Model Koordinatif Tipikor

”Integralisasi penyidikan tipikor di Indonesia sebenarnya dapat disederhanakan dengan membentuk badan penyidik khusus”

AKIBAT vonis bebas oleh beberapa pengadilan tindak pidana korupsi (tipikor) di daerah yang terjadi hampir secara beruntun, Indonesia Corruption Watch (ICW) menyematkan istilah pengadilan sahabat koruptor (SM, 04/11/11). Lontaran usulan pembubaran pun mengemuka. Kehadiran pengadilan tipikor di daerah sebenarnya ditunggu-tunggu karena masyarakat mengharapkan penanganan kasus korupsi di daerah bisa cepat ditangani. Seandainya mengandalkan hanya satu-satunya pengadilan tipikor di DKI Jakarta pasti terjadi penumpukan perkara.

Penulis pernah mengemukakan pendapat perihal kemungkinan hambatan yang dihadapi pengadilan tipikor daerah (SM, 12/05/11), yaitu bila pengadilan tipikor daerah diharapkan setangguh pengadilan tipikor yang ada (waktu itu hanya di Jakarta) maka sejak awal proses penanganan perkara di tingkat kepolisian pun harus lebih dahulu diperbaiki.

Sebagai trigger mechanism, KPK memiliki visi menjadi lembaga yang mampu mewujudkan Indonesia bebas dari korupsi. Adapun misinya menjadi pendobrak dan pendorong negara bebas dari korupsi. Karena itu, lembaga ini memiliki beberapa  deputi bidang untuk melaksanakan visi dan misi itu. Salah satunya, yang merupakan ujung tombak dari suksesnya penegakan hukum, adalah Deputi Bidang Penindakan yang membawahi Direktorat Penyelidikan dan Direktorat Penyidikan.

Proses penanganan tindak pidana pun tidak bisa dibuat terkotak-kotak, misalnya hanya penyidikan, penuntutan, atau putusannya saja, apalagi yang harus ditangani adalah tipikor. Sebagaimana diketahui, tipikor punya sifat khas, yaitu tingkat kerumitan penanganan yang cukup tinggi. Untuk itu butuh SDM berkualifikasi khusus, di samping memiliki integritas tinggi.

Kasus yang disidangkan pengadilan tipikor di daerah bisa dari penyidik KPK namun bisa juga dari penyidik kepolisian atau kejaksaan di daerah. Di sinilah permasalahan sering muncul, dari minimnya dana penyidikan, terbatasnya kemampuan SDM, hingga berbagai masalah klasik lain yang tidak tersentuh perhatian pengambil putusan di pusat. Pada sisi lain ada target jumlah namun minim supervisi hingga menjadi beban luar biasa berat bagi penyidik di daerah.

Gambaran ideal mengenai integralisasi penyidikan tipikor di Indonesia sebenarnya dapat disederhanakan dengan membentuk badan penyidik khusus menangani perkara tipikor. Badan ini beranggotakan penyidik kepolisian dan kejaksaan, dikoordinasi oleh penyidik KPK. Skema ini disebut sebagai model koordinatif.

Mengejar Target
Model ini dapat mengeliminasi munculnya kendala-kendala penyidikan tipikor yang selama ini sering dihadapi penyidik. Dengan menggunakan model ini, persoalan dalam penyidikan tipikor yang dilakukan penyidik di daerah akan tereliminasi. Adanya penyidik KPK yang permanen pada posisi koordinator penyidikan, dapat berperan untuk mensupervisi sehingga kendala kekurangmampuan SDM dapat teratasi.

Yang terpenting dengan menggunakan model koordinatif , tahapan prapenuntutan dapat ditiadakan, mengingat sejak awal penangan penyidikan telah melibatkan penyidik kejaksaan. Dengan demikian proses dari penyidikan hingga SP3 jauh lebih efisien. Dukungan terhadap eksistensi pengadilan tipikor daerah pada saat ini masih sangat diperlukan, ide pembubaran bukan merupakan solusi karena ibaratnya mengusir tikus dari dalam rumah tidak berarti harus dengan cara membakar rumah.

Putusan bebas tipikor bisa terjadi karena beberapa hal. Pertama; hakim yang menangani perkara belum memiliki kemampuan yang seharusnya dimiliki. Kedua; terjadi pelanggaran etik. Ketiga; perkara yang masuk untuk disidangkan sudah telanjur amburadul dari sono-nya.

Maksudnya perkara itu seharusnya perlu diperbaiki namun karena dikejar berakhirnya masa penahanan tersangka maka ”dengan sangat terpaksa” perkara itu segera disidangkan.

Dengan membedah akar masalahnya secara pasti diharapkan pengadilan tipikor di daerah tetap eksis mendukung pemberantasan korupsi. Kontrol masyarakat merupakan hal positif yang perlu terus dikembangkan agar bila terjadi penyimpangan dapat segera diluruskan sebelum anomali itu dianggap sebagai hal biasa yang masih bisa dimaafkan. (10)

Dr Hibnu Nugroho SH MH, dosen Fakultas Hukum Unsoed Purwokerto
Tulisan ini disalin dari Suara Merdeka, 18 November 2011

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan