Outlook Korupsi Politik 2018: Ancaman Korupsi di Balik Pemilu Serentak

Foto: Dok.ICW
Foto: Dok.ICW

Rilis Indonesia Corruption Watch

Outlook Korupsi Politik 2018

“Ancaman Korupsi di Balik Pemilu Serentak”

Tahun 2018 merupakan momentum krusial dalam demokrasi Indonesia.  Selain perhelatan pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak di 171 daerah, saat bersamaan juga sudah dimulai tahapan pemilihan anggota legislatif dan presiden serentak 2019. Tepat apabila 2018 dijuluki sebagai tahun sibuk politik.

Kontestasi elektoral kerap diwarnai berbagai macam masalah, salah satunya tindak pidana korupsi.Sejumlah kasus yang ditangani penegak hukum, khususnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), memiliki keterkaitan dengan persoalan elektoral.Mulai dari permainan anggaran, pemberian perizinan usaha, jual beli jabatan di daerah, hingga suap pemenangan sengketa Pilkada pada Hakim Konstitusi.

Dilihat dari timeline pelaksanaan pilkada 2018 dan pemilu 2019, mesin politik pemilu 2019 sudah dinyalakan semenjak pilkada. Bagi partai politik, pilkada 2018 menjadi langkah untuk menakar seberapa kuat dan efektif mesin partai dijalankan menjelang pemilu presiden yang akan datang.

Bahkan, jarak antara waktu pencoblosan pilkada serentak pada tanggal 27 Juni dengan jadwal pendaftaran calon presiden dan wakil presiden hanya berselang 38 hari.Hal inilah yang membuat potensi berbagai penyimpangan dan konflik berada pada titik klimaks.

  1. Kontestasi Elektoral

1. Kontestasi Pilkada 2018

Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat, sepanjang 2010-2017 terdapat sedikitnya 215 kepala daerah menjadi tersangka kasus korupsi yang ditangani KPK, kepolisian, dan kejaksaan. Kasus-kasus tersebut terjadi dengan berbagai modus, seperti permainan anggaran proyek, suap pengesahan anggaran, korupsi pengadaan barang dan jasa, suap perzinan, hingga suap penanganan perkara.Angka ini merupakan angka yang tinggi dan mengkhawatirkan.Jumlah kasus diatas menggambarkan bahwa demokrasi yang tumbuh-berkembang di negara ini diselimuti persoalan korupsi.

Pilkada 2018 dan Pemilu 2019 berpotensi mengulang permasalahan yang sama. Sebab, tidak ada perubahan mendasar dari demokrasi prosedural menjadi demokrasi substansial. Perubahan UU Pilkada yang secara konsisten dilakukan oleh Pemerintah dan DPR belum mampu memperkuat  kerangka menuju demokrasi yang lebih subtansial karena tidak banyak menjawab persoalan integritas pilkada.

Alhasil, Pilkada 2018 yang akan dilaksanakan  di 17 provinsi, 39 kota, dan 115 kabupaten/ kota masih dibayangi persoalan yang sama. Dalam pandangan ICW, Pilkada 2018 dibayangi oleh 10 permasalahan:

  1. Jual beli pencalonan (candidacy buying) antara kandidat dan partai politik.
  2. Munculnya nama bermasalah (mantan narapidana atau tersangka korupsi) dan calon dengan dinasti.
  3. Munculnya calon tunggal (KPU pada 10 Januari 2018 mengumumkan terdapat 19 daerah dengan calon tunggal. Tiga dari empat kabupaten/ kota yang akan menggelar Pilkada di Banten bahkan mempunyai calon tunggal).
  4. Kampanye berbiaya tinggi akibat dinaikkannya batasan sumbangan dana kampanye dan diizinkannya calon memberikan barang seharga maksimal Rp 25.000,- kepada pemilih.
  5. Pengumpulan modal illegal (jual beli izin usaha, jual beli jabatan, suap proyek, dll) dan politisasi program pemerintah (dana hibah, bantuan sosial, dana desa, dan anggaran rawan lainnya) untuk kampanye.
  6. Politisasi birokrasi dan pejabat negara, mulai dari birokrat, guru, hingga institusi TNI/ Polri.
  7. Politik uang (jual beli suara pemilih).
  8. Manipulasi laporan dana kampanye.
  9. Suap kepada penyelenggara pemilu.
  10. Korupsi untuk pengumpulan modal, jual beli perizinan, jual beli jabatan, hingga korupsi anggaran.

  1. Tahapan Pemilu 2019

Secara umum, persoalan korupsi politik yang terjadi dalam pilkada tidak akan jauh berbeda dengan yang terjadi dalam pilpres dan pileg. Pembedanya hanya cakupan wilayah.Dalam hal pendanaan kampanye, problem regulasinya pun serupa. Misalnya, dalam UU No. 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, ketentuan tentang batasan maksimum untuk calon presiden juga meningkat secara drastis.

Sumbangan perorangan maksimum sebesar 2,5 Milyar (sebelumnya 1 Milyar) dan sumbangan badan usaha menjadi  25 Milyar (sebelumnya 5 Miliar). Tidak ada argumentasi kuat dalam risalah pembahasan UU Pemilu yang mendasari kenaikan dalam jumlah yang besar tersebut.Sama seperti yang terjadi dalam pilkada, dimana batasan sumbangan juga mengalami kenaikan.

Naiknya batas sumbangan akan semakin mempermudah pemodal dan pemburu rente untuk masuk mendanai dan mengikat kandidat. Pemberian modal kampanye dalam jumlah besar  dan mengikat  banyak terjadi pada pemilu sebelumnya dengan trik dan modus tertentu, namun bersifat illegal karena batasan tidak setinggi sekarang.

Ketentuan sistem proporsional terbuka masih diterapkan dalam pemilu legislatif.Berkaca pada pemilu sebelumnya (2014), sistem proporsional terbuka memiliki beberapa kelemahan karena banyak tidak disertai dengan integritas kandidat dan pengawasan pemilu yang kuat.Masalah terbesar adalah potensi politik uang dari kandidat kepada masyarakat.

Hal lain yang harus dijadikan perhatian pada 2018 ini adalah pencalonan legislatif. Partai politik harus didorong mencalonkan kandidat yang tidak bermasalah dan kontroversial.Salah satunya adalah yang namanya disebut-sebut turut menerima sejumlah uang dalam perkara KTP elektronik. Berdasarkan dakwaan Irman dan Sugiarto pada persidangan KTP elektronik, KPK menyebutkan setidaknya ada 62 orang anggota DPR (2009-2014 dan 2014-2019) yang diduga menerima uang dalam perkara tersebut. Sedangkan yang menjadi tersangka baru tiga orang, yaitu Setya Novanto, Miryam S. Haryani dan Marcus Nari.

  1. Pendanaan Politik

Dana bantuan sosial adalah klasifikasi belanja daerah yang sangat rawan digunakan untuk menggalang, mempertahankan, dan membalas dukungan

  1. Perizinan

Korupsi yang dilakukan Bupati Buol Amran Batalipu adalah contoh yang paling tepat bagaimana kepala daerah memperdagangkan wewenangnya untuk memperjualbelikan izin usaha. Suap ini rawan terjadi di daerah-daerah sawit, tambang, dan industri ekstraktif lainnya.

  1. Hibah dan Bansos

Dana Hibah dan bantuan sosial adalah klasifikasi belanja daerah yang sangat rawan digunakan untuk menggalang, mempertahankan, dan membalas dukungan. Pos anggaran ini biasanya akan menyasar lansung ke kantong-kantong suara. Biasanya dilakukan incumbent.

  1. Dana Desa

Tren penindakan korupsi oleh APH sepanjang 2015-2017 menunjukkan adanya peningkatan korupsi di level desa. Sedikitnya terdapat 110 kasus korupsi yang melibatkan 107 kepala desa, 30 perangkat desa, dan dua istri kepala desa. Peningkatan korupsi di level desa ini sejalan dengan meningkatnya anggaran desa.

Selain rawan dikorupsi, dana desa juga rawan dipolitisasi atau bias kampanye pasangan calon tertentu. Pada 2018, pemerintah menganggarkan Rp 60 Triliun dana transfer pusat ke desa. Rp 12 Triliun atau 12% dari anggaran tersebut akan disalurkan pada Januari. 80% sisanya akan disalurkan pada April dan Agustus dengan besaran 40%-40%. Pencairan dana desa yang melalui keuangan daerah ini rawan dipolitisasi. Salah satu modusnya adalah menahan pencairan dana desa. Terlebih lagi, pencairan dana desa tahap II, yaitu April, merupakan tahap kampanye dan dekat dengan bulan pemungutan suara, yaitu Juni 2017.

  1. Jual-beli jabatan dan kedinasan

Korupsi yang dilakukan Bupati Klaten Sri Hartini dan Bupati Nganjuk Taufiqurrahman dengan menerapkan fee promosi jabatan untuk patut diwaspadai terjadi jelang dan paska pilkada. Jabatan seperti Kepala Dinas merupakan jabatan strategis. Secara tugas, kepala dinas melaksanakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah. Dalam pengelolaan keuangan daerah, kepala dinas berlaku sebagai kuasa pengguna anggaran.

  1. Pengadaan Barang dan jasa

Data KPK menunjukkan lebih dari 80 persen kasus korupsi terkait dengan pengadaan barang dan jasa. Modus paling banyak adalah penyuapan. Konteks pilkada tidak bisa dilepaskan dari upaya mencari pendanaan politik di sektor pengadaan barang dan jasa itu sendiri.

Berkaca pada kondisi ini, ICW merekomendasikan:

  1. Kementerian Keuangan, Kementerian Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Kemendagri berkoordinasi untuk mengantisipasi politisasi dana desa, salah satunya dengan mengawasi pencairan dana desa tahap II di daerah-daerah pilkada.
  2. Kementerian Keuangan, Kemendagri, dan KPK untuk memonitor penggunaan belanja bantuan sosial tingkat pusat dan daerah, khususnya daerah yang kepala daerah, dinasti, dan pejabatnya maju dalam pemilu.
  3. KemenPAN dan RB untuk mengingatkan larangan ASN terlibat dalam proses pemenangan pemilu.
  4. Panglima TNI dan Kapolri untuk menjaga integritas jajaran dibawahnya agar tidak memihak calon kepala daerah tertentu, sekalipun calon tersebut berasal dari TNI/ Polri.
  5. KPK memonitor secara khusus daerah-daerah rawan dalam pemilu, khususnya daerah kaya sumber daya alam dan daerah dengan petahana atau dinasti maju dalam pilkada.
  6. Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) menginstruksikan jajaran dibawahnya untuk mulai menyusun data pembanding pengeluaran dana kampanye saat melakukan pengawasan lapangan, mengingat UU Pilkada telah mengatur sanksi pidana terhadap pelaporan dana kampanye yang tidak benar, yaitu Pasal 187 ayat 7 dan 8 UU Pilkada.
  7. Kandidat pemilu dan partai politik untuk berkomitmen menjaga integritas pilkada dengan tidak menggunakan modal illegal dalam pemilu dan bersaing secara sehat.
  8. Masyarakat sipil untuk aktif berpartisipasi dalam pemilu, tidak hanya sebagai pemilih tetapi sebagai pemantau.

Jakarta, 11 Januari 2018

Indonesia Corruption Watch

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan