Moratorium Remisi Koruptor

TIDAK bisa dimungkiri, pemberantasan korupsi belakangan ini terasa makin sulit. Pengadilan tindak pidana korupsi (tipikor) yang seharusnya menjadi lembaga penjera bagi tersangka korupsi malah jadi ”penyelamat”. Sejumlah koruptor dibebaskan. Meski ada koruptor divonis, aspek penjeraannya ternyata kurang sekali menimbulkan efek. Pasalnya, ada fasilitas pengurangan masa hukuman (remisi). Dengan remisi, para pengerat uang negara tak perlu meringkuk lebih lama di hotel prodeo.

Mungkin karena kurang melahirkan efek jera, Wakil Menteri Hukum dan HAM Denny Indrayana yang baru dilantik langsung mengumumkan dengan cepat rencana moratorium remisi bagi koruptor. Menghentikan sementara pemberian remisi bagi terdakwa korupsi. Moratorium remisi diyakini sangat mendesak dilaksanakan. Pasalnya, remisi membuat hukuman bagi terpidana korupsi menjadi lebih pendek.

Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat Korupsi) Fakultas Hukum UGM  pernah melakukan simulasi remisi pada hukuman terberat yang pernah diterima koruptor. Urip Tri Gunawan, mantan jaksa sekaligus mantan ketua tim pemeriksa kasus BLBI, tertangkap tangan oleh KPK. Dia terbukti menerima suap dari Artalyta Suryani alias Ayin. Artalyta adalah penghubung Sjamsul Nursalim, pemilik BDNI, salah satu bank yang diperiksa oleh tim pimpinan Urip.

Mahkamah Agung memvonis Urip 20 tahun penjara dan denda Rp 500 juta. Setelah penjatuhan sanksi tersebut, tidak ada lagi vonis lebih tinggi yang diberikan kepada koruptor. Atas putusan itu, Pukat Korupsi mensimulasi masa hukuman Urip (2011). Hasilnya, sangat mencengangkan.

Pertama; jika Urip diberikan remisi umum, remisi khusus, remisi tambahan karena berjasa pada negara, dan ditambah pembebasan bersyarat maka dia akan bebas dengan wajib lapor pada 2016 dan bebas penuh tahun 2019.
Kedua; kalau Urip diberikan remisi umum, remisi khusus, remisi tambahan karena membantu pembinaan sebagai pemuka, dan ditambah pembebasan bersyarat maka dia akan bebas dengan wajib lapor pada 2016 dan bebas penuh 2020. Ketiga; apabila Urip diberikan remisi umum, remisi khusus, dan diberikan pembebasan bersyarat maka dia akan bebas dengan wajib lapor pada 2017 dan bebas penuh 2021.

Kalau tanpa remisi, pensanksian bagi Urip yang dimulai 2008 berakhir 2028 (vonis 20 tahun). Namun, dengan remisi, Urip akan menjalani hukuman kurang dari setengahnya. Simulasi Pukat Korupsi menunjukkan, vonis terlama dan bebas dengan wajib lapor bagi Urip adalah pada 2017.  Setahun lebih cepat jika setengah masa hukuman tanpa remisi diberlakukan kepada Urip, yakni tahun 2018.

Edaran ke Dirjen
Padahal, belakangan ini, vonis yang dijatuhkan bagi koruptor rata-rata tak lebih dari 5 tahun. Dengan fasilitas remisi, tentu usaha menjerakan koruptor selalu terbentur pada tembok kegagalan. Mau tidak mau, rencana moratorium remisi yang dilontarkan oleh Wakil Menhukham perlu mendapatkan dukungan. Agar rencana itu tak membuka celah perdebatan secara hukum ataupun politik, perlu memperhatikan beberapa hal.

Pertama; berdasarkan Pasal 1 Ayat (3) UUD 1945, Indonesia adalah negara hukum. Artinya, penyelenggara negara dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya tidak boleh melanggar hukum. Tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Aturan pemberian remisi yang diatur dalam PP Nomor 28 Tahun 2006 menyatakan bahwa remisi diberikan kepada koruptor apabila memenuhi dua syarat. Telah menjalani 1/3 dari masa pidana dan berkelakuan baik. Ketentuan  ini harus diubah terlebih dahulu.

Presiden SBY sebagai kepala pemerintahan harus menerbitkan PP perubahan untuk menghapus ketentuan yang mengatakan ”telah menjalani 1/3 masa pidana”. Lebih baik lagi, jika pemerintah mengusulkan perubahan UU Nomor 12 Tahun 1995 yang memuat remisi sebagai hak narapidana tipikor. Hak remisi perlu dihapuskan bagi koruptor, mengingat ini adalah bagian dari usaha luar biasa untuk memberantas kejahatan luar biasa.

Kedua; jika perubahan PP dan UU membutuhkan waktu yang lama, maka Menhukham bisa mengambil langkah lain. Dalam PP Nomor 28 Tahun 2006 disebutkan, remisi bagi koruptor diberikan oleh menteri dengan memperhatikan pertimbangan dari dirjen pemasyarakatan. Menhukham bisa menerbitkan surat edaran kepada setiap dirjen agar lebih ketat memberikan pertimbangan atas napi koruptor. (10)

Hifdzil Alim, peneliti dari Pusat Kajian Antikorupsi Fakultas Hukum UGM
Tulisan ini disalin dari Suara Merdeka, 8 November 2011

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan