Otonomi Korupsi

Praktek korupsi masih menjadi potret buruk pelaksanaan 10 tahun otonomi daerah di tengah kuatnya arus resentralisasi. Kondisi tersebut tentu merupakan kabar buruk (bad news) bagi otonomi daerah.

Pelaksanaan otonomi daerah kini genap berusia 10 tahun. Sejak berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia, sebenarnya kita sudah mengenal otonomi daerah. Hal ini sebagaimana dicantum para founding fathers negara ini dalam Pasal 18 UUD 1945, yang memungkinkan dibentuknya daerah-daerah otonom--yang merupakan perwujudan dari kebijakan otonomi daerah.

Otonomi berasal dari kata autos, yang berarti sendiri, dan nomos, yang berarti aturan. Dari arti yang demikian ini, beberapa penulis memberi pengertian otonomi sebagai zelfwetgeving atau pengundangan sendiri, mengatur dan memerintah sendiri, atau pemerintahan sendiri. Kebijakan otonomi daerah, yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan direvisi menjadi UU No. 32 Tahun 2004 jo UU No. 12 Tahun 2008, pada hakikatnya merupakan pemberdayaan dan pendemokrasian kehidupan masyarakat. Dengan kewenangan mengatur dan mengurus kepentingan sendiri, pemerintah daerah diberi kesempatan mengembangkan potensi yang dimilikinya sehingga tidak lagi bergantung pada pihak lain (baca: pemerintah pusat).

Otonomi berimbas korupsi
Otonomi daerah dilahirkan dalam semangat reformasi dan demokratisasi sebagai antitesis kekuasaan sentralistik Orde Baru. Tapi, dalam implementasinya, otonomi daerah tak seindah yang dibayangkan. Kekuasaan yang didesentralkan dari pusat ke daerah ternyata memunculkan praktek-praktek korupsi di tingkat lokal. Sementara di era Orde Baru praktek korupsi hanya terjadi di pusat, sejak otonomi berlangsung, praktek ini sudah merambah ke daerah-daerah. Sangat ironis, karena perilaku korupsi ada pada mereka-mereka yang memegang kekuasaan di daerah, seperti lembaga eksekutif dan legislatif.

Catatan penulis dari laporan Indonesia Corruption Watch pada Januari hingga Desember 2004, terdapat 432 kasus korupsi yang terjadi di Indonesia dengan berbagai macam aktor, modus, dan tingkat kerugian yang dialami negara. Dari sekian kasus itu, 124 kasus korupsi melibatkan anggota DPRD dan 83 kasus melibatkan kepala daerah. Survei yang dikeluarkan Transparency International pada akhir 2007 menyebutkan, urutan "doyan suap" setelah polisi adalah Bea dan Cukai (41 persen), Imigrasi (34 persen), DLLAJR (33 persen), serta pemerintah daerah (33 persen).

Lalu bagaimana dengan praktek korupsi yang terjadi pada 2010?
Berdasarkan data dari Komite Penyelidikan dan Pemberantasan KKN per Maret 2010, ada enam bupati/wali kota di lingkup Pemerintahan Provinsi Jawa Tengah yang tersandung korupsi (Kompas 29/11/2010). Dalam penelitian triwulan III/2010 yang dilakukan oleh Pusat Kajian Anti-Korupsi Fakultas Hukum UGM, aktor korupsi berjumlah 236 pelaku, yang dibagi dalam 38 macam. Posisi teratas didominasi oleh kelompok anggota/mantan anggota DPRD, yakni sebanyak 56 orang. Diikuti oleh anggota DPR (29 orang), kepala dinas (18 orang), pegawai pemerintah provinsi atau kabupaten (17 orang), pegawai dinas pemda (13 orang) dan direktur utama perseroan terbatas (11 orang).

Deretan kasus korupsi di atas hanyalah secuil data yang ditampilkan dari sekian banyak kasus lainnya--kita akan mendapatkan angka yang sangat banyak bila beberapa kasus lain yang menimpa sejumlah gubernur maupun bupati/wali kota juga ditampilkan. Dengan demikian, pelaksanaan otonomi yang daerah yang berjalan sampai hari ini masih dinodai oleh perbuatan koruptif yang belum surut, bahkan korupsi seolah menjadi "agama baru" bagi aparat pemerintah daerah.

Salah tafsir kewenangan
Praktek korupsi masih menjadi potret buruk pelaksanaan 10 tahun otonomi daerah di tengah kuatnya arus resentralisasi. Kondisi tersebut tentu merupakan kabar buruk (bad news) bagi otonomi daerah. Persoalannya antara lain disebabkan oleh salah tafsir terhadap Undang-Undang Otonomi Daerah yang dilakukan oleh eksekutif dan legislatif daerah atas kewenangan yang "bebas" mengatur rumah tangga sendiri.

Untuk anggota legislatif di daerah, lazim terjadi "pola" korupsi dalam alokasi anggaran. Ini artinya para anggota DPRD mengalokasikan anggaran yang kemudian tertuang dalam APBD untuk kepentingan mereka sendiri, seperti kasus dugaan korupsi dana purnabakti yang terjadi hampir di seluruh kabupaten di Indonesia pada 2003-2007. Terdapat juga "pola" korupsi yang dilakukan oleh eksekutif, seperti melakukan markup, memberi izin penebangan hutan lindung (illegal logging), mengambil pos anggaran bantuan pemerintah pusat yang seharusnya untuk keperluan tak terduga, seperti musibah bencana alam dan bantuan sosial, yang kemudian digunakan untuk kepentingan lain, misalnya belanja mobil dinas.

Hukum Progresif
Praktek korupsi yang terjadi selama satu dekade pelaksanaan otonomi daerah dapat dihentikan dengan menggunakan beberapa pendekatan. Pertama, pemerintah pusat secara kontinu melakukan supervisi dan evaluasi terhadap pelaksanaan kebijakan otonomi daerah. Lemahnya supervisi dan kurang profesionalnya aparat pengelola otonomi daerah menyebabkan terjadinya desentralisasi korupsi ke daerah. Kedua, perlu diperketatnya regulasi-regulasi disertai sanksi dalam pelaksanaan otonomi daerah sehingga tidak memunculkan celah, yang dapat menimbulkan terjadinya penyelewengan. Ketiga, dibutuhkan komitmen yang kuat dari seluruh aparat penyelenggara negara, baik di tingkat pusat sampai daerah, untuk tidak merencanakan dan/atau melakukan perbuatan korupsi, sehingga kebijakan otonomi daerah benar-benar dapat berjalan sebagaimana mestinya.

Keempat, komitmen yang tinggi aparat kejaksaan, kepolisian, dan peradilan secara keseluruhan untuk menegakkan hukum, khususnya dalam dugaan kasus korupsi. Komitmen ini menjadi persoalan terutama karena korupsi terjadi dalam relasi kekuasaan dan dilakukan oleh mereka yang mempunyai kekuasaan. Untuk poin ini, pendekatan Hukum Progresif bisa diterapkan. Hukum Progresif, yang dikemukakan oleh Satjipto Rahardjo, menekankan pada mutu hukum untuk mengabdi pada kesejahteraan manusia. Ini menyebabkan Hukum Progresif menganut "ideologi": hukum yang pro-keadilan dan hukum yang pro-rakyat. Dengan ideologi ini, dedikasi para pelaku hukum mendapat tempat yang utama untuk melakukan pemulihan. Para pelaku hukum dituntut mengedepankan kejujuran dan ketulusan dalam penegakan hukum. Mereka harus memiliki empati dan kepedulian atas penderitaan yang dialami rakyat dan bangsa ini. Kepentingan rakyat (kesejahteraan dan kebahagiaannya) harus menjadi titik orientasi dan tujuan akhir penyelenggaraan hukum.

Kebijakan otonomi daerah merupakan kebijakan nasional yang berkaitan dengan seluruh aspek kehidupan. Peluang dan tantangan global juga sangat erat hubungannya dengan otonomi daerah. Karena itu, para stakeholder harus bergandengan tangan demi tercapainya tujuan otonomi daerah---bukan otonomi untuk korupsi!
 
Bill Nope, MAHASISWA MAGISTER ILMU HUKUM UGM
Tulisan ini disalin dari Koran Tempo, 5 Januari 2011

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan