Negeri Habitat Para Penyaru

Negeri ini pantas disebut sebagai habitat atau tempat kediaman para penyaru. Penyaru adalah orang yang melakukan praktik menyaru atau menyamar dengan tujuan mengelabui pihak lain.

Kejadian terbaru terkait aksi penyaruan bisa disimak ketika media massa menampilkan foto seseorang mirip Gayus Tambunan sedang menyaksikan pertandingan tenis di Bali. Publik tersentak karena orang itu memang begitu serupa Gayus, tersangka kasus mafia perpajakan.

Tapi, tentu saja, awalnya Gayus menyangkal dengan dalih tak pernah keluar dari tahanan Brimob, tidak mengajukan izin sakit, dan tak menyukai tenis. Adapun pihak kepolisian menyatakan, Gayus memang sempat tak berada di sel karena minta izin untuk tak kembali ke tahanan.

Menurut penelusuran Kompas, ketiadaan Gayus terkuak ketika Kepala Bareskrim Ito Sumardi menjalankan inspeksi mendadak ke Rutan Brimob. Ito tak menemukan Gayus di rumah tahanan. Sempat muncul ancaman, jika Gayus tak segera kembali, akan ada perintah tembak di tempat terhadapnya. Gayus akhirnya ditemukan polisi di rumahnya. Gayus pun dijemput Densus 88 (Kompas, 10/11).

Manakah yang benar? Pernyataan Gayus ataukah pihak kepolisian? Dari dua penegasan itu saja sudah menunjukkan adanya ketidaksinkronan pengakuan.

Inilah penyaruan yang tidak sempurna karena masing-masing pihak yang berkepentingan menyodorkan pernyataan yang bertentangan. Jika Gayus mengakui orang yang menyaksikan turnamen tenis itu adalah benar dirinya, publik makin yakin seorang tahanan yang memiliki uang berlimpah ruah memang bisa mengatur penjaga sesuai kehendak hasratnya.

Apabila pihak kepolisian menyatakan memang memberikan keleluasaan bagi Gayus, maka persepsi publik tentang oknum-oknum keamanan yang gampang menerima suap adalah benar adanya. Tetapi, pengandaian itu tipis peluangnya dihadirkan karena pasti menciptakan haru-biru bagi negeri habitat para penyaru.

Soal kebohongan
Menyaru (disguise), dalam Oxford Advanced Learner’s Dictionary 7th Edition (2010), berarti mengubah penampilan sehingga orang-orang tak mengenali. Makna lain: menyembunyikan atau mengubah sesuatu sehingga tidak mampu dikenali. Hanya saja, menyaru tak sebatas dalam domain penampilan fisik belaka. Menyaru juga bisa dikaitkan dengan soal kebohongan, terutama dalam komunikasi.

Seseorang yang memiliki kebiasaan menyaru dengan kata-kata adalah pembohong. Bukan tampilan fisik yang disarukan, melainkan ucapan-ucapan verbal yang dimaksudkan mengelabui orang lain. Bahkan, gerak-gerik nonverbal pun bisa juga dikerahkan dalam aksi penyaruan.

Filsuf Sissela Bok (sebagaimana diuraikan James Edwin Mahon, Two Definitons of Lying, 2008) menyatakan, ketika kita secara sengaja berbohong, kita mengomunikasikan pesan-pesan untuk menyesatkan pihak lain. Kita dapat melakukan kebohongan dengan gesture, dengan penyaruan, bertindak atau tak bertindak, bahkan dengan bungkam sekalipun.

Memang, berbohong didefinisikan sebagai pesan-pesan muslihat yang sengaja dinyatakan. Tapi, berbohong dapat disampaikan dengan sinyal-sinyal asap, kode Morse, bahasa tanda, dan hal-hal serupa. Pengelabuan adalah kategori yang luas, dan berbohong merupakan bagian darinya. Korupsi adalah bentuk kebohongan karena menyarukan kepentingan pribadi yang diatasnamakan kepentingan umum.

Memberikan bantuan kepada korban- korban bencana alam dapat menjadi kebohongan atau ketidaktulusan karena umbul-umbul dan spanduk parpol atau korporasi sengaja menyarukan donasi. Studi banding atau kunjungan kerja yang begitu sering dilakukan wakil rakyat adalah kebohongan karena menyarukan maksud untuk berwisata belaka.

Menengok korban kekerasan untuk menaikkan popularitas pejabat adalah kebohongan karena menyaru dalam bentuk perilaku simpati. Tentu saja, terlalu banyak daftar kasus kebohongan yang disarukan dalam berbagai ragam strategi yang mengesankan kebaikan.

Pertanyaannya, mengapa kebohongan yang dipraktikkan dalam aneka teknik penyaruan begitu gampang digulirkan? Peter Winch (dikutip James A Jaksa dan Michael S Pritchard, Communication Ethics: Methods of Analysis, 1994) menyatakan bahasa yang digunakan dalam masyarakat tertentu memang diatur oleh konvensi-konvensi, tetapi norma kejujuran tidak jadi persoalan dalam konvensi tersebut.

Artinya, penggunaan bahasa yang baik dan benar memang secara terus-menerus digalakkan, hanya saja pelanggaran terhadap norma-norma kejujuran dalam berbahasa tak pernah dipersoalkan secara moral. Penyaruan bisa terjadi dalam pemakaian bahasa yang menunjukkan tata krama linguistik yang amat tertib.

Namun, sebenarnya dalam ketertiban berbahasa justru penyaruan mampu dilakukan secara sempurna. Sebagaimana seseorang yang menyaru sehingga secara fisik tak bisa dikenali orang lain, retorika politik yang disajikan dalam kesantunan tak lepas dari kepentingan penyaruan.

Dari aspek prosedural kebahasaan terkesan rasional. Dari sisi kemampuan mengundang perhatian khalayak tak perlu diragukan. Namun, ketika sang penyampai retorika sekali saja melakukan penyaruan dan diketahui kebohongannya, semua ucapannya hanya akan dimaknai sebagai strategi penyaruan belaka.

Pertahanan diri
Apakah setiap penyaruan sebagai realisasi kebohongan adalah aksi yang secara moral buruk? Tentu saja, ada beberapa pengecualian dalam lingkup ini. Aksi penyaruan yang dimaksudkan untuk pertahanan diri pada sebuah rezim yang sangat menindas dapat diterima secara etis, bahkan penyaruan dapat dipakai untuk melakukan perlawanan.

James C Scott (sebagaimana diulas Helena Flam, Anger in Repressive Regimes, 2004) mengemukakan ada dua reaksi protes yang kasatmata dijalankan kaum lemah. Pertama, kelompok yang tertindas mengalami ketakutan sehingga harus bertindak hati-hati dan mempraktikkan penyaruan sebagai bentuk protes bersifat anonim. Kedua, kaum yang direpresi menunjukkan kemarahan terbuka untuk menunjukkan protes yang lebih berbahaya.

Penyaruan dalam suasana rezim politik yang sangat opresif dapat dibenarkan untuk menyelamatkan diri, terutama bagi kaum lemah yang secara kontinu hendak dimusnahkan. Tapi, dalam situasi yang lebih terbuka dan demokratis tak ada dalih yang membenarkan penyaruan. Ironisnya, dalam keadaan yang lebih transparan, penyaruan justru dijalankan orang-orang yang dari perspektif kelas sosial justru memperlihatkan kemapanan finansial.

Kenyataan itu dapat disimak ketika ada orang yang mangkir dari panggilan komisi antikorupsi dengan menyaru sebagai orang sakit. Atau, menyarukan kamar tahanan sebagai ruang pribadi yang demikian mewah. Penyaruan adalah bentuk pengelabuan. Sedangkan pengelabuan, menurut Joseph W Caddell (Primer on Deception, 2004), memiliki dua kriteria.

Pertama, dilakukan secara sengaja. Kedua, dirancang untuk meraih keuntungan bagi pelakunya. Dalam kasus orang mirip Gayus, siapa yang sengaja menyaru dan keuntungan apa yang diraihnya? Di negeri habitat para penyaru tentu publik memiliki dugaan cerdas: orang berlimpah harta dalam tahanan yang perlu hiburan dengan cara menyuap petugas.

Triyono Lukmantoro Dosen FISIP Universitas Diponegoro
Tulisan ini disalin dari Kompas, 16 November 2010

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan