Monumen Pengkhianatan

Etika dan integritas para legislator kita semakin terpuruk. Di bulan suci sekalipun!

Tak peduli kondisi bangsa dan negara kita yang sungguh kian memprihatinkan, mereka justru menjadi kian manja dan jemawa. Ibarat gergasi, mereka tak henti- hentinya mengajukan aneka macam tuntutan akan tunjangan, kelengkapan, gratifikasi, fasilitas, apresiasi, dan privilese tanpa sedikit pun menimbang betapa rendahnya laku, kualitas, dan bakti mereka vis-a-vis tuntutan privilese tak berujung itu. Paling mutakhir mereka menuntut realisasi pembangunan gedung baru MPR/DPR 36 lantai supramewah dengan ancar-ancar total biaya Rp 1,8 triliun!

Ada tiga argumen imperatif mengapa pembangunan gedung baru mutlak harus ditolak. Pertama, berlakunya sikap mentang-mentang, dilanggarnya tuntutan keteladanan yang melengketi fungsi dan sosok legislator, diterapkannya kebijakan anakronistis yang parah, dan dilanggarnya semangat tiga sila falsafah negara kita.

Kedua, tiadanya keabsahan prosedural maupun keabsahan esensial dalam usulan maupun pilihan jenis bangunan yang dituju. Termasuk di sini palsu dan dangkalnya alasan-alasan yang diajukan untuk meningkatkan kinerja maupun penampilan DPR. Ketiga, terpampangnya vulgarisasi, ketamakan berlebihan, kecenderungan hedonistik dan alienasi dari rakyat pada usulan gedung supramewah itu.

Dalam kehendak untuk memaksakan pembangunan gedung itu, terpancar sikap dan laku yang bertentangan dengan yang semestinya ditunjukkan para legislator. Dari ketiga pelaksana di ketiga cabang pemerintahan, para legislatorlah yang per definisi paling diharapkan jadi ”pembangun dan pemelihara jiwa” bangsa, untuk senantiasa mengutamakan keutamaan. Terutama dari merekalah diharapkan pancaran kebajikan dalam laku publik.

Anakronisme terjadi manakala langkah atau kebijakan yang diambil bertentangan dengan kenyataan sosiopolitik dan sosio- ekonomi yang merata di suatu era. Di era reformasi, rencana pembangunan gedung supramewah itu benar-benar bertentangan dengan realitas keterbatasan anggaran negara akibat pembengkakan utang dalam jumlah gargantuan (kini mendekati Rp 1.700 triliun), yang mengharuskan pemerintah membayar cicilan setidaknya Rp 100 triliun per tahun. Sudah umum diketahui, ini amat sangat membebani APBN kita. Toh ke sini pulalah beban pembangunan gedung baru supramewah itu hendak diletakkan!

Kita juga berhadapan dengan kenyataan betapa parah kerusakan lingkungan dan infrastruktur ekonomi di seluruh Tanah Air akibat berketerusannya pembiaran negara 14 tahun terakhir. Hari-hari ini pun kita berhadapan dengan kenaikan jumlah penduduk miskin lantaran komplikasi inflasi yang terus menanjak sejak Maret, meratanya kegagalan panen akibat labilitas dan ekstremitas cuaca, serta bertubi-tubinya pembiaran impor dan penyelundupan yang tiada henti menghantam produk-produk dalam negeri.

Maka, memaksakan pembangunan gedung baru tak hanya anakronistis, tetapi terang-terangan bertentangan dengan semangat sila kedua, keempat, dan kelima dari falsafah negara yang kita junjung tinggi. Tak satu pun nalar esensial yang bisa membenarkan realisasi pembangunan gedung supramewah tersebut.

Dari kegagapan argumen yang dicomot sekenanya dan terasa sangat dicari-cari oleh para pelopor pembangunan gedung di kalangan petinggi DPR, kita dapat mengendus betapa rencana dan keputusan atasnya diambil tanpa deliberasi yang bisa dipertanggungjawabkan. Gagasan itu dilontarkan begitu saja ke tengah-tengah masyarakat dengan nalar semrawutnya.

Episentrum korupsi
Dari situ lagi-lagi mencolok sikap sok kuasa DPR yang sangat melecehkan seluruh komponen bangsa selebihnya. Pelecehan tak berhenti di situ, tetapi juga pada tindakan penetapan rancangan bangunan secara ujuk-ujuk. Sulit bagi kita menolak kemungkinan kaitan antara laku demikian dan sinyalemen bahwa episentrum korupsi di sepanjang era reformasi terletak di DPR. Tiap sikap pokok’e yang menolak prinsip musyawarah, apalagi yang menafikan suara rakyat, biasanya menyembunyikan udang di balik batu!

Juga tidakkah untuk bangunan sepenting itu mutlak perlu diadakan perlombaan yang adil dan terbuka mengenai rancangan arsitekturnya dengan alokasi waktu cukup? Dari rancangan yang ditawarkan, sama sekali tak terpancar simbolisasi istimewa tentang, apalagi yang benar-benar menyentuh, esensi keindonesiaan. Relasi antara bentuk gerbang dan keberagaman Indonesia sama sekali tak meyakinkan dan terasa sangat artifisial.

Pada kenyataan terpuruknya etika dan integritas dari banyak legislator, sama sekali tak ada jaminan fasilitas serba mewah itu akan meningkatkan kinerja mereka. Jika mau jujur, sesungguhnya tantangan terbesar menuju peningkatan kinerja legislator di era reformasi tidak terletak pada penyediaan fasilitas yang serba cukup, tetapi bagaimana mengoreksi buruknya dinamik ”sampah masuk, sampah keluar” yang bekerja nyata dalam rangkaian bidang dan kegiatan DPR.

Vulgarisasi
Adapun tentang vulgarisasi, itu terbaca, antara lain, dari alasan bahwa para legislator baru akan berkinerja baik jika kantornya lapang atau bahwa mereka baru akan merasa terhormat kalau bisa menerima para pejabat tinggi eksekutif serta tamu-tamu negara asing dalam ruangan kerja yang setara. Tidakkah mereka becermin pada para legislator India yang dengan fasilitas serba bersahaja pada umumnya mampu tampil terhormat? Alangkah konyol jika seorang legislator sampai lupa keterhormatan dalam arti sejati bukanlah produk fasilitas dan aksesori. Alangkah menyedihkan jika kita lupa, kelapangan pertama-tama dan terutama bukanlah hasil induksi fisik, melainkan buah dari kematangan pengelolaan jiwa!

Mereka sebetulnya bisa bekerja di mana saja mereka merasa nyaman. Mereka hanya harus ada di Gedung MPR/DPR pada saat-saat rapat dan sidang. Dengan tingkat penghasilan dan keberlimpahan fasilitas yang mereka terima, sungguh sulit membayangkan mereka kesulitan tempat kerja yang lapang; kendati dengan lima staf ahli sekalipun ada kiat-kiat yang bisa dilakukan untuk membuat ruang kerja tidak sesak tanpa harus menghuni kantor seluas lebih dari 120 meter persegi.

Sudah merupakan adagium universal sepanjang zaman, ketamakan hampir selalu berbanding lurus dengan kehinaan. Ketamakan jadinya berlawanan diametral dengan keterhormatan, semata-mata karena manusia dihormati tidak menurut kategori fisiknya, tetapi menurut keterpujian rangkaian laku, motif, dan amalnya—pada konsistensi etika, keunggulan kompetensi, dan keteguhan integritasnya.

Laku hedonistik adalah pasangan karib sifat tamak. Jauh sebelum Ariel-Luna Maya, legislator kita sudah lebih dulu memproduksi dan melakoni sendiri ”sinetron biru”. Permadi pernah bersaksi, ”lakon biru” lumayan marak di kalangan legislator kita. Kelimpahan harta dan kekuasaan memang jalan paling mulus menuju adiksi hedonisme. Kita juga perlu mencatat, sebuah gedung parlemen supramewah, apalagi yang dilengkapi pelbagai teknologi pengaman, akan kian membuat ”wakil rakyat” terasing di menara gading, tenggelam dalam lupa, serta terpuruk dalam etika, kompetensi, dan integritas.

Ketiga argumen imperatif ini kita angkat untuk menyelamatkan para legislator dari multiplikasi laku khianat yang sudah bertahun-tahun tersembul dari kalangan mereka. Alih-alih meningkatkan kinerja, pembangunan gedung supramewah hanya akan menyempurnakan pengkhianatan para legislator terhadap keluhuran misi, posisi, dan bidang kerja mereka. Dengan segenap cita-cita luhur kemerdekaan kita, segenap pengorbanan jiwa raga yang telah diberikan para Bapak Bangsa serta puluhan ribu pahlawan dan syuhada, demi Tuhan, kita tak menghendaki suatu ”Monumen Pengkhianatan” dibangun di atas pusara mereka dan atas nama rakyat!

Mochtar Pabottingi Profesor Riset
Tulisan ini disalin dari Kompas, 4 September 2010

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan