Orang Jawa di Era Reformasi

Sebagai orang Jawa Tengah, saya tersentak membaca laporan Modesta Fiska dan Anton Sudibyo di harian Suara Merdeka,11 Juli 2011, berjudul Jawa Tengah Lumbung Korupsi?

Dalam laporan itu dikatakan bahwa praktik korupsi di Jawa Tengah sangat mencemaskan.Wilayah yang selama ini terkenal menjadi lumbung padi, tetapi juga lumbung korupsi. Bayangkan selama kurun waktu satu dasawarsa setelah reformasi ada 20 kepala daerah (dari 35 kepala daerah) terseret korupsi.

Ini belum terhitung satu mantan gubernur dan dua wakil kepala daerah yang juga terseret kasus yang sama. Jumlah ini diduga akan segera bertambah lagi dalam beberapa hari ini. Rakyat Jawa Tengah memang apes dan tak putus dirundung malang.

Betapa tidak, perilaku korup yang tercela tersebut dilakukan oleh manusia-manusia terpilih dan pinilih, yakni para bupati/wali kota dan gubernur, di daerahnya sendiri yang masih miskin. Lihat saja angka kemiskinan di provinsi ini.

Meskipun telah ada Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2PK) yang namanya cukup keren itu konon jumlah penduduk miskin di Jawa Tengah masih sekitar 17,72% (2009) atau 16,56% (2010). Bukankah ini berarti masih di atas angka rata-rata secara nasional yang 13,33% itu? Desa tertinggal di provinsi yang karena berada di Pulau Jawa sehingga sering dituding dimanjakan oleh pemerintah pusat ini masih berjumlah hampir 1.500 desa (2010).

Sementara itu dari 124 pemerintah daerah kabupaten/kota yang—menurut perhitungan Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra)––berada di ambang kebangkrutan karena menghabiskan lebih dari 75% APBD-nya untuk belanja pegawai itu ternyata yang terbanyak adalah juga di Jawa Tengah.

Lagi-lagi, menurut Fitra, dalam waktu dua atau tiga tahun yang akan datang seluruh pemda di Soloraya yang terdiri atas tujuh kabupaten/ kota itu akan benarbenar bangkrut.

Pemda yang Jujur dan Reformis

Dalam Era Reformasi yang ditandai dengan otonomi daerah sekarang ini, provinsi besar yang dibagi menjadi 35 kabupaten/kota dan berpenduduk hampir 40 juta jiwa ini memang kurang beruntung. Padahal daerah ini sebenarnya tidak banyak ulah, bahkan sebenarnya relatif sudah mapan.

Tidak seperti provinsi lain, Jawa Tengah, misalnya saja, tidak mengalami gejolak yang diakibatkan karena euforia pemekaran kabupaten/kota lagi.Maka mestinya daerah ini relatif lebih siap untuk tinggal landas menuju kemajuan dan kesejahteraan.

Tapi sayangnya justru mendapatkan para pemimpin daerah—yang ironisnya dipilih sendiri oleh rakyat secara langsung—yang tidak becus,korup lagi! Benar-benar apes orang Jawa yang tinggal di propinsi ini!

Padahal sebagai provinsi dengan jumlah penduduk sebesar itu Jawa Tengah memerlukan pimpinan daerah yang mampu mendatangkan investor. Jawa Tengah membutuhkan investasi yang sangat-sangat besar untuk menggulirkan sektor riil sehingga pada gilirannya tersedia lapangan kerja bagi rakyatnya.

Tetapi investor segan menanamkan modal di Jawa Tengah karena tiga hal utama. Pertama, infrastruktur yang sangat buruk. Pelabuhan Tanjung Mas,Semarang, tidak memadai karena lautnya relatif dangkal dan tidak bisa disandari kapal-kapal besar. Sementara untuk membawa barangbarang produksi harus ke Tanjung Priok, Jakarta, atau Tanjung Perak, Surabaya, sementara jalan tol belum ada kecuali baru beberapa kilometer saja (Jrakah-Banyumanik).

Jalan raya menuju Jakarta kecil dan berkelok-kelok yang di tiap tikungan sarat dengan pungutan liar. Kedua, persediaan listrik juga sangat-sangat kecil yang bahkan untuk sektor rumah tangga saja sering giliran alias byar-pet!

Ketiga,birokrasi pemerintahan di Jawa Tengah masih sangat feodal dan bermental priyayi yang jauh dari sikap melayani masyarakat dan swasta. Mengutip Prof Kishore Mahbubani, feodalisme dalam pemerintahan dan dalam masyarakat masih sangat kuat di Jawa Tengah.

Padahal,menurut Mahbubani , syarat utama bagi bangsa Indonesia untuk bisa maju adalah menghancurkan feodalisme dalam pemerintahan dan feodalisme dalam masyarakat. Sebagai catatan harus disadari bahwa akar dari tindak korupsi itu tidak lain adalah sikap mental feodalisme itu sendiri.

Sikap mental feodalisme ini pula yang menjadikan para kepala daerah dan birokrasi Jawa tengah korup (ingat, 20 dari 35 kepala daerah terseret korupsi!) dan tidak lincah dalam bekerja melayani rakyat dan usaha swasta. Bagaimana mungkin para priyayi baru yang sejak dulu kala disembahsembah oleh para kawulo dasih sekarang setelah reformasi harus melayani rakyatnya?

Sungguh tak terbayangkan mereka yang selama ini dengan menjadi kepala daerah itu mimpinya setiap malam akan disubyosubyo, disowani, dan dipundipundi oleh rakyatnya,sekarang disuruh mengubah dirinya menjadi pelayan masyarakat (public servicer) dan mendatangi para investor untuk meyakinkannya!

Sudah Kebangetan
Tradisi politik uang (money politic) berakar sangat kuat dalam tradisi kekuasaan di Jawa Tengah. Saya tahu pasti dulu dalam pemilihan kepala desa (lurah) di desa-desa Jawa sudah biasa kelaziman memberikan uang kepada para pemilih. Bahkan beberapa bulan sebelum hari pemilihan, sudah biasa para calon melakukan open house setiap malam.

Rakyat berdatangan ke rumahrumah para calon untuk makan enak di sana. Kini setelah kita memulai mengadakan pemilukada secara langsung rakyat biasa mengatakan: “Mau menjadi lurah saja orang memberikan uang, masak mau menjadi bupati/wali/gubernur yang kedudukannya lebih tinggi orang tidak mau memberikan uang kepada kita!”

Jika kondisi yang tidak kondusif bagi investasi ini terus berlangsung, sudah barang pasti pemerintah tidak akan dapat memberikan lapangan kerja bagi rakyatnya yang jumlahnya bejibun itu. Angka pengangguran bukan hanya akan tetap tinggi alih-alih justru semakin membengkak dan membesar.

Tak heran jika permasalahan kemiskinan menjadi semakin berat untuk ditangani. Dalam Era Reformasi yang ditandai dengan kompetisi antardaerah yang makin berat ini, Jawa tengah membutuhkan para kepala daerah yang lincah dan jujur.Mereka harus pandai melakukan lobi baik secara vertikal maupun horizontal untuk membangun daerah ini.

Dan di atas segalanya, korupsi harus segera dihancurkan di provinsi ini. Angka 20 dari 35 kepala daerah menjadi tersangka korupsi itu rasanya sudah tidak bisa ditoleransi lagi. Ini sangat memalukan dan sudah kebangetan!
HAJRIYANTO Y THOHARI Wakil Ketua MPR RI
Tulisan ini disalin dari Koran Sindo, 16 Juli 2011

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan