Negara Paling Korup

Kapankah sebuah negara dikatakan paling korup? Banyak jawaban yang dapat dikemukakan. Tetapi, paling tidak, kita dapat menggolongkannya ke dalam tiga dalil utama. Jawaban terhadap pertanyaan ini boleh jadi mewakili opini kita masing-masing dalam memperingati Hari Antikorupsi sedunia sebagai sebuah gerakan moral untuk memberantas korupsi yang makin hari makin sistemik.

Tanpa Penegakan Hukum
Dalil pertama negara paling korup tecermin dari bagaimana cara mereka menegakkan hukum. Umumnya, mereka mengaku sebagai negara hukum yang memiliki hukum, tetapi dalam praktik pemerintahannya, negara gagal menegakkan hukum dengan benar.

Peraturan dan segala macam ketentuan hukum untuk mengatur warga negara dan aparatur pemerintah dalam negara semacam ini tidak lagi berdiri di atas kepentingan yang murni. Penegakan hukum menjadi karut-marut, dapat dibeli, bahkan diperlakukan seperti karet dalam tafsir-praktiknya. Hal seperti ini terjadi karena terlalu banyak kepentingan yang membuat hukum tidak lagi murni dan bersih dalam menegakkan keadilan.

Keadilan dalam negara semacam ini bisa diatur dan diubah sesuai dengan kepentingan siapa yang hendak dibela atau atas pesanan siapa. Hukum menjadi order yang diperlakukan ibarat barang dagangan.

Tidak heran menyaksikan aparat bertindak membingungkan dalam usahanya menegakkan hukum, diskriminatif, dan memperlihatkan perilaku yang saling bertentangan. Selalu ada standar ganda penegakan hukum. Bahkan, hukum dijadikan seperti karet yang bisa ditarik ulur sana-sini. Diperlukan usaha sangat keras untuk memperjuangkan rule of law. Semua orang enggan melakukannya karena mereka adalah pelanggar hukum juga.

Memang negara terlihat memiliki dan menghasilkan banyak produk hukum dan legislasi. Tetapi, semua produk tersebut bukan ditujukan untuk menjamin usaha penegakan hukum bagi kepentingan umum (warga negara). Hukum itu demi melegitimasi kepentingan sepihak dan kekuasaan para penyelenggara negara. Itu sebabnya, dalil pertama dari negara paling korup adalah negara hukum yang tidak menegakkan hukum.

Aparatur Korup
Dalil kedua dari negara paling korup adalah memiliki aparatur yang korup. Di mana-mana di dalam sistem pemerintahan dan penyelenggaraan negara, tidak ada yang namanya bekerja untuk melayani kepentingan umum. Pegawai negeri yang digaji negara untuk melayani masyarakat memiliki banyak dalih untuk menjadikan semua urusan menjadi sangat birokratis dan mengondisikan masyarakat menempuh jalan pintas. Tujuannya jelas. Uang telah menjadi indikator di dalam menggerakkan birokrasi dan pelayanan umum.

Sistem birokrasi berubah bentuk menjadi biro jasa yang serba memerlukan biaya dari satu meja ke meja lain. Mencoba mengikuti prosedur dengan cara yang biasa justru akan dihambat dan dipersulit. Papan dan pengumuman untuk tidak melakukan suap atau menggunakan calo, tidak memiliki kekuatan untuk menghambat semua praktik tersebut.

Dalam hal ini birokrasi tidak lagi digerakkan oleh semangat pengabdian dan responsibilitas. Tidak ada pula yang namanya integritas dan rasa bersalah melanggar hukum dan sumpah jabatan. Uang suap, pemberian, ucapan terima kasih, gratifikasi, makelar kasus, mafia pengadilan, konspirasi, dan kolusi menjadi ciri utama para aparatur dan birokrat di negara yang terkorup.

Saking kuatnya budaya korupsi ini berakar di dalam karakter dan perilaku aparat, orang bersih yang masuk dalam sistem justru akan tersandera oleh sistem itu sehingga tidak punya pilihan lain kecuali melakukan hal yang sama atau tersingkir. Usaha penegakan hukum untuk menghukum para pelaku tidak pernah serius dilakukan karena kesalahan telah menjadi sistemik. Bahkan, para penegak hukum sendiri adalah korup. Itu sebabnya, dalil kedua untuk negara paling korup adalah negara yang aparaturnya korup.

Pemimpin Fobia
Apa hubungannya antara pemimpin dan negara terkorup? Ini yang disebut tanggung jawab kepemimpinan. Sebuah negara yang baik akan dihasilkan dari kepemimpinan yang baik. Sebaliknya, kepemimpinan yang buruk akan menghasilkan negara yang buruk. Negara dan sistem birokrasi yang ada di dalamnya adalah cermin perilaku para pemimpinnya.

Dalil ketiga negara terkorup adalah negara yang memiliki pemimpin fobia. Tipologi pemimpin seperti ini selalu identik dengan perilaku yang takut mengambil keputusan, bahkan cenderung memberangus segala perlengkapan untuk penegakan hukum karena takut usaha tersebut akan berbalik menghantam diri dan kroninya.

Seorang penguasa dengan unsur fobia yang kuat, tidak akan peduli terhadap kepentingan umum, selain kepentingan diri sendiri. Pemimpin model ini tidak pernah memiliki rasa aman (secure feeling) dalam kekuasaannya. Dia sangat reaktif jika itu menyangkut dirinya, tetapi sangat pasif jika itu menyangkut kepentingan orang lain. Sedikit-sedikit dia membela diri dan gampang sekali memberikan pernyataan dengan penekanan tertentu sebagai sinyal ancaman untuk menakuti lawan-lawan politik.

Demikianlah ciri pemimpin yang berkuasa di negara paling korup. Pergerakan politik yang berlangsung di sekelilingnya ditanggapi negatif sebagai kontra-kekuasaan. Bukannya menggunakan hal itu untuk mengoreksi diri atau bersinergi dengan kekuatan rakyat untuk melakukan perubahan radikal dalam sistem yang korup, sang pemimpin justru memasang kuda-kuda karena takut dirinya dilengserkan atau menjadi sasaran tembak.

Semoga tiga dalil negara paling korup yang disajikan di atas tidak pernah menjadi kenyataan di negara kita. (*)

Sonny Eli Zaluchu, kolumnis dan teolog. Sedang menyelesaikan program D.Th di STBI Semarang

Tulisan ini disalin dari Jawa Pos, 9 Desember 2009

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan