Nasi Basi untuk Kawula

Ia duduk di antara para siswa sebuah sekolah di bilangan Rawa Bebek, Jakarta Utara. Namun, jangan bayangkan ruang kelas dengan kursi, meja, papan tulis, atau alat belajar-mengajar yang layak. Yang ada hanya sampah, dipilah dan diikat di karung warna-warni. Juga tumpukan limbah kertas yang akan dijual lagi.

Namanya saja sekolah darurat, memang dibuat darurat. Di sekolah darurat Kartini, di kolong jembatan dengan selingan suara kereta api setiap waktu tertentu, inilah film dengan durasi 21 menit dirangkai. Judulnya, Upeti untuk Punggawa, Nasi Basi untuk Kawula (2001).

Lingkaran kecil

Tak sulit menjelaskan bagaimana korupsi bisa membentuk keadaan seperti yang tergambar di sekolah darurat Kartini. Dari aspek penyebaran sumber daya ekonomi dan distribusi kesejahteraan, kita bisa tahu sebenarnya pembangunan dan kekayaan alam Indonesia dinikmati oleh siapa. Lebih dari 40 persen masyarakat berpendapatan terendah hanya mendapat remah (15 persen kue nasional). Padahal, 20 persen kelompok pendapatan tertinggi menguasai lebih dari setengahnya (Kompas, 14/3/2011).

Artinya, kesejahteraan dan akses terhadap sumber daya hampir dikuasai secara mutlak oleh lingkaran kecil ”itu-itu saja”. Bagaimana mereka menguasainya? Mudah! Dekati sumber kekuatan politik dan birokrasi. Bila perlu, jadilah politisi.

Coba simak juga tren pengusaha jadi politisi. Menurut catatan Indonesia Corruption Watch, terjadi peningkatan unsur pengusaha yang jadi anggota DPR. Pada periode 2009-2014 sekitar 44,6 persen anggota DPR berprofesi pengusaha, tertinggi dibandingkan dengan profesi lain, seperti pengacara, akademisi, dan jurnalis. Angka itu meningkat daripada periode 1999-2004 (33,6 persen) dan 2004-2009 (39,09). Jika dicermati, komposisi sederhana ini bisa bermakna lebih dalam tentang orientasi kebijakan dan keluaran produk politik DPR: apakah sebuah undang-undang dibuat untuk memenuhi kepentingan masyarakat atau sebaliknya.

Namun, tentu ”lingkaran kecil” itu tentu tidak hanya soal politisi. Elite pemerintahan dengan kekuatan birokrasi dan kewenangan besar untuk membuat kebijakan-kebijakan yang langsung menyentuh kepentingan dasar masyarakat juga harus bertanggung jawab atas ketimpangan luar biasa seperti hari ini. Perselingkuhan antara pemegang kekuasaan birokrasi dan kelompok bisnis berakibat sangat buruk terhadap pemenuhan hak dasar rakyat.

Dalam keadaan tertentu, terjadilah penyalahgunaan kekuasaan melalui konflik kepentingan di balik pengambilan kebijakan. Lihat saja fenomena penjualan sejumlah badan usaha milik negara atau bahkan megaskandal Bank Century.

Di sisi lain, saat ini kita juga dihadapkan pada realitas yang janggal tentang kekayaan pejabat publik. Di sebuah daerah, ribuan orang hidup berdesakan, jauh di bawah standar kelayakan. Akan tetapi, di lokasi tertentu, rumah megah berdiri dan pejabat difasilitasi secara berlebihan. Jika mau bicara tentang korupsi dan kemiskinan, sesungguhnya kita perlu menuntaskan masalah ini terlebih dahulu. Namun, memang ini bukan kerja jangka pendek.

Pertanyaan berikutnya, apakah upaya pemberantasan korupsi yang terjadi saat ini bisa menjadi salah satu jalan keluar problematika kemiskinan?

Penegakan hukum
Sebagian bisa, tetapi porsi terbanyak tetap terletak pada komitmen politik di DPR dan pemerintahan. Setidaknya dari perspektif hukum kita perlu berupaya memperkecil ruang gerak hubungan terlarang antara kelompok politik dan pebisnis, misalnya dengan regulasi antikonflik kepentingan dan mengatur norma ”memperdagangkan pengaruh” di hukum positif Indonesia. Hal ini perlu dilakukan untuk memutus rantai ”lingkaran setan” relasi korup politisi-birokrasi dan pengusaha.

Apa yang dilakukan KPK ketika memproses kasus yang melibatkan anggota DPR yang melakukan hubungan transaksional dengan pebisnis adalah salah satu upaya memecah rantai lingkaran setan itu. Hingga kini setidaknya 43 anggota DPR sudah ditangkap KPK dalam berbagai kasus.

Namun, apa yang dilakukan KPK belum cukup. Proses pidana korupsi yang mengandalkan kewenangan konvensional KPK belum mumpuni untuk membersihkan korupsi yang menghambat pemerataan aliran kesejahteraan. Sanksi pidana masih rendah. Ide untuk memiskinkan koruptor belum terealisasi. Seharusnya penegak hukum dibantu dengan aturan baru tentang pembuktian terbalik dan perampasan aset hasil korupsi.

Ketika pejabat negara tidak mampu membuktikan kekayaannya diperoleh dari penghasilan yang sah, harta tersebut harus dirampas negara. Akan tetapi, tak cukup sampai di sana. Harta rampasan itu sepatutnya dialokasikan pada anggaran untuk pemenuhan hak-hak dasar masyarakat yang berada di bawah garis kemiskinan. Dengan begitu, ada jembatan yang nyata antara upaya pemberantasan korupsi dan perang terhadap kemiskinan.

Febri Diansyah Peneliti ICW; Koordinator Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan
Tulisan ini disalin dari Kompas, 22 Maret 2011

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan