Mewaspadai Politik Uang [Analisis Ekonomi Faisal Basri]

Telah lama Indonesia selalu bertengger di urutan sepuluh besar negara paling korup di dunia. Jauh hari sebelumnya Sumitro Djojohadikusumo (almarhum) berulang kali menyatakan terjadinya kebocoran anggaran negara sebesar 30 persen setiap tahun. Semakin bobroknya penyelenggara negara beriringan dengan sangat parahnya tata kelola pemerintahan (corporate governance).

Dari sepuluh negara Asia (Singapura, Hongkong, Taiwan, India, Korea, Malaysia, Cina, Thailand, Filipina, dan Indonesia) yang diteliti oleh Bank Pembangunan Asia, Indonesia berada pada posisi paling buncit dalam penerapan good corporate governance selama tiga tahun terakhir.

Para elite pengusaha, kecuali Kwik Kian Gie dan segelintir orang lainnya, dari dulu hingga sekarang pada umumnya selalu menyangkal soal itu. Bahkan wakil presiden pun, dengan nada menantang, mempersilakan siapa pun untuk mengajukan bukti atas terjadinya korupsi.

Padahal, kurang bukti apa lagi. Jutaan hektar hutan telah gundul sehingga menyebabkan banjir bandang dan tanah longsor di mana-mana. Anak-anak bersekolah di gedung-gedung reyot. Jalan raya lebih banyak yang rusak ketimbang yang licin. Areal publik di kota-kota semakin langka karena berubah menjadi sosok bangunan kantor dan pusat perbelanjaan.

Penyelundupan merajalela. Barang-barang impor ilegal membanjiri pasar dalam negeri. Akibatnya, petani menderita, banyak industri gulung tikar, dan industriwan banting setir menjadi pedagang. Akibat selanjutnya adalah penganggur terus merangkak naik dan sektor informal menggelembung.

Penggelapan pajak terus berlangsung sehingga potensi utama penerimaan negara ini banyak yang menguap. Akibatnya, nasib pegawai negeri dan prajurit Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Kepolisian Republik Indonesia (Polri) tak terangkat. Berbagai jenis subsidi dicabut atau dipangkas. Sejumlah badan usaha milik negara (BUMN) dijual dengan tergesa- gesa.

Apa penyebab dari semua itu kalau bukan korupsi. Adalah korupsi pula yang menyebabkan krisis ekonomi yang meledak tahun 1998. Sedemikian dalam dan berkepanjangannya krisis yang kita alami mencerminkan telah sangat parahnya praktik korupsi di negeri ini.

Kenyataan ini sangat disadari, termasuk oleh kalangan yang bergelimangan dosa masa lalu, sehingga kekuatan reformasi menempatkan pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) sebagai agenda utama yang harus dilakukan oleh pemerintahan pasca-Soeharto.

Uang negara sebesar Rp 500 triliun yang menguap begitu saja mereka pandang sepele, dengan mengatakan sebagai biaya krisis. Padahal nyata benar bahwa yang terjadi ialah perampokan besar-besaran. Tak tanggung-tanggung, yang mereka keruk habis adalah sumber uangnya, yaitu perbankan.

Sampai ada istilah kalau mau merampok jangan tanggung-tanggung, banknya sekalian. Mereka tak peduli lagi terhadap salah satu akar penyebab utamanya, yakni KKN, yang didengung-dengungkan mahasiswa setiap mereka turun ke jalan pada lima tahun lalu.

Namun, apa hasilnya? Tak seorang pejabat tinggi pun masuk penjara. Para pemilik bank hidup bebas menikmati hasil rampokan mereka.

Penegakan hukum dilumpuhkan oleh para hakim sendiri dan politisi. Bahkan, tak sedikit di antara mereka justru menari- nari di tengah kebusukan para politisi dan penguasa. Mereka turut menjadi aktor dalam parade korupsi yang riuh rendah.

DENGAN latar belakang memilukan seperti di ataslah kita sebentar lagi menyelenggarakan pemilihan umum. Dalam keadaan moralitas politisi dan elite penyelenggara negara berada pada titik terendah dan kemerosotan peradaban, pemilihan umum mendatang betul-betul menjadi momentum yang sangat krusial bagi perjalanan bangsa dan prospek perekonomian ke depan.

Tak pelak lagi, ancaman utama bagi pemulihan ekonomi yang berkelanjutan juga adalah rendahnya moralitas dan kemerosotan peradaban, khususnya peradaban dalam berpolitik.

Kestabilan makro-ekonomi yang telah dicapai dengan susah payah dalam dua tahun terakhir pada akhirnya akan semakin keropos kalau kita membiarkan praktik-praktik kotor menggerayangi berbagai kegiatan ekonomi.
Praktik-praktik korupsi dengan cara-cara yang konvensional ditengarai merupakan salah satu faktor terpenting yang menyebabkan sektor riil tetap tertatih. Penguasa tidak memiliki waktu cukup untuk memulihkan sektor riil sebagai credit point untuk kampanye nanti.

Bahkan, sebaliknya, penguasa cenderung kian mendistorsi sektor riil untuk menggaruk rente sebanyak-banyaknya, baik untuk kepentingan diri sendiri maupun untuk partai menghadapi pemilihan umum.

Lantas, apa yang bisa mereka andalkan untuk merayu pemilih? Hampir pasti mereka akan mengedepankan prestasi kestabilan makro-ekonomi sebagai komoditas utama untuk merayu calon pemilih pada kampanye nanti.

Untuk itu, kita harus kian mewaspadai perkembangan yang cukup spektakuler di pasar modal dan beberapa indikator makro-ekonomi lainnya.

Kewaspadaan harus semakin berlapis-lapis karena sektor keuangan boleh jadi merupakan sasaran praktik korupsi dengan modus baru. Tampaknya berbagai indikasi ke arah sana bertambah banyak.

Salah satu modus operandi untuk mengerek citra dan sekaligus meraup rente ialah di pasar saham. Mari kita telaah anomali di Bursa Efek Jakarta (BEJ) pada penutupan transaksi akhir pekan lalu (Jumat, 13 Februari 2004).
Kita bisa melihat pada grafik pergerakan harga saham yang terekam pada data Bloomberg. Pada lima menit terakhir indeks harga saham gabungan (IHSG) terdongkrak naik cukup tajam, sebanyak lima poin, sehingga pada hari itu indeks menguat tujuh poin lebih.

Lonjakan ini terekam di dalam grafik dalam bentuk garis lurus vertikal. Pergerakan indeks yang cukup mencolok, seperti terjadi pada kasus saham Bank Lippo yang menghebohkan beberapa waktu lalu, terjadi tanpa ada insentif apa pun di pasar. Pola seperti ini terjadi bukan untuk pertama kalinya.

Lebih menarik lagi kalau kita mengamati pergerakan indeks yang terus berpacu sejak November 2003, hingga mencapai rekor tertinggi sepanjang sejarah pada 26 Januari 2004. Akan tetapi, setelah itu, indeks berfluktuasi cukup tajam. Misalnya pada 3 Februari 2004 turun tajam ke 729, beberapa hari kemudian terbang ke 768.

Anda bisa menghitung sendiri potensi keuntungan bandar yang membeli pada waktu indeks 729 dan menjual pada 768, atau dengan selisih 39 poin (5,4 persen) dalam waktu enam hari.

Tidak tertutup kemungkinan tangan-tangan partai atau politisi ikut pula bermain untuk menikmati potensi keuntungan besar yang bisa diperoleh dalam kurun waktu yang sangat pendek. Apalagi mengingat suku bunga terus mengalami penurunan.

Semarak BEJ sejak November tahun lalu juga ditandai volume transaksi yang sangat besar, mencapai triliunan rupiah. Padahal, penguatan indeks tak diiringi oleh perbaikan fundamental yang cukup berarti, khususnya tentang prospek perekonomian jangka menengah.

Berbagai proyeksi menunjukkan bahwa dalam empat sampai lima tahun ke depan pertumbuhan ekonomi Indonesia sulit menembus enam persen. Beberapa negara yang pertumbuhan ekonominya jauh lebih baik dari Indonesia mengalami pertumbuhan harga saham jauh lebih rendah dari Indonesia.

Indikasi-indikasi pendukung lainnya antara lain ialah (1) tidak serasinya kenaikan IHSG dengan indeks LQ45 (45 saham terlikuid); (2) kenaikan harga saham juga terjadi pada banyak perusahaan lapisan kedua, bahkan kenaikannya ada yang jauh lebih tinggi ketimbang saham-saham unggulan (blue chips); dan (3) penanaman modal asing langsung masih negatif.

Alih-alih curiga dengan perkembangan spektakuler ini, otoritas pasar modal dengan sigapnya menyangkal kemungkinan praktik pencucian uang di pasar modal. Tampaknya tak ada langkah berarti dari BEJ dan Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) untuk meneliti apa di balik anomali yang terjadi, apalagi nyali untuk mengungkap kemungkinan pencucian uang atau politik uang.

Seharusnya otoritas pasar modal lebih peduli untuk memperkuat fundamental pasar dengan membenahi aturan dan penegakan hukum ketimbang disilaukan oleh tingginya angka indeks.

Apabila pemerintah terlalu mengedepankan prestasi-prestasi semu seperti ini, sama saja dengan mereka menggiring perekonomian ke arah yang tidak sehat sehingga pada gilirannya akan membahayakan masa depan pemulihan ekonomi itu sendiri.

Sayang sekali kalau kesemarakan aktivitas ekonomi lebih mengandalkan pada kegiatan- kegiatan yang lebih bernuansa ribawi (artifisial) ketimbang yang nyata meningkatkan kesejahteraan masyarakat luas.

Kesemarakan pasar saham juga ditandai oleh mulai berdatangannya modal asing. Namun, agaknya kalaupun benar-benar investor asing yang datang, niscaya mereka hanya tertarik untuk memperoleh keuntungan jangka pendek.
Boleh jadi yang lebih banyak datang adalah dana warga Indonesia yang dibawa terbang ke luar pada masa-masa puncak krisis, yang sebagian mereka putihkan lewat pasar saham, selanjutnya digunakan untuk kebutuhan kampanye. Konstelasi ini sudah mulai menunjukkan titik terang tatkala memang ada indikasi kuat praktik pencucian uang pada kasus Bank Negara Indonesia (Bank BNI).

Yang juga harus terus diwaspadai ialah proses tender proyek-proyek pemerintah, baik untuk proyek-proyek pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, dan privatisasi BUMN. Proses divestasi Bank BNI sudah cukup memberikan indikasi terjadinya keganjilan dalam proses privatisasi.

Kita tak bisa membayangkan bagaimana jadinya kalau Pemilihan Umum 2004 menghasilkan mayoritas politisi yang dalam perjalanannya menuju kursi-kursi kekuasaan menggunakan cara-cara yang tidak terpuji.

Saatnya mengatakan tidak bagi para politisi busuk. Seperti lirik lagu Franky Sahilatua, Cukup sudah/Rakyat menderita oleh ketidakjujuran/Jangan kita terus diamkan/Mari satukan seluruh kejujuran rakyat/Untuk Indonesia yang kita impikan.

Tulisan ini diambil dari website PPATK (www.ppatk.go.id) dan dimuat di Kompas,16 Februari 2004

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan