Merindukan Indonesia

Den Haag, 24 Februari 1856,

Douwes Dekker mendesak agar tersangka korupsi Bupati Lebak, Banten, dinonaktifkan demi kelancaran pemeriksaan, tapi tak dihirau. Indonesia kini, masih dikelola dengan sistem dan kultur birokrasi kuno 148 tahun lalu.

De geschiedenis zal zich herhalen, sejarah akan terulang, demikian pepatah Belanda mengatakan. Kasus gubernur Aceh, sebenarnya mengulang kasus regent (bupati) Lebak, Banten Kidul, yakni Raden Adipati Nata Kartanagara. Bahkan peran dan watak para tokoh yang terlibat sangat mirip.

Bedanya, dulu ada ambtenaar atasan, yakni Douwes Dekker, yang langsung memproses penyelewengan bawahannya. Sekarang atasan atau apapun namanya, praktis tidak berguna, hanya sekedar nama saja, sehingga diperlukan 'badan swasta' KPK untuk memproses temuan seperti terjadi pada gubernur Aceh, Abdullah Puteh.

Douwes Dekker, yang kemudian populer dengan nama Multatuli, ketika itu menjabat sebagai assistent-resident (asisten wedana) di distrik Lebak, beribukota di Rangkas Bitung. Setiap kali memeriksa laporan Bupati Kartanagara, ia menemukan sesuatu yang tidak beres. Setelah diselidik lebih lanjut, Dekker menemukan empat hal: Kartanagara korup, menyelewengkan jabatan, kepada atasan Belanda menjilat, sebaliknya suka pungli (memeras) rakyatnya sendiri yang sudah sangat miskin. Akibatnya, banyak rakyat Lebak yang eksodus ke wilayah lain.

Dekker melaporkan temuannya itu, termasuk keterlibatan menantu sang bupati yakni Demang Parang-Koedjang, kepada atasannya yakni resident (wedana) Brest van Kempen. Namun Van Kempen tidak hirau. Dalam bukunya, Max Havelaar, Dekker yang memakai nama samaran Multatuli, mendiskripsikan Van Kempen sebagai pejabat yang menjijikkan. Ia licin bermain kepada atasan (Gouverneur- General) dan terhadap regent (bupati) bawahannya.

Mentok di wedana, Dekker maju langsung ke Gouverneur-Generaal A.J. Duymaer van Twist di Paleis Rijswijk, Batavia, kini Istana Negara. Karena pertimbangan kekuasaan dan permainan politik kolonial, Van Twist juga menutup mata atas penyelewengan Natanagara. Sebaliknya ia mengeluarkan 'keputusan kompromi', dengan memutasikan Dekker ke Ngawi, Jawa Timur.

Menghadapi praktik yang menjungkirbalikkan hati nurani dan akal sehatnya tersebut, Dekker akhirnya memilih meletakkan jabatan, tak mau jadi PNS. Ia kemudian kembali ke Belanda, meninggalkan bumi Nederlands Indie (Indonesia) yang dinilainya kotor dan penuh penyelewengan. Tak lama setelah itu ia menulis buku yang legendaris sampai zaman kini, Max Havelaar, membeberkan apa yang pernah disaksikan dan dialaminya.

Adakah kini Multatuli? Sanggupkah KPK menuntaskan temuannya, ataukah nasibnya akan seperti ambtenaar Belanda totok yang peduli clean government dan keadilan itu? Akankah KPK kuat bertahan diseret masuk ke pusaran permainan yang melelahkan dan menggerus hati nurani?

Jika diperhatikan, naga-naganya memang akan mengarah ke sana. Dimulai dengan dalih yang dikemukakan Sekretaris Negara Bambang Kesowo, bahwa presiden terikat UU Nomor 22 Tahun 1999, Presiden hanya bisa mengangkat atau memberhentikan. Menonaktifkan, menurut penalaran ambtenaar Bambang, tidak eksplisit disebut dalam UU.

Selanjutnya presiden mengambil sikap yang sama persis dengan sikap seorang Duymaer van Twist: menolak menonaktifkan pejabat tersangka. Presiden lebih memilih untuk menginstruksikan agar tersangka Puteh mematuhi proses hukum yang dilakukan KPK, sementara ia tetap aktif menjabat. Meski wewenang gubernur telah dilimpahkan kepada wakil gubernur Aceh. Ini sesuai dengan inpres 2/2004 yang diteken Presiden Mega Selasa (20/7/2004).

Kalau dulu pertimbangan kekuasaan kolonial yang dipakai, kini pada sikap presiden, bisa muncul spekulasi macam-macam seputar kepentingannya running sebagai kandidat presiden untuk kali kedua.

Direktur Jenderal Otonomi Daerah Depdagri, Oentarto Sindung Mawardi, ikut setali tiga uang. Menurut dia, Puteh tidak dapat dinonaktifkan selama statusnya masih tersangka. Dasarnya, PP No 108/200 tentang Tata Cara Pertanggungjawaban Kepala Daerah, khususnya pasal 25 ayat (3), Apabila gubernur dan atau wakil gubernur berstatus sebagai terdakwa, presiden memberhentikan sementara gubernur dan atau wakil gubernur dari jabatannya.

Terlepas dari akrobat para ambtenaar ini, rakyat Indonesia telah dihadapkan pada nilai baru yang terang-terangan dipamerkan dan dicontohkan para elitnya, yakni bahwa pejabat negara kini tak perlu merasa malu lagi jika menjadi tersangka. Moral Pancasila dan agama, yang nyinyir menempel di bibir bangsa ini, sepertinya telah kopong menjadi senandung hipokrisi.

Politik kolonial Belanda, yang dulu tujuannya memang untuk merusak kok dihidupkan lagi dan ditiru mentah-mentah. Kalau mau meniru, tirulah Belanda kini di negerinya sendiri. Mereka tidak sok agamis dan tak mengenal Pancasila, tapi menjunjung tinggi moral dan keteladanan baik.

Tahun 2000, Mendagri Bram Peper mengundurkan diri hanya gara-gara ketahuan salah melakukan deklarasi. Dalam suratnya kepada Perdana Menteri Kok tertanggal 13 Maret 2000, Peper menyatakan mundur karena citra dia sebagai pejabat negara sudah tercoreng setelah kasus itu diangkat oleh pers. Seluruh negeri sudah tahu, mau ditaruh di mana lagi mukanya? Dengan kondisi seperti itu ia merasa tidak mungkin lagi bisa menjalankan tugasnya sebagai Mendagri. Ia akhirnya mundur, sementara pemeriksaan terhadap dia masih berjalan dan belum ditetapkan sebagai tersangka!

Asal tahu saja, kesalahan Peper karena dia 'kebangetan' membuat deklarasi sampai ke uang pensil. Dalam kultur politik Belanda dan di mata publiknya, tindakan itu dinilai tidak pantas. Sudah punya gaji, kok masih saja mengambil uang negara untuk hal-hal yang semestinya bisa dia bayar sendiri dari gajinya itu. Wie fout declareert, moet weg, siapa salah mendeklarasi, harus pergi (meletakkan jabatan).

Jika Indonesia masih ingin menjadi Indonesia puteh (putih) sesuai cita-cita kemerdekaan, maka saat ini juga harus ada keteladanan yang sesuai. Gubernur Puteh bisa menjadi inisiator pertama dan menjadi teladan dengan mengundurkan diri (sementara), meskipun para ambtenaar di Jakarta berakrobat atas nama teks UU. Nama Puteh akan dicatat dengan tinta kebaikan. Seandainya pun dia kelak dinyatakan bersalah, rakyat akan mengenang keteladanan baiknya.

Sebaliknya jika refleksi keluhuran dan kepekaan moral tidak muncul dari seorang Puteh dan dia malah ngotot bertahan, mengikuti nilai baru yang diperkenalkan Akbar Tanjung, maka Indonesia telah nyata-nyata memasuki peradaban baru yang membuat tangan terlalu ngilu untuk menuliskannya.

Bagi DPR 2004-2009, ini menjadi sinyal untuk membereskan teks berbagai UU yang penuh lubang dan selama ini dijadikan sarang untuk persembunyian. Jika tidak, negeri ini akan menjadi Indonesia yang tidak puteh.(Eddi Santosa)

Sumber: detik.com, 21/07/2004 16:33 WIB

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan