Nazaruddin Makin Terpojok

Beri Uang ke Sekjen MK: Dilaporkan Langsung ke SBY

Posisi Bendahara Umum DPP Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin makin terpojok. Setelah dituding terlibat kasus suap proyek wisma atlet di Palembang, Sumatera Selatan, yang menjadikan Sesmenpora Wafid Muharam sebagai tersangka, kini dia dituduh mencoba menyuap Sekjen Mahkamah Konstitusi (MK), Djanedri M Ghafar.

Tindakan Nazaruddin tersebut dilaporkan langsung oleh Ketua MK, Mahfud MD, kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), yang juga Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat.

Presiden SBY kemudian menggelar konferensi pers mendadak di kantor Kepresidenan, Kompleks Istana, seusai menerima Ketua MK Mahfud MD dan Sekjen MK Djanedri M Ghafar, Jumat (20/5).

Konferensi pers tersebut khusus menjelaskan soal pemberian uang oleh Nazaruddin kepada Sekjen MK. Hal itu di luar dua agenda utama pertemuan konsultasi Presiden dengan Ketua MK. Pertemuan itu membahas persiapan MK selaku penyelenggara pertemuan konsultasi pimpinan lembaga negara, 24 Mei 2011. Selain itu, MK mengundang Presiden SBY menjadi pembicara kunci dalam sebuah simposium internasional mengenai konstitusi.

Presiden SBY mengungkapkan, beberapa hari lalu Mahfud MD mengirim surat yang isinya menjelaskan kejadian pemberian uang sebesar 120 ribu dolar Singapura oleh Nazaruddin kepada Sekjen MK Djanedri. Menurut SBY, surat Mahfud tersebut langsung direspons melalui mekanisme internal Partai Demokrat, yang saat ini masih berproses dan sepengetahuan dirinya sebagai Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat.

“Sebagian media sudah mengetahui hal ini. Agar tidak menimbulkan spekulasi apapun dan memang ini benar adanya. Saya bersama Pak Mahfud memilih untuk memberikan penjelasan hari ini,” kata SBY.

Presiden menegaskan, pihaknya menanggapi serius laporan tersebut. “Saya melihat ini sesuatu yang tidak remeh, meskipun sekarang kami dalam rangka mendapatkan penjelasan ada apa sebenarnya. Dan itu sedang berproses,” katanya.

SBY juga menyatakan telah meminta penjelasan kepada Ketua Umum Partai Demokrat, Anas Urbaningrum, dan jajaran fungsionaris lainnya mengenai masalah tersebut. Dan, menurut SBY, hanya mendapatkan jawaban ’’tidak tahu’’.

’’Saya berharap laporan ini tidak menimbulkan ketegangan di internal partai. Dan, para kader Demokrat saya minta supaya tenang karena duduk persoalan yang sesungguhnya sudah jelas,’’ tegasnya.

Menurut SBY, bila apa yang dilakukan Nazaruddin tersebut terkait dengan masalah hukum, maka itu bukan urusan dirinya, melainkan urusan penegak hukum. ’’Namun, hal ini juga bisa dikaitkan dengan sisi etika, dan inilah kewenangan Dewan Kehormatan Partai Demokrat,’’ tegasnya.

Banyak Tafsir
Dalam konferensi pers yang sama, Mahfud MD mengatakan bahwa pihaknya juga bertanya untuk apa Bendahara Umum Partai Demokrat M Nazaruddin memberikan uang 120 ribu dolar Singapura kepada Djanedri. Karena itu, Ketua MK belum bisa mengatakan apakah hal itu termasuk suap atau gratifikasi.

“Bisa memiliki banyak tafsir. Sebab, kalau pun itu diduga upaya suap atau gratifikasi, Nazaruddin tidak memiliki kasus di MK. Ditindak pakai hukum apa? Kalau di MK, dia tidak punya urusan apa-apa. Tapi, kalau tidak kita kembalikan bisa juga dianggap gratifikasi,” kata Mahfud.

Meski secara hukum susah, lanjut Mahfud, kasus pemberian uang kepada Sekjen MK bisa menjadi pelajaran terkait etika. Karena itu, MK ingin menyerahkan kasus ini kepada Presiden SBY selaku ketua Dewan Pembina Partai Demokrat.

Mahfud mengungkapkan, ada dua amplop yang diberikan Nazaruddin kepada Sekjen MK Djanedri M Ghafar. Isinya masing-masing 60 ribu dolar Singapura. Djanedri berusaha mengembalikan amplop tersebut namun Nazaruddin menolak. Bahkan, Nazaruddin malah mengancamnya. “Ancamannya itu, kalau enggak mau terima, saya obrak-abrik MK,” kata Mahfud.

Mahfud melihat hal ini tidak bisa dibiarkan, karena bisa menimbulkan fitnah. Dia meminta agar uang itu segera dikembalikan ke rumah Nazaruddin. “Saya katakan, biar tidak jadi fitnah, kembalikan ke rumahnya serahkan ke siapa saja yang jelas identitasnya”.

Konflik Memanas
Sementara itu, perbedaan pendapat yang mengarah ke konflik internal antara tim investigasi Fraksi Partai Demokrat dengan Dewan Kehormatan DPP Partai Demokrat memanas pascapernyataan DK yang meminta Nazaruddin mundur.
Menurut Ketua Tim Investigasi, Benny Kabur Harman, pernyataan anggota DK, EE Mangindaan harus berdasarkan informasi dan data yang diperoleh DK bahwa Nazaruddin terbukti merusak citra partai.

’’Tapi, sampai sekarang DK belum memberikan sikap atau keputusan resmi terhadap Nazaruddin. Jadi, sebagai penegak kode etik, DK harus melaksanakan prinsip cover both side dengan meminta keterangan Nazaruddin sebelum mengambil keputusan,’’ kata Benny di sela-sela rapat paripurna di Gedung DPR, Jakarta, kemarin.

Kendati demikian, dia membantah jika tim investigasi telah menentang kebijakan DK PD, meskipun hasil penyelidikannya berbeda. ’’Hasil tim investigasi tidak untuk konsumsi DK. Tapi, kalau mau digunakan silakan saja. Jadi, kami tidak menentang, karena seharusnya semua menghargai penegakan hukum dalam hal ini KPK,’’ katanya.

Wakil Ketua Umum DPP, Max Sopacua, juga meminta agar anggota DK tidak mengeluarkan opini pribadi terkait nasib Nazarudin. Seharusnya, DK segera mengeluarkan keputusan terkait dugaan suap proyek wisma atlet yang melilit kadernya.

Anggota Komisi I DPR ini mengatakan, partainya menyerahkan kasus dugaan suap proyek wisma atlet kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). ’’Ketua Umum Anas Urbaningrum juga sudah mengatakan serahkan kasus ini ke KPK. Kita ingin ada landasan hukum yang rasional untuk mengambil sebuah keputusan,’’ tandasnya.

Sementara itu, anggota DK Demokrat, Jero Wacik mengakui, pihaknya belum memutus nasib Muhammad Nazaruddin. Sebab, DK mempunyai banyak opsi yang belum difinalkan. Selain itu, DK hanya bisa bergerak di tataran kode etik, bukan persoalan hukumnya.

Menanggapi laporan Ketua MK Mahfud MD kepada Presiden SBY, anggota tim investigasi yang juga juru bicara Demokrat, Ruhut Sitompul, menantang Mahfud MD untuk melaporkan hal itu kepada KPK. Hal ini harus dilakukan agar ada fakta hukum yang pasti terhadap Nazaruddin yang kini masih menjabat sebagai Bendahara Umum Partai Demokrat.

Menurut Ruhut, tim investigasi juga sudah meminta keterangan dari Nazaruddin soal pemberian uang kepada MK itu. Namun, Nazaruddin tetap membantah hal itu. ’’Kami sudah tanya, dia bilang demi Allah sampai tiga kali kalau itu tidak benar dan fitnah.’’

Sementara itu, Polda Metro Jaya pernah menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) kasus pemalsuan dokumen garansi dan asuransi PT Anugerah Nusantara pada 2005 dengan terduga Nazarudin yang kini menjabat Bendahara Umum Partai Demokrat. Namun, kasus itu akan kembali diproses jika ada novum (bukti baru).

’’Tentu kami akan melanjutkan kasus Nazarudin jika ada novum, meski sudah dikeluarkan SP3,’’ kata Kepala Bidang (Kabid) Humas Polda Metro Jaya, Kombes Baharudin Djafar, ketika dihubungi lewat telepon, Jumat (20/5).

Pihaknya akan kembali memproses kasus tersebut jika penyidik menemukan bukti baru atau pelapor mempunyai dan menyerahkan bukti baru. Menurutnya, laporan kasus tersebut terjadi pada 2005 dan penyidik mengeluarkan SP3 pada 2007. Nazarudin pernah ditangkap 1 x 24 jam untuk diperiksa penyidik dalam kasus tersebut. Namun setelah pemeriksaan selesai dia tidak ditahan.
Nazarudin diduga memalsukan dokumen garansi dan asuransi perusahaan miliknya, PT Anugerah Nusantara seperti yang dikeluarkan oleh Bank Syariah Mandiri Cabang Pekan Baru, Riau, dan Asuransi Syariah Takaful Cabang Pekan Baru, Riau.

Dokumen yang diduga palsu itu digunakan untuk persyaratan ikut tender proyek di Departemen Perindustrian serta Departemen Perikanan dan Kelautan. Dalam laporan polisi Nomor LP/4212/R/XII/05/SPK pihak pelapor adalah kuasa hukum Herman Heri, Albert Panggabean, dan pihak terlapor Nazaruddin dan Sekretaris PT Anugerah Nusantara, Neneng. (F4,J13,J22,K32, K24-25,35)
 
Sumber: Suara Merdeka, 21 Mei 2011

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan