Nazaruddin Sandera Demokrat

Tak mudah bagi partai dan sejumlah petingginya untuk melepaskan diri dari penyanderaan oleh Nazaruddin, bahkan ini ujian terberat

MUHAMMAD Nazaruddin, Bendahara Umum Partai Demokrat yang dicopot dari jabatannya terkait dengan sangkaan keterlibatannya dalam suap Sesmenpora dan gratifikasi Sekjen Mahkamah Konstitusi (MK) tak hanya belum memenuhi panggilan KPK. Dari persembunyiannya di Singapura dia melakukan perlawanan. Dua koleganya dari partainya, dan seorang dari PDIP, disebutnya terlibat dalam kasus Sesmenpora (SM, 18/06/11). Dia memang fenomena.
Sebelumnya bukanlah siapa-siapa tapi dalam usianya yang baru 33 tahun, karier politiknya melejit, meninggalkan senior dan sejumlah pendiri partai. Ia juga menjadi miliarder muda, sejak dilantik menjadi  bendahara umum dalam kepengurusan Anas Urbaningrum per Oktober 2010, ia telah menyumbang Rp 13 miliar kepada partai.

Dia juga punya pengaruh  sangat kuat di partainya. Hal ini yang kabarnya membuat ketua dewan pembina sekaligus ketua dewan kehormatan partai, Soesilo Bambang Yudhoyono, tidak berani memecatnya. Kuat dugaan, sanksi yang diberikan merupakan kompromi kepentingan tingkat tinggi. Bisa jadi mantan bendahara umum itu menyimpan banyak informasi penting sepak terjang partai, sejumlah petingginya, termasuk putra Presiden, bahkan mungkin tentang SBY sendiri.

Sinyal itu terasa begitu kuat ketika Nazaruddin menyebut langsung keterkaitan beberapa petinggi partai terhadap sejumlah kasus, dan ancamannya melalui SMS. Meski kebenaran SMS itu perlu dibuktikan lebih jauh, tampaknya petinggi Demokrat gerah. Tapi faktanya SMS yang merusak citra dan integritas partai serta sejumlah petingginya tidak diusut tuntas. Nazaruddin juga merupakan sosok muda yang memiliki jaringan politik, hukum, dan ekonomi yang kuat. Bayangkan, ia meninggalkan Indonesia hanya berselang 23 jam sebelum terbit surat cekal dari KPK.

Imajinasi publik menyimpulkan tiga kemungkinan dia bisa melenggang ke Negeri Singa. Pertama; ada orang dalam KPK membocorkan rencana cekal pada 24 Mei 2011. Kedua; waktu keberangkatan dan surat cekal KPK merupakan skenario yang dipersiapkan. Ketiga; KPK lamban sehingga orang seperti dia dan juga Nunun Nurbaeti lolos dari pencekalan. Kemungkinan yang disebut pertama dan kedua itu, menggambarkan dia bukan orang biasa dan punya jaringan kuat. Karenanya, saya berkeyakinan, dalam menjalankan operasinya dia tidak sendirian. Mungkin itulah yang membuatnya begitu percaya diri tiap kali menyampaikan pernyataan.

Nasib Demokrat
Masa depan Partai Demokrat kini disandera oleh Nazaruddin dengan berbagai kasus yang membelitnya. Tak mudah bagi partai dan sejumlah petingginya untuk melepaskan diri dari penyanderaan, bahkan ini ujian terberat. Keliru mengambil langkah, nasib partai jadi taruhannya.

Jika terlalu keras dikhawatirkan Nazaruddin nekat membongkar seluruh isi perut partai. Sebaliknya, jika terlalu lunak publik terus mencerca, menghujat, bahkan mengurangi simpati dan dukungannya terhadap partai itu. Menurut hasil survei LSI, kasus Nazaruddin memiliki daya rusak luar biasa. Sebelum kasus itu terkuak, elektabilitas partai masih di angka  20,5%, tetapi sekarang turun jadi 15,5%.  Hal ini terjadi, menurut Denny JA, karena Demokrat tidak becus menangani kasusnya. Bahkan makin terpuruk jika kasus ini dibiarkan berlarut-larut tanpa kejelasan.

Untuk bisa keluar dari kesulitan itu,  beberapa pilihan dapat dikerjakan Demokrat dengan segala risiko. Pertama; kooperatif dengan KPK, yakni menyampaikan informasi di mana kadernya itu tinggal di Singapura agar bisa dijemput guna menjalani proses hukum. Kedua; partai harus berani membersihkan dari kader bermasalah dan tidak menjadikan partai sebagai tempat berlindung atau bungker bagi koruptor.

Secara konkret, partai bisa menjatuhkan sanksi tegas pemecatan kepada kader yang berurusan dengan hukum, baik yang telah menjadi terpidana, tersangka, maupun terproses. Langkah ini penting mengingat Demokrat kini dianggap sebagai bungker koruptor. Dengan cara ini, partai bisa membersihkan dirinya, sekaligus meyakinkan publik.

Ketiga; partai lebih selektif mendukung calon kepala daerah. Jika rekam jejaknya buruk, pernah tersangkut korupsi sebaiknya tidak didukung meskipun populer. Jika didukung, belakang hari partai akan menanggung akibat politiknya bila kasusnya kembali dibuka di pengadilan. Akhirnya, kasus Nazaruddin memberi pelajaran berharga bagi Partai Demokrat, yang harus menjadi momentum penting untuk membersihkan partai bila tidak ingin mengalami nasib tragis pada Pemilu 2014. (10)

Sebastian Salang, peneliti dari Formappi
Tulisan ini disalin dari Suara Merdeka, 21 Juni 2011

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan