Nazaruddin dan Profesi Operator Politik

Huru-hara Nazaruddin sebenarnya menguak satu profesi yang tertutup di mata umum tapi dirasakan oleh masyarakat: operator politik. Apa itu? Profesi ini membantu kepentingan pihak yang mempunyai uang, biasanya perusahaan, pengusaha, atau individu, untuk berekspansi bisnis atau kekuasaan, dengan mendekati para pengambil keputusan. Operator politik ini bisa berbaju aktivis partai, legislator, wartawan, aparat, dan lain-lain, yang punya hubungan luas serta dapat mempengaruhi pengambil kebijakan.

Merekalah yang mengoperasikan tiga tujuan strategi politik perusahaan (Baysinger, 1984). Pertama, domain manajemen: mendapat perlakuan khusus dari pemerintah, yang merugikan pihak lain, seperti proyek, lisensi, konsesi, atau subsidi. Ketua Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) Erwin Aksa menyebutkan lebih dari 90 persen anggota Hipmi bergantung pada pasar konstruksi anggaran pendapatan dan belanja negara/daerah. Ketergantungan ini sering kali bercirikan hubungan transaksional yang ekstrem, cash and carry, dan kickback untuk pengambil keputusan. Bisnis Nazaruddin masuk kategori ini, dengan banyak operator politik di kalangan partainya untuk memperlancar upaya mendapatkan kontrak pemerintah.

Kedua, domain defense: menghilangkan ancaman atas legitimasi tujuan perusahaan, misalnya lobi perusahaan rokok, sehingga Indonesia tak kunjung meratifikasi Framework Convention of Tobacco Control. Lebih ekstrem lagi, bagaimana lobi politik keluarga Bakrie di eksekutif dan legislatif yang menjadikan negara menanggung mayoritas biaya penanganan lumpur Sidoarjo.

Ketiga, domain maintenance: melonggarkan regulasi eksesif pemerintah yang dianggap memberatkan, seperti aturan lingkungan atau ketenagakerjaan. Misalnya, lobi berbagai industri sumber daya alam agar inpres terkait dengan moratorium izin pemanfaatan hutan berdasarkan MOU Indonesia-Norwegia dapat lebih lunak.

Para operator politik membantu sektor swasta yang menyewa mereka melakukan ketiga strategi tersebut. Bagaimana caranya? Crane dan Matten (2011) menyebutkan ada empat tipe pengaruh sektor bisnis terhadap pemerintah.

Pertama, lobi, yang arti aslinya adalah upaya mempengaruhi keputusan pejabat publik secara langsung dan privat, dengan informasi serta persuasi. Asosiasi industri atau Kadin suatu negara jamak melakukan lobi dalam pengertian ini. Ini berbeda dengan pengertian lobi di Indonesia, yang diartikan sebagai mempengaruhi kebijakan pejabat publik dengan segala cara, termasuk dengan uang. Lobi dalam pengertian inilah yang sering dibantu oleh operator politik, misalnya untuk mendapat kontrak departemen tertentu, mengurus izin pelepasan hutan, izin impor daging, dan sebagainya.

Kedua, pendanaan partai. Operator politik menghubungkan kepentingan partai atau kelompok kepentingan tertentu dengan pengusaha yang cari aman (domain maintenance/defense). Biasanya pengusaha menyumbang partai sesuai dengan besar suara/kekuasaan. Ini bersinergi dengan strategi akses personal ketika, menurut Hillman (1995), pengusaha/pejabat perusahaan berupaya menjadi pejabat publik, pemimpin partai, atau sebaliknya. Dengan demikian, pendanaan partai ditangani oleh sang pengusaha, yang memudahkan dia menyetir arah partai, melalui operator politiknya. Bukan kebetulan kalau Nazaruddin, yang mantan bendahara partai, dapat memanfaatkan jabatan dan politikus koneksinya dalam bisnisnya.

Ketiga, state capture, yaitu ketika suatu kelompok kecil (misalnya elite pengusaha dan partai) membuat rules of the game (antara lain undang-undang dan kebijakan pemerintah) untuk kepentingan mereka sendiri, melalui cara-cara yang kotor tapi terlihat demokratis. Kebijakan pemerintah secara langsung dipertukarkan dengan uang tapi sulit dijangkau hukum. Saat ini jelas terlihat bagaimana elite politik dan bisnis bersinergi menentukan arah kebijakan negeri ini, dari pusat sampai daerah, di semua sektor.

Keempat, privatisasi fungsi pemerintah ke swasta, di antaranya melalui public private partnership/PPP (kemitraan pemerintah-swasta). Menurut Crane dan Matten, ini adalah dilema etis tertinggi karena pemerintah melepaskan sebagian tanggung jawab penyediaan pelayanan publik kepada swasta, dengan warga negara, yang seharusnya menikmati fasilitas publik melalui pajak mereka, dipaksa menjadi konsumen dengan membayar harga mahal. Pengamatan empiris menunjukkan perusahaan yang mendapatkan proyek PPP biasanya mempunyai koneksi politik yang luas.

Kesemua hal di atas memerlukan peran operator politik untuk menjamin ekspansi bisnis dan kekuasaan kelompok kepentingan bisnis tersebut. Studi di Amerika (misalnya Hillman, Zardkoohi, dan Bierman, 1999) serta Indonesia (misalnya Purbasari, 2007) menyimpulkan secara empiris bahwa koneksi politik memang menguntungkan perusahaan. Tapi, dalam jangka panjang, strategi politik yang berlebihan dengan menggunakan jasa operator politik akan melenakan pengusaha dan badan usaha milik negara kita, terbuai dengan captive market pasar APBN/D, dan melalaikan upaya membangun kompetensi teknis, sosial, serta lingkungan untuk bermain di pasar global.

Yang menarik, ada beberapa BUMN dan perusahaan swasta, yang secara natural bergantung pada pasar pengadaan APBN/D, mulai bersaing secara profesional di tingkat internasional, tanpa menggunakan operator politik. BUMN konstruksi kita sudah beberapa tahun mengerjakan kontrak konstruksi di kawasan Arab. Ini menunjukkan bahwa mereka secara serius membangun kompetensi bisnis, dengan strategi bisnis yang tepat, dan sedikit demi sedikit melepaskan strategi politik kotor.

Jika pengusaha kita tetap melakukan strategi politik tak bertanggung jawab, dengan dibantu para operator politik, niscaya swasta kita akan tetap menjadi pemain lokal dan demokrasi kita hanya sebatas prosedur serta pencitraan. Kita mendekati kebangkrutan secara ekonomi dan politik.
Agam Fatchurrochman, PENGAMAT STRATEGI POLITIK PERUSAHAAN, BEKERJA DI SEBUAH KANTOR KONSULTAN MANAJEMEN

Tulisan ini disalin dari Koran Tempo, 26 Juli 2011

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan