Organisasi Nonpemerintah di Tengah Gugatan dan Hujatan

DI Puncak, Jawa Barat, pada 31 Oktober sampai 1 November 2002 Harian Umum Kompas menyelenggarakan temu aktivis lembaga swadaya masyarakaat (LSM) dari berbagai kota di Jawa. Pertemuan bertopik Menggugat Eksistensi dan Peran LSM itu menghadirkan narasumber Nursyahbani Katjasungkana, Entjeng Sobirin Nadj, Binny Buchori, George Dominggo Rinels Hormat, dan Moeslim Abdurrachman. Pertemuan dimoderatori Agus Sudibyo, Zuhairi Misrawi, dan Ikhsan Malik. Berikut ini empat catatan atas pertemuan tersebut, yang masing-masing dimuat di halaman ini, 28, 29, dan 30. [di website ini ditempatkan di kanal artikel]

DI luar partai politik, lembaga sosial masyarakat (LSM) atau awal-awalnya disebut organisasi nonpemerintah (ornop) merupakan institusi yang paling sibuk bermanuver sejak hari-hari pertama setelah Soeharto tergusur. Proyek diciptakan dan dikerjakan oleh LSM, dari proyek mengawal transisi demokrasi, reformasi hukum, hak asasi manusia (HAM), pembaruan sistem pemilihan umum (pemilu), pengawasan pemilu dan pendidikan calon pemberi suara dalam pemilu, lembaga pemantau, penanganan konflik sampai program-program karitatif untuk pengungsi maupun kelompok-kelompok dalam masyarakat yang tidak berdaya menghadapi krisis ekonomi. Hampir semua program yang disodorkan LSM, kelas kakap maupun teri, dengan mudah memperoleh dukungan dari lembaga-lembaga donor. LSM-LSM baru bermunculan, meski sebagian masih didominasi oleh wajah lama.

Bulan madu yang dialami LSM itu tampaknya kini berakhir. Bukan karena proyek demokrasi dan HAM telah berhasil, tetapi lebih karena para donor sekarang condong perhatiannya pada megaproyek global perang melawan terorisme.

Seiring dengan paceklik dana yang dialami kalangan LSM, dorongan kebutuhan mempertahankan hidup (survival) di kalangan para aktivis, sejumlah LSM berubah wataknya. Sebagian aktivis LSM yang dulunya dikenal sangat independen dan antikekuasaan kemudian berkompromi dengan kekuasaan dalam urusan dana. Sejumlah aktivis LSM yang kemudian masuk dalam lingkar kekuasaan dan berganti baju politik tidak berperilaku berbeda dengan politisi lainnya. Sejumlah aktivis pembela HAM dan demokrasi terseret dalam lahan basah advokasi untuk para koruptor. Ketika proses transisi menjadi makin tidak jelas arahnya, kekuatan dan pola-pola kekuasaan yang lama mulai efektif kembali. Saat agenda reformasi dilupakan, tudingan pun diarahkan kepada para aktivis dan LSM.

Sebagian kritik, gugatan atau pun hujatan yang ditujukan ke arah LSM sangat merisaukan kalangan LSM karena memang kritik dan caci-maki itu menyentuh ulu hati eksistensi LSM.

Benarkah klaim LSM mewakili rakyat? Masihkah layak disebut LSM ketika program yang ditawarkan kepada rakyat dilakukan dengan mobilisasi, mendikte, dan dengan pendekatan atas-bawah? Apakah LSM bisa tetap menjadi pembela kaum papa dan prorakyat, ketika sebagian besar para aktivisnya bergaya hidup profesional kelas menengah, bahkan sebagian lagi berpenampilan seperti selebritis atau borjuis?

PASCA-kejatuhan Soeharto, pembusukan LSM memang terjadi. LSM begitu banyak digugat rakyat. Di tengah-tengah kemiskinan dan ketertindasan politik, LSM tidak mampu menghadirkan solusi yang tepat. Akibatnya oleh sebagian orang LSM dianggap parasit, kata George Dominggo Rinels Hormat, aktivis Front Nasional Perjuangan Buruh Indonesia (FNPBI).

Gugatan tidak hanya berasal dari kalangan di luar LSM tetapi bahkan dari kalangan para aktivis sendiri. Otokritik di antara aktivis LSM sering tidak kalah bengisnya. Antara yang muda dan yang tua, antara konglomerat dan pinggiran, antara yang berurusan ternak lele dan advokasi rakyat, antara yang berdasi dan berpakaian lusuh. Sejumlah aktivis LSM bahkan mengkritik LSM lainnya merusak eksistensi LSM karena memotong dan mengingkari komitmen bersama semata-mata untuk memperoleh proyek. LSM kelas kakap sekaliber LP3ES dan Center for Strategic and International Studies (CSIS) menjadi sasaran kekesalan.

CSIS disebut-sebut sebagai LSM pro-modal. Dari segi dana, CSIS memperoleh previlese karena kepemilikan dana abadi yang relatif besar untuk pembiayaan operasional lembaga yang dekat dengan Orde Baru pada masa-masa awal kelahirannya. Darmaningtyas, aktivis LSM yang banyak menaruh perhatian dalam bidang pendidikan, bahkan menuntut CSIS membuat pernyataan maaf kepada publik terhadap kesalahan masa lalu yang pernah diperbuat sebelum berbuat lebih jauh untuk masyarakat.

Nila, aktivis LSM dari Solo (Jawa Tengah), yang melakukan advokasi terhadap proyek restrukturisasi sumber daya air di Indonesia yang dibiayai Bank Dunia mesti menghadapi kenyataan pahit ketika ternyata LP3ES merupakan salah satu anggota kelompok kerja yang menyusun program tersebut.

Azas Tigor Nainggolan, Koordinator Forum Warga Kota Jakarta (Fakta), menggugat LP3ES dan sejumlah LSM lainnya yang melibatkan diri sebagai konsultan dalam proyek Pemerintah DKI Jakarta dalam urusan proyek jaring pengaman sosial (JPS), program pemberdayaan masyarakat kelurahan (PPMK), dan sodetan Sungai Ciliwung. Desain sudah disepakati, warga sudah oke, tapi justru sejumlah kawan LSM tidak konsisten. Kalau mau membangun rumah bersama, perlu ada daya tahan, jangan sampai etika jatuh pada level asal survive dan hanya bersembunyi di balik dalih tidak ada larangan. Masak gara-gara akan mendapat bagian dari proyek Rp 50 milyar, bersedia merusak desain yang sudah disepakati, kata Tigor.

Entjeng Shobirin, aktivis senior LP3ES, tidak menafikan kritik tersebut. Ia bahkan mengaku di dalam lingkungan internal LP3ES soal-soal tersebut menjadi isu kontroversial. Dalam tubuh institusi LSM yang pernah dikenal dengan ide-ide besarnya, banyak visi dipertarungkan. LP3ES mempunyai banyak wajah. Dalam soal proyek restrukturisasi air yang dibiayai Bank Dunia maupun proyek Sodetan Sungai Ciliwung, Entjeng mengaku termasuk dalam kubu penentang.

Saya tidak menolak semua kritik itu. Saya tidak khawatir LP3ES akan kehilangan citranya dengan kritik maupun komplain-komplain tersebut, kata Entjeng.

SEPAK-terjang LSM cukup fenomenal dalam 20 tahun terakhir. Muncul sejak era tahun 1970-an pada masa ketika pendekatan pertumbuhan ekonomi sangat diagung-agungkan, LSM muncul dengan pendekatan pembangunan partisipatif yang berseberangan dengan paradigma yang dikembangkan pemerintah. Pada masa itu hanya segelintir LSM yang bergerak dalam upaya menumbuhkan kesadaran kritis masyarakat.

Pada era tahun 1990-an berkembang otokritik bahwa LSM tidak bisa semata-mata berkutat pada pengembangan sosial ekonomi masyarakat, tetapi mesti ikut menggarap soal demokrasi dan isu-isu struktural lainnya.

LSM developmentalis, kata Entjeng, sebenarnya hanya merupakan bagian dari apa yang dilakukan pemerintah. Ia mengaku bahwa pernyataan itu terlalu kasar, karena menjadi bagian atau tidak, sangat tergantung pada integritas LSM bersangkutan. Bisa saja menjadi alat pemerintah tetapi bisa saja ia tetap mandiri dan sebaliknya justru bisa mempengaruhi proses pengambilan keputusan dalam tubuh pemerintah.

Moeslim Abdurrachman menyebutkan, saat ini ada dua kelas LSM yang tumbuh berbeda, yakni LSM yang masih tekun memelihara lele, tetapi juga ada LSM yang mewakili kesadaran kelas menengah kota, seperti Indonesian Corruption Watch (ICW). Ada LSM yang masih mengurus bertanam padi organik atau advokasi dengan gerakan reklaiming. Petani-petani diajak berdemo dan mengambil kembali tanah yang dikuasai perkebunan.

Akan tetapi, menurut Moeslim, persoalan-persoalan yang dihadapi sekarang jauh lebih kompleks, bahkan bukan pula hanya persoalan antara negara dan non-negara. Realitas bahwa LSM sangat heterogen, menurut aktivis Infid, Binny Buchori, ada sejak lahir. Memang ada LSM yang lahir sebagai bagian dari untuk menciptakan pekerjaan pemerintah dengan menawarkan jasa pelayanan pengiriman, ada pula yang menjadi syarat proyek pembangunan, tapi kemudian lahir pula LSM yang menggarap bidang-bidang yang sama sekali baru, seperti masalah kemiskinan kota, korupsi, dan transparansi anggaran.

Perbedaan pendekatan, perebutan lahan, maupun potong-memotong program di kalangan LSM sering berakhir dengan perselisihan yang menjadi personal dan mengesankan fragmentasi yang tajam di kalangan LSM. Sempitnya lapangan kerja, membuat LSM juga jadi sasaran untuk mencari mata pencaharian. Tiba-tiba ratusan LSM bermunculan ketika LSM menjadi prasyarat penyaluran dana proyek dan setelah dirunut ternyata pendiriannya terkait dengan para pembuat keputusan atau eksekutor distrubusi dana tersebut. Maluku tiba-tiba saja menjadi lahan subur dengan ribuan LSM dadakan yang didirikan semata-mata untuk menyalurkan bantuan kemanusiaan bernilai beberapa juta yang disalurkan oleh LSM asing.

Fenomena tersebut, menurut Entjeng, tidak perlu dibikin pusing. Itu bersifat sementara. Pada akhirnya seleksi alam akan menentukan apakah sebuah institusi memiliki kredibilitas dan bisa lestari. Apakah LSM bersangkutan benar-benar merupakan ornop atau semata-mata sebagai petualangan. Zaman JPS merupakan masa yang paling fenomenal di mana banyak ornop muncul tiba-tiba untuk mencari duit, ujarnya.

Sejumlah LSM bergerak lebih jauh dengan melibatkan massa rakyat atau bahkan mendirikan organisasi-organisasi rakyat. Wardah Hafidz, misalnya, dinilai cukup berhasil dalam menggalang kesadaran kaum miskin kota melalui Urban Poor Consortium (UPC). Suara Ibu Peduli (SIP) merupakan bentuk lain yang muncul dalam gerakan reformasi. Menurut aktivis Koalisi Perempuan Nursjahbani Kantjasungkawa, SIP berhasil karena menggunakan etika kepedulian sebagai dasar gerakannya. Gerakan itu memperoleh simpati publik bukan hanya karena bergerak dengan sasaran orang-orang yang mengalami penderitaan tetapi juga mencoba mengembangkan keanggotaan.

Dominggo mengingatkan, tanpa perubahan mendasar dalam dirinya, secara pasti LSM bergerak menuju kehancuran. Ia mengkritik konsep dasar LSM yang memandang negara sebagai musuh dan bersikap memisahkan diri dari komunitas politik. Sikap paling radikal yang diambil LSM paling sebatas mengkritik rezim dan ketika kritik itu tidak diterima lantas hanya menggerundel. LSM menolak menggunakan pisau analisa kelas untuk dan ketergantungannya kepada lembaga-lembaga dana membuat mereka menjadi agen kapitalisme dan neoliberalisme. Ketika LSM membentuk organisasi-organisasi rakyat, ia menaklukannya sebagai subordinat LSM. Keterlibatan dalam gerakan-gerakan rakyat justru memoderasi perlawanan rakyat.

TIDAK sedikit memang aktivis LSM yang berubah profesi, keyakinan, dan orientasi politiknya. Aktivis HAM beralih profesi menjadi pembela para jenderal dan sepak terjang para mantan aktivis dalam kekuasaan. Sayangnya mereka tetap dikenal oleh publik sebagai aktivis LSM dan para petualang itu tetap berupaya mempertahankan indentitasnya sebagai aktivis LSM. LSM jadi-jadian maupun LSM partisan yang diciptakan untuk mendukung partai politik, penguasa, atau untuk melawan gerakan rakyat dibuat. Krisis yang dialami LSM sekarang mesti berhadapan dengan pembusukan dari luar. Semua itu bermuara pada tudingan bahwa LSM telah kehilangan jati dirinya, melupakan visi dan misinya.

Menurut Binny Buchori, Sekjen International NGO Forum for Indonesia Development (Infid), tuduhan yang menyebutkan bahwa LSM kehilangan misi dan visinya terlalu mengecilkan keberadaan LSM. Yang terjadi saat ini, menurut dia, bukannya kehilangan visi dan misi tetapi karena ketiadaan platform bersama. Ia mengakui bahwa kerja-kerja LSM masih sangat elitis dan sumber-sumber keuangan sebagian besar masih tergantung dari luar karena kurangnya dukungan publik dalam negeri untuk membantu membiayai kegiatan-kegiatan LSM. Akan tetapi, visi dan misi LSM tetap tegas. LSM lahir dari kesadaran tentang perlunya menjadi penyeimbang sosial dan memperjuangkan nilai-nilai univiersal.

Nggak tahu yang lain, saya sendiri merasakan kelelahan luar biasa setelah empat tahun bekerja dengan cara seperti ini. Tiap hari ada krisis, tutur Binny.

Kelelahan itu wajar karena agenda transisi yang begitu banyak, kekuatan musuh yang sangat besar, dan kekaburan yang dialami ketika harus menjelaskan siapa musuh bersama saat ini. Lagi pula LSM tidak berdiri dalam ruang kosong. LSM bukan satu-satunya penanggung jawab atas kegagalan yang terjadi.

Absennya kepedulian dan dukungan unsur-unsur civil society lainnya, kaum profesional, asosiasi-asosiasi, maupun ketidakjelasan sikap dan pemihakan media massa berkontribusi terhadap transformasi demokrasi yang berada di ambang kegagalan. (P BAMBANG WISUDO)

Tulisan ini diambil dari Kompas, Rabu, 22 Januari 2003

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan