Musyawarah Menggangsir Dana Hibah
ICW dan Asia Research Centre menyimpulkan: korupsi di daerah didesain lewat politik anggaran. Dialirkan buat kepentingan politik pejabat.
M.Z. Amirul Tamim berseru: ”Tak benar, itu fitnah.” Wali Kota Baubau, Sulawesi Tenggara, itu sedang berada di Seoul, Korea Selatan, untuk sebuah kunjungan kerja, ketika diwawancarai Tempo via telepon, Kamis pekan lalu.
Berita yang ”mengganggu” perjalanannya itu dilansir oleh Indonesia Corruption Watch dan Asia Research Centre, Murdoch University, Australia. Dua organisasi itu baru saja mengumumkan kesimpulan hasil penelitiannya: Baubau sebagai kota yang diduga korup lewat strategi politik anggaran. Menurut penelitian itu, pemerintah Baubau juga dinilai mengutamakan kepentingan keluarga Wali Kota. Contohnya penunjukan agen perjalanan di bandar udara, yang disebutkan milik keluarga Tamim.
Menurut Amirul, perencanaan pembangunan di wilayahnya dilakukan melalui Musyawarah Perencanaan Pembangunan, biasa disingkat Musrenbang. Semua proyek di wilayahnya dibicarakan dari bawah dan pelaksanaannya melalui tender terbuka. ”Tak ada keluarga saya yang terlibat dalam proyek pemerintah,” tuturnya. Soal agen perjalanan, ia berujar, ”Penumpang pesawat 10-20 orang per hari, jelas enggak untung, malah tombok.”
Kota Bandung di Jawa Barat dan Kabupaten Tabanan, Bali juga diambil sebagai sampel penelitian. Tiga orang terlibat dalam riset itu: peneliti Asia Research Centre, Murdoch University, Ian Wilson; peneliti pemerintahan lokal Luky Djuniardi Djani; dan Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia Teten Masduki. Kota Baubau dianggap mewakili kota pantai serta Kota Bandung representasi kota perdagangan, wisata, dan jasa. Adapun Kabupaten Tabanan mewakili distrik yang ekonominya berfondasi pertanian.
Teten menguraikan politik anggaran didesain dalam forum Musyawarah Perencanaan Pembangunan. Forum yang dibentuk sebagai partisipasi rakyat untuk menyusun anggaran ini, menurut penelitian, ternyata tak efektif. ”Rentan diselewengkan dan dikorupsi,” katanya. Musyawarah dihadiri ketua rukun tetangga, rukun warga, tokoh masyarakat, dan birokrasi. Usul yang dibahas cenderung mewakili pribadi, tak menyentuh keperluan rakyat. Contohnya usul pengadaan seragam sepak bola di Kota Bandung. Padahal persoalan Kota Kembang adalah sampah menumpuk. ”Musrenbang juga tak menyentuh akar struktural kemiskinan dan belum mengikat secara yuridis,” ujarnya.
Musyawarah itu juga rentan menimbulkan penyelewengan dana hibah. Dana rakyat cenderung dikuasai kepala daerah untuk memperkuat basis politik dan alat kampanye. ”Memang duit ditaburkan ke rakyat, tapi untuk memperkuat basis politik,” kata Teten. Pernyataan ini dibenarkan Ketut Semadha Putra, Ketua Gerakan Masyarakat Tabanan, yang menilai perencanaan pembangunan hingga alokasi dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah di daerahnya tak transparan. Hanya kalangan dekat birokrasi yang tahu. ”Masyarakat tak sungguh-sungguh dilibatkan,” katanya.
Ketut pernah melaporkan 11 item alokasi dana bermasalah ke Komisi Pemberantasan Korupsi, di antaranya penyertaan modal perusahaan daerah Darma Santika Tabanan Rp 1,392 miliar. Penyimpangannya: Darma Santika sudah dibekukan melalui SK Bupati Nomor 34/2006 dalam rangka efisiensi anggaran. Namun, pada April 2007, justru ada duit APBD Tabanan mengucur ke perusahaan itu. Ketut lalu memaparkan sejumlah kejanggalan anggaran hasil temuan Badan Pemeriksa Keuangan. Misalnya kasus hibah yang diduga tak dimasukkan ke APBD Rp 10,15 miliar.
Proyek mercusuar Telaga Embung dan rumah sakit internasional juga diduga bermasalah. Bendungan Telaga Embung, misalnya. ”Airnya disedot Perusahaan Air Minum Daerah, sehingga pertanian kekurangan air,” kata Ketut. Adapun proyek rumah sakit internasional adalah proyek elite di atas lahan tujuh hektare dengan dana pembangunan awal Rp 12 miliar. Dana hibah? Menurut Ketut, diduga dialirkan untuk kepentingan menjelang pemilihan bupati. Ia mencatat adanya dugaan pembagian dana Rp 1 miliar per kecamatan pada 2003-2004. Dana bertajuk bantuan sosial itu mengalir melalui para anggota Dewan tanpa kriteria yang jelas.
Saat dimintai konfirmasi ihwal hasil penelitian ini, Bupati Tabanan N. Adi Wiryatama tak bersedia berkomentar. Namun Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Tabanan I Made Sutresna menyatakan semua program di daerahnya sudah melalui Musrenbang. ”Dokumen pertemuan mulai tingkat desa hingga kabupaten ada, kok,” katanya.
Di Bandung setali tiga uang. Meski Musrenbang juga dilakukan berjenjang, faktanya, ”Musyawarah disetir birokrat,” kata Dan Satriana, Koordinator Lembaga Advokasi Pendidikan. Peserta Musrenbang tak mewakili masyarakat luas. Yang diundang ketua RW, pembina kesejahteraan keluarga, dan karang taruna, untuk mendiskusikan program pemerintah. Usul yang dibahas tak jauh dari program rutin, seperti karang taruna, pos pelayanan terpadu, pembangunan masjid, dan perbaikan selokan. ”Namun tak pernah menyebut besaran uang,” kata Satriana. Anehnya, di tingkat kota, musyawarah kelurahan dan kecamatan tadi dinihilkan. ”Muncul pengajuan baru, juga proposal permintaan dana,” katanya.
Musrenbang tingkat kota digelar di hotel selama dua hari, dihadiri kepala instansi, camat, lurah, Majelis Ulama Indonesia, lembaga pemberdayaan masyarakat, dan tokoh masyarakat. Hasilnya diolah tim perumus Badan Perencanaan Pembangunan Daerah, bagian pembangunan, dan bagian keuangan. Lalu menjadi rencana APBD. Tapi, ”Usul masyarakat tak terakomodasi, soal banjir, macet, sampah tak digubris,” ujar Ketua Forum Rukun Warga Kota Bandung Tatto Sutanto. ”Pemerintah daerah takut kalau partisipasi masyarakat akan mempersulit kerja mereka,” kata Suhirman, anggota Kelompok Keahlian Pengelolaan Pembangunan dan Pengembangan Kebijakan Institut Teknologi Bandung.
Usul yang tak masuk Musrenbang disalurkan ke pos belanja dana hibah. ”Repotnya, dana hibah bisa dimanfaatkan penguasa,” kata Satriana. Pertanggungjawaban pemakaian dana tak ada dan prosedur pengajuannya longgar. ”Seminar saja menyerap Rp 10-40 juta.” Menjelang pemilihan Wali Kota Bandung pada 2008, misalnya, penggelontoran dana hibah sebagian dialokasikan untuk menggaet dukungan buat pejabat yang hendak mencalonkan lagi. ”Kesannya yang memberi uang Wali Kota, padahal itu memakai duit APBD,” ujar Satriana. ”Dimanipulasi untuk kepentingan politik.”
Wali Kota Bandung Dada Rosada menampik tudingan itu. ”Siapa yang korupsi, berapa uangnya, alokasinya mana, dinasnya mana?” ujarnya sambil mengetuk jari telunjuk kanan berulang-ulang ke kaca mobil. Ia berdalih meluluskan warga minta sumbangan masjid atau sarana air bersih, meskipun tak ada pertanggungjawaban. Sebab, jika terjadi penyelewengan, pasti masyarakat akan berteriak. ”Sudah saya berhentikan seorang lurah karena beras untuk keluarga miskin tak sampai ke warga,” ujar Dada Rosada.
Untuk mengamankan duit berserak ke saku pejabat, Teten minta pembagian tegas dana APBD. Tiga puluh persen untuk pengeluaran tetap, seperti membayar gaji pegawai, gaji anggota dewan perwakilan rakyat daerah, dan pelaksanaan pemerintahan. ”Yang 70 persen serahkan semuanya dalam Musrenbang,” kata Teten. ”Tapi pelibatan masyarakat harus lebih meluas.”
Begitu pula dana hibah. Jika tak diatur, pasti akan menggila. Sebab, pada 2010, yang tinggal hitungan hari, akan ada 240 pemilihan kepala daerah di seluruh Indonesia. ”Dana hibah harus ditaruh di dinas dan satuan kerja perangkat daerah,” kata Teten, ”bukan di saku kepala daerah.”
Dwidjo U. Maksum, Rofiqi Hasan (Tabanan), Anwar Siswadi (Bandung)
Sumber: Majalah Tempo