Nazaruddin dan Problem Politik Dadakan

Banyak orang bertanya, apa istimewanya Nazaruddin? Karier politiknya serbamendadak. Hanya setahun setelah dia menjadi caleg dari PPP pada Pemilu 2004, dia diangkat menjadi wakil bendahara di Partai Demokrat (PD).

Lima tahun berikutnya, dia dipromosikan sebagai bendahara umum. Setahun kemudian dia diberhentikan dari jabatannya, bahkan keanggotaannya dari PD. Fenomena seseorang secara mendadak menjadi tokoh sentral di dalam partai politik memang bukan hanya khas Nazaruddin dan terjadi di PD.

Fenomena serupa juga terjadi di partai-partai lain. Tetapi, drama yang menimpa Nazaruddin dan PD lebih khusus karena seorang Nazaruddin telah melahirkan prahara luar biasa di tubuh PD dan membuat konsentrasi Presiden SBY terpecah- pecah. Secara konseptual,munculnya fenomena semacam Nazaruddin tidak lepas dari menurunnya aspek kelembagaan di dalam partai.

Ketika suatu partai kuat kelembagaannya, masalah rekrutmen dan kaderisasi biasanya sudah berlangsung secara mapan.Tidak ada ceritanya orang yang baru masuk menjadi anggota partai tiba-tiba menjadi tokoh sentral dan menduduki posisi yang menentukan.

Personalisasi
Sebaliknya, fenomena semacam Nazaruddin itu menandai menguatnya personalisasi politik di dalam partai. Fenomena demikian tidak hanya terjadi di Indonesia, tapi juga di negara-negara lain, termasuk negara-negara yang sudah mapan demokrasinya. Menguatnya personalisasi politik tidak lepas dari merenggangnya ikatan ideologis partai.

Ideologi partai memang tidak hilang sama sekali. Tetapi, relasi antara pemilih dan yang dipilih tidak lagi didasarkan pada slogan-slogan ideologis semata. Relasi itu tidak lepas dari popularitas dan kualitas para politisi. Pergeseran semacam ini berseiring dengan kompetisi pemilihan yang semakin ketat.

Agar bisa memperoleh dukungan dari para pemilih, suatu partai tidak lagi mengandalkan para pendukung tradisionalnya. Mereka berusaha menampilkan calon-calon yang memiliki popularitas dan elektabilitas yang lebih besar di daerah pemilihan tertentu. Khusus untuk PD,personalisasi politik lebih menguat karena PD termasuk partai dadakan.

Berbeda dengan partai tertentu yang sudah memiliki basis sosial yang lebih jelas— seperti Golkar, PDIP, PKB, PAN, dan PKS—PD berdiri lebih mengandalkan kualitas personal SBY. Dalam dua kali pemilu terakhir, kemampuan PD untuk memperoleh suara yang bermakna tidak lepas dari kualitas pribadi SBY.

Konsekuensinya, PD belum memiliki sistem rekrutmen dan pengaderan yang memadai.Tidaklah mengherankan kalau mulai DPP sampai organ partai di tingkat bawah ditemukan orang-orang yang sebelumnya tidak berbau PD tiba-tiba menjadi pucuk pimpinan.

Bahkan, dalam banyak kasus, orangorang tersebut sebelumnya merupakan aktivis dari partai lain. Yang acapkali dijadikan pertimbangan di dalam penempatan posisi-posisi, dalam banyak kasus, bukan seberapa lama orang tersebut ikut membesarkan partai, melainkan sejauh mana orang tersebut secara personal bisa membawa partai memperoleh suara lebih besar.

Untuk itu, faktor ketokohan menjadi salah satu pertimbangan utamanya. Tidak mengherankan kalau pucuk pimpinan PD di sejumlah daerah merupakan kepala daerah atau mantan kepala daerah.Orang-orang demikian diasumsikan memiliki pengikut besar, sehingga diharapkan menjadi instrumen mobilisasi dukungan di dalam pemilu.

Materialisasi

Selain pertimbangan personal, pertimbangan lain di dalam penentuan tokoh-tokoh kunci di dalam partai adalah kemampuan melakukan akumulasi ka-pital. Di negara-negara barat, hal ini bisa dilihat dari kemampuan membangun dukungan dari para donatur atau kemampuan melakukan fund-rising.

Kemampuan semacam itu menjadi suatu kebutuhan karena semakin mahalnya biaya politik. Di negaranegara yang sudah mapan demokrasinya, biaya itu terkait dengan upaya memperoleh dukungan melalui iklan dan bentuk-bentuk kampanye lainnya. Di Indonesia, biaya politik semakin tinggi karena tidak hanya untuk membiayai iklan dan bentuk-bentuk kampanye lainnya.

Sudah bukan rahasia umum lagi, di dalam setiap pemilu selalu terdapat transaksitransaksi material. Konsekuensinya, semua partai tidak lepas dari berpikir bagaimana memperoleh dana besar untuk keperluan-keperluan semacam ini.

Sudah bukan rahasia umum lagi, transaksi-transaksi material itu tidak hanya di dalam pemilihan umum, di dalam pemilihan pimpinan partai juga terdapat transaksi-transaksi material.Transaksi itu terjadi antara para delegasi yang memiliki hak memilih dan para calon ketua partai.

Tidak Sehat

Ketika penurunan aspek kelembagaan partai diganti oleh aspek personalisasi memang sudah terjadi masalah yang cukup serius. Berpolitik dalam hal ini tidak lagi berangkat dari ‘ideological driver’, tapi ‘personal driver’. Roh berpartai dalam kondisi semacam ini semakin luntur.

Fenomena yang muncul kemudian adalah semakin menguatnya pragmatisme di dalam berpolitik. Tetapi,ketika sudah berkait dengan materialisasi di dalam berpolitik, fenomenanya lalu menjadi tidak sehat lagi.

Hubungan antara politisi dan pengikutnya tidak lagi didasarkan oleh kesamaan gagasan dan program-program yang hendak diperjuangkan. Hubungannya lebih didasarkan pada pertimbanganpertimbangan jangka pendek, yaitu ‘aku dapat apa,kau dapat apa’.

Dalam kondisi semacam ini, roh berpolitik jelas semakin kabur. Cerita Nazaruddin harusnya menjadi bahan pembelajaran yang sangat penting, bukan hanya untuk PD, melainkan juga untuk partai-partai lain. Di balik adanya kelompok masyarakat yang pragmatis dan materialistis, juga masih banyak yang menginginkan partai memiliki roh yang kuat.

Orang-orang atau kelompok kelompok semacam itu menginginkan partai-partai politik memperjuangkan esensi bernegara, yaitu untuk membangun keadilan dan kemakmuran untuk warganya.
KACUNG MARIJAN Guru Besar Ilmu Politik Universitas Airlangga (Unair) Surabaya
Tulisan ini disalin dari Koran Sindo, 20 Juli 2011
 

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan