat dan menyalahgunakan wewenang untuk mengorupsi uang pajak dari rakyatnya. Dalam teori kepentingan (aequivalentie), negara membebankan pajak kepada rakyat karena telah melindungi kepentingan rakyat.

Teori ini mengukur besarnya pajak yang harus dibayar oleh rakyat sesuai dengan tingkat kepentingan wajib pajak yang dilindungi oleh negara. Teori ini lebih bersifat transaksional karena filosofi utilitarianisme berada di balik konsep pemajakan tersebut. Dalam sudut pandang teori itu, tidak ada salahnya jika rakyat menolak membayar pajak melalui pembangkangan sipil (civil disobedience) karena kegagalan relasi transaksional antara negara dan rakyatnya.

Pembangkangan terhadap kebijakan publik sebagai suatu gejala politik telah cukup lama dikenal. Istilah itu mulai dikenal ketika Henry David Thoreau pada tahun 1840-an menolak membayar pajak burung nuri sebagai simbol penolakannya terhadap ketidakadilan yang dilakukan oleh Pemerintah Federal Amerika terhadap Meksiko. Penolakan itu kemudian berkembang semakin meluas karena kemudian juga dijadikan simbol perlawanan terhadap praktik perbudakan di negara Selatan dan pelanggaran yang terus-menerus atas hak masyarakat Indian.

Konon, gerakan Thoreau tersebut tidak membuahkan hasil signifikan pada masa itu, sampai setengah abad kemudian gagasan Thoerau tersebut diangkat di khazanah internasional melalui karya tertulis pemikir Rusia terkenal, Leo Toslstoy dan Mahatma Gandhi, pahlawan dan pejuang rakyat terkenal dari India.

Pembangkangan untuk membayar pajak dapat dilihat dari sudut pandang pembangkangan sipil ketika rakyat tidak setuju terhadap sistem hukum ataupun kebijakan yang diterapkan oleh negara. Era demokrasi deliberatif saat ini memang memungkinkan rakyat untuk melakukan tekanan melalui pembangkangan sipil.

Menegakkan keadilan
Dalam cara pandang John Rawls, pembangkangan sipil malah dilihat sebagai kewajiban natural untuk menegakkan keadilan. Gagasan pembangkangan sipil juga pernah dikemukakan Martin Luther King Jr yang dalam esainya, Letter from Birmingham City Jail, mengutarakan perlunya melakukan pembangkangan sipil dengan memerhatikan empat langkah berikut: (1) mengumpulkan data untuk memastikan terjadinya ketidakadilan; (2) negosiasi; (3) pembersihan diri (self-purification) dan tindakan langsung (Bedau, 1996).

Bagi para penganut teori bakti yang melihat bahwa kewajiban pajak merupakan wujud bakti rakyat terhadap negara berdasarkan teori organ dari Otto van Gierke, akan melihat bahwa pembangkangan sipil untuk menolak mematuhi kewajiban membayar pajak adalah sesuatu yang harus dikriminalisasi melalui sanksi pidana pajak. Dasar pembenaran pemungutan pajak adalah bahwa organ atau lembaga merupakan syarat eksistensial mutlak yang menyediakan tempat kehidupan bagi indinvidu. Tidak membayar pajak berarti membubarkan negara.

Padahal, dalam praktik perpajakan selama ini, tak jarang dilakukan negosiasi pajak (tax negotiation) yang lazimnya dilakukan oleh korporasi atau pengusaha besar dalam jumlah yang fantastis jika berhasil diungkap semuanya. Bukankah pembubaran negeri ini justru telah sekian lama dilakukan oleh kelompok the have yang selama ini telah menikmati berbagai fasilitas pajak yang tak mungkin dinikmati oleh para pembayar pajak kecil (seperti pegawai negeri, pekerja tetap, dosen, pengusaha kecil, dan sejenisnya)?

Di sinilah sebenarnya amanah keadilan sosial dalam Pembukaan UUD 1945 sedang diuji kesahihannya sebagai dasar moral bangsa.

W Riawan Tjandra Direktur Pascasarjana Universitas Atma Jaya, Yogyakarta
Tulisan ini disalin dari Kompas, 31 Maret 2010

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan