Misteri Tas Hitam Nazaruddin

BURONAN Interpol M Nazaruddin akhirnya pulang ke Jakarta dari tempat pelarian terakhirnya di Cartagena, Kolombia. Dalam perspektif hukum, proses pemulangannya tak hanya menorehkan prestasi luar biasa (extraordinary) bagi pemerintah, termasuk Polri, Keimigrasian, dan KPK yang bekerja keras memburu dan memulangkannya. Proses itu juga telah melahirkan banyak kejutan (presedensi) fenomenal bagi hukum acara perburuan koruptor yang melarikan diri dari Tanah Air.

Pemulangan dia yang selanjutnya menjalani proses hukum di KPK meninggalkan sejumlah terobosan penting bagi hukum acara perburuan koruptor yang lari dari Tanah Air. Beberapa terobosan berikut ini tak ada dalam text book hukum. Antara lain, pertama; meskipun negara tempat buron korupsi itu singgah tidak memiliki perjanjian ekstradisi (extradition treaty) dengan kita, sang buron dapat dikembalikan dengan sangat mulus.

Kedua; proses penangkapan bersifat luar biasa, dilakukan dengan ”memanfaatkan” kedubes kita di sana. Hal ini menerobos kaidah yang lazim dipahami, bahkan dubes dan stafnya yang bukan penegak perundang-undangan (pe-nyidik) dan tidak memiliki kewenangan untuk melakukan penyitaan, kenyataannya bisa menyita tas hitam Nazaruddin.

Hal ini menyebabkan pengacara Naza-ruddin OC Kaligis menggelari bahwa Dubes RI di Kolombia Michael Menufandu adalah pencuri, atau maling dan pembohong. Tersiar pula kabar bahwa Dubes yang putra Papua itu bahkan berusaha menghalang-halangi Kaligis menemui kliennya. Hal ini merupakan tindakan luar biasa, berkesan berada di luar ketentuan hukum acara pidana yang berlaku di semua negara.

Pemulangan buron itu bahkan menelan dana Rp 4 miliar untuk ongkos carter pesawat, dan diambilkan dari kas KPK yang berarti dari APBN alias uang rakyat. Mantan Wapres Jusuf Kala mencoba menghibur rakyat dengan mengatakan bahwa dari sudut manfaat (doelmatig), uang Rp 4 miliar itu bisa menjadi Rp 400 miliar bila Nazaruddin berhasil dipulangkan.

Memperhatikan tas hitam milik Nazaruddin yang disita dan disegel oleh Dubes RI di Kolombia, memunculkan pertanyaan: bagaimana mungkin dubes bertindak sebagai penyidik, yang memungkinkan dirinya merampas, menyita, atau menyegel (tas hitam-Red), apalagi dilakukan di atas teritori negara orang lain. Legalkah tindakan perampasan dan penyegelan yang dilakukan Michael Menufandu? Inilah pertanyaan, atau misteri di balik tas hitam Nazaruddin.

Pembuktian Terbalik
Dalam perspektif hukum pemberantasan korupsi di Tanah Air, apa yang dilakukan oleh sang Dubes: merampas, atau menggunakan istilah ”mencuri”-nya OC Kaligis (mendasarkan pada mengambil tanpa seizin Nazaruddin) tas hitam yang tak dapat dikuasai pemiliknya lagi mengingat ketika itu tangan buron tersebut telah terborgol dan sang Dubes kemudian menyegel tas itu, meneruskan untuk diserahkan ke KPK; semua fakta tindakan tersebut bisa dibenarkan.

Asas hukum apa di balik misteri, yang bisa membenarkan tindakan Dubes itu yang merampas tas hitam dari tangan Nazaruddin? Asas itu adalah asas pembuktian terbalik, yang oleh mahasiswa Rony Adhi Wardhana (SM, 02/08/11) disebutnya sebagai manifestasi sangat nyata dan otentik dari Pasal 184 Ayat (2) KUHAP. Asas itulah yang diimplementasikan oleh sang Dubes.

Artinya pula, Dubes telah menerapkan spirit luar biasa dalam pemberantasan korupsi. Ia menyimpangi asas praduga tak bersalah (presumtion of innocence), mengubahnya menjadi praduga bersalah (presumtion of guit) yang sudah menjadi jiwa republik ini, ketika harus berhadapan dengan kejahatan luar biasa. Hal itu dibenarkan oleh KUHAP, karya agung bangsa, yang disiapkan jauh-jauh hari dalam ranga memberangus korupsi sebagai kejahatan luar biasa.

Sederhana memang beritanya; ”tas (kecil) hitam Nazarudin disegel”. Namun, di balik kesederhanaan itu, ada pertanyaan menantang: maukah kita memberantas korupsi dengan cara pembuktian terbalik? Dubes kita barangkali bermaksud menjelaskan bahwa bangsa kita, di panggung internasional, dari Bogota Kolombia, meski rela dituding sebagai maling karena ”mencuri” tas hitam Nazaruddin, faktanya Dubes ingin membuktikan bahwa ada kemauan menjalankan pembuktian terbalik sebagai suatu perintah atau dikte hukum (the dictate of the law). (10)

Jeferson Kameo SH LLM PhD, dosen tinggal di Salatiga
Tulisan ini disalin dari Suara Merdeka, 16 Agustus 2011

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan