Newmont untuk Siapa?

Keputusan pemerintah pusat membeli 7% saham Newmont Nusa Tenggara (NNT) senilai USD246,8 juta 6 Mei 2011 patut diapresiasi.

Dengan itu, divestasi 31% saham NNT telah tuntas, dan komposisi pemegang saham NNT berubah menjadi NTP (Newmont & Sumitomo) 49%, Multi Daerah Bersaing (MDB) 24%, Pukuafu Indah (PI) 17,8%,Indonesia Masbaga Investama (IMI) 2,2%, dan Pemerintah RI 7%.Namun, transaksi ini belum direstui DPR, yang mempermasalahkan sumber dana pembelian. Apakah sikap DPR relevan?

Kontrak Karya (KK) NNT ditandatangani pada 2 Desember 1986.Tambang Batu Hijau NTB diperkirakan menyimpan potensi 11,2 miliar pound tembaga, 14,7 juta ounce emas,dan 27,6 juta ounceperak.Berdasarkan harga rata-rata tembaga, emas dan perak masing-masing USD4/pound, USD1.500/ounce, dan USD20/ounce,potensi tambang adalah USD67,41 miliar atau sekitar Rp580 triliun (USD1=Rp8600).

Proses Divestasi
KK NNT mengatur Newmont & Sumitomo wajib mendivestasikan 31% sahamnya, masing-masing 3%, 7%, 7%, 7%, dan 7% pada 2006, 2007, 2008, 2009, dan 2010. Sesuai Pasal 24 ayat 3 KK,pemerintah pusat memiliki hak pertama untuk membeli,dan dapat beralih kepada daerah atau swasta nasional jika pusat atau daerah tidak menggunakan haknya. Proses divestasi 2006 dan 2007 gagal terlaksana karena berbagai kepentingan, termasuk upaya NNT untuk tetap mendominasi.

Oknum-oknum pemerintah bersama sejumlah pengusaha nasional juga terlibat perburuan saham.Kisruh ini menyebabkan Pemerintah RI menggugat NNT ke arbitrase internasional, 3 Maret 2008, karena lalai melakukan divestasi.Pada April 2008,NNT melayangkan gugatan balik, yang mempersoalkan keterlibatan pihak ketiga di balik rencana pembelian saham oleh pemerintah.

Pada 31 Maret 2009 arbitrase memenangkan Pemerintah RI dan NNT harus melanjutkan proses divestasi. Divestasi 2006-2007 digabung dengan divestasi 2008- 2009,sehingga total saham yang dieksekusi pada 2009 menjadi 24%. Pemerintah pusat “diwakili” Menko Perekonomian Sri Mulyani menyatakan akan membeli saham. Sayangnya, suara pemerintah tidak bulat. Pada semester I/2009 terjadi pertarungan dua “kubu”.

Pertama, kubu pemerintah pusat, didukung Menkeu Sri Mulyani, Menteri BUMN Sofyan Jalil, dan Wapres JK.Kedua,“kubu daerah”, didukung oleh Menteri ESDM Purnomo Y,Menko Aburizal B, Ketua BKPM M Lutfi, dan Ketua DPR Agung Laksono. Lembaga DPR bahkan mendukung kubu kedua! Hingga pemerintahan SBYJK berakhir September 2009, keputusan belum diambil.

Wapres JK memang propusat, tetapi Presiden SBY, yang harusnya mewakili pusat, tidak bersikap! Namun, hanya sebulan setelah SBY-Boediono berkuasa, November 2009, Presiden SBY menyetujui pembelian oleh “daerah”. Karena keputusan Presiden SBY ini, pusat gagal menggunakan hak rakyat Indonesia menguasai saham NNT. Ternyata daerah “mengerjasamakan” 24% sahamnya dengan perusahaan swasta, Multicapital (Grup Bakrie).

Kerja sama ini terwujud dalam perusahaan patungan bernama Multi Daerah Bersaing (MDB), yang merupakan gabungan Multicapital dengan Daerah Maju Bersaing (DMB), milik Pemprov NTB dan Pemda Sumbawa (KS) dan Sumbawa Barat (KSB). MOU kerja sama MDB ditandatangani 11 Juli 2009, dengan pemilikan saham 75% Multicapital dan 25% DMB.

Seluruh dana untuk pembelian 24% saham ditanggung Multicapital, tanpa kewajiban membayar oleh DMB (golden share). Setelah hampir dua tahun, daerah tidak memperoleh hak sesuai kesepakatan. Majalah Sumbawa News (Mei 2011) melaporkan MDB berhak memperoleh dividen pada 2010 sebesar USD172,8 juta atau sekitar Rp1,48 triliun. Jika pola 75%:25% diterapkan, mestinya ketiga daerah NTB,KS dan KSB memperoleh dividen sebesar 25% x USD172,8 juta=USD43,2 juta atau sekitar Rp371,52 miliar.

Namun, hingga saat ini daerah/DMB hanya menerima USD4 juta atau sekitar Rp34,4 miliar.Apakah MDB kelak akan melunasi kekurangan pembayaran sekitar Rp337,12 miliar? Karena Multicapital dan daerah sederajat, seharusnya 25% dividen milik DMB telah tuntas diserahkan k e p a d a daerah.

7% Saham NNT
Pembelian 7% saham NNT oleh pusat sesuai Pasal 41 UU No 1/2004. Menurut Kemenkeu, dengan memiliki saham pemerintah dapat berperan optimal mengawasi, mengelola, dan membayar pajak.NNT akan dijadikan sebagai laboratorium pajak untuk menganalisis dan memverifikasi beragam masalah dan kelayakan pembayaran pajak perusahaan tambang.

Memang, mengelola perusahaan melalui pemilikan saham adalah satusatunya langkah yang harus ditempuh jika negara ingin menguasai dan memanfaatkan kekayaan alam secara optimal sesuai konstitusi.Aneh jika DPR terkesan menghambat pembelian 7% saham NNT oleh Kemenkeu.

Tambang NNT sangat menguntungkan, terbukti setelah investasi sebesar USD909 juta untuk 24% saham,MDB memperoleh dividen pada 2010 sebesar USD172,8 juta! Padahal usia tambang NNT dapat lebih dari 20 tahun, sehingga tingkat pengembalian investasi bisa melebihi 100% dalam waktu enam tahun! Di sisi lain,daerah sangat dirugikan dalam kerja sama dengan Multicapital karena pola bagi hasil dan peran yang tidak optimal.

Karena itu, seluruh saham divestasi NNT (24% & 7%) seharusnya dikoordinasikan dan dimiliki bersama oleh pemerintah pusat dengan daerah tanpa melibatkan swasta. Meskipun pembelian 24% saham NNT telah gagal,dan ini merupakan kesalahan fatal Presiden SBY, keputusan Kemenkeu membeli 7% saham NNT patut dikawal.Pembelian tersebut sesuai konstitusi, peraturan dan KK, serta sangat menguntungkan.

Ada pendapat saham tersebut kelak dijual kembali kepada asing, sebagaimana juga muncul pada proses divestasi 24% yang lalu. Menkeu membantah dan menyatakan tidak berniat menjual kembali. Demi kepentingan strategis dan optimasi pendapatan negara, pemerintah dihimbau konsisten dengan sikapnya membeli 7% saham dan segera menggabungkan saham nasional yang terpisah (NKRI 7%, PI 17,8%,IMI 2,2%,dan MDB 24%) ke dalam satu konsorsium nasional (51%),sehingga mampu mengendalikan jalannya NNT sesuai kepentingan bangsa.

Kita harap DPR tidak menghambat Kemenkeu dengan alasan tak jelas dan mendukung gagasan penggabungan saham ini.Wakil rakyat seharusnya mengutamakan kepentingan rakyat pemilih, bukan yang lain. 
MARWAN BATUBARA Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies (Iress) 
Tulisan ini disalin dari Koran Sindo, 8 Juni 2011

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan