Meragukan Satgas Mafia Hukum

TINDAK lanjut rekomendasi Tim 8 yang ditugasi mencari fakta atas perseteruan cicak vs buaya adalah perlunya lembaga baru yang khusus menangani mafia hukum. Lembaga khusus ini diperlukan karena mafia hukum telah begitu jauh merusak sistem peradilan dan penegakan hukum di negeri ini.

Secara gagasan, lahirnya satgas mafia hukum sangat dibutuhkan demi tegaknya hukum yang berharkat dan bermartabat. Hukum di negeri ini diharapkan bisa tegak dan mencerminkan rasa keadilan. Bukan seperti sekarang karena prinsip hukum sering dipelesetkan: semua manusia sama di depan hukum, tetapi tidak sama di depan penegak hukum.

Namun, bila dilihat dari sisi eksistensi dan kewenangan yang dimiliki, banyak pihak meragukan satgas mafia hukum bisa memenuhi harapan awal sesuai yang digagas Tim 8. Mereka tidak memiliki kewenangan cukup untuk memberantas mafia hukum. Satgas ini tidak lebih hanyalah pengumpul data, melakukan evaluasi dan koordinasi yang hasilnya diserahkan kepada presiden sebagai pihak pemberi mandat.

Hanya Himpun Data
Mengapa khalayak meragukan satgas mafia peradilan? Bukankah itu sebuah langkah maju yang bertujuan positif bagi pembersihan lembaga-lembaga hukum dari "benalu-benalu hukum" yang kini sangat membahayakan?

Keraguan publik terhadap kinerja satgas mafia hukum bukanlah sesuatu yang mengada-ada atau reaksioner atas keputusan pemerintah. Ada fakta yang bisa dijadikan alat pembanding terhadap harapan yang begitu besar terhadap satgas mafia hukum yang diperkirakan sulit tercapai.

Setelah amandemen keempat UUD 45, konsekuensi amandemen itu mengharuskan lahirnya komisi-komisi negara. Harapannya, dengan adanya komisi-komisi negara, penegakan hukum bisa berjalan dengan baik. Lembaga penegak hukum bisa terjaga kehormatannya dan penciptaan pemerintahan yang baik dan bersih segera terwujud. Diperkirakan sekarang kurang lebih ada 120 komisi negara. Ini jumlah yang cukup besar dan membutuhkan anggaran negara yang cukup besar pula.

Namun, pertanyaannya, berapakah dari komisi yang ada itu eksis dan benar-benar memenuhi harapan rakyat? Komisi negara di bidang pengawasan lembaga penegak hukum bisa kita jadikan contoh. Karena kita ingin memiliki lembaga kepolisian yang bisa mengangkat citra positif polisi di mata publik, lahirlah Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas). Kita menginginkan memiliki lembaga kejaksaan yang berharkat dan bermartabat, lalu lahirlah Komisi Kejaksaan (KK). Ketika kita menginginkan lembaga paradilan yang mampu menegakkan rasa keadilan dan kemanusiaan, lahirlah Komisi Yudisial (KY).

Idealnya, dengan adanya komisi-komisi tersebut, apa yang disebut mafia hukum sudah tidak ada lagi. Sebab, semua lembaga penegak hukum sudah ada yang mengawasi, mengevaluasi, dan memberikan laporan kepada pihak-pihak terkait. Kenyataannya, apakah dengan adanya komisi-komis seperti itu lembaga kepolisian, kejaksaan dan peradilan kita semakin baik? Jawabanya ternyata tidak. Bahkan, boleh dibilang semakin tidak profesional, jauh dari harapan, dan menjadi sarang mafia hukum.

Mengapa itu bisa terjadi? Salah satu jawabnya, karena komisi-komisi yang ada tidak memiliki wewenang mengeksekusi. Mereka hanya memiliki tugas dan wewenang melaporkan kepada pihak terkait. Karena kewenangannya hanya melaporkan, ketika laporan tidak ditindaklanjuti atau dilempar ke keranjang sampah, mereka tidak bisa berbuat apa-apa. Jadinya, kerja komisi-komisi itu layaknya tukang pos saja.

Satgas Mafia Hukum
Jika komisi yang dibentuk dengan undang-undang saja tidak bisa berbuat banyak, lalu bagaimana dengan satgas mafia hukum yang hanya dibentuk melalui keppres dalam jangka waktu dua tahun? Kewenangan yang dimiliki juga jauh dari ideal. Padahal, pekerjaan yang harus diselesaikan sungguh berat dan rumit.

Mungkinkah dengan keterbatasan kewenangan yang dimiliki satgas bisa berbuat banyak? Oleh karena itu, terlalu berlebihan meletakkan tugas "perang mengganyang mafia hukum" seperti yang dicanangkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) hanya kepada satgas mafia hukum.

Belajar dari komisi-komisi negara, terutama di bidang penegakan hukum, hanya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang memiliki kewenangan superbody dan kewenangan eksekusi, mulai proses awal sampai akhir. Karena kewenangan yang dimiliki itu, KPK lebih bisa ditakuti dan kinerjanya lebih baik dibanding lembaga-lembaga reguler yang ada.

Keperkasaan mafia hukum tidak jauh berbeda dengan keperkasaan para koruptor. Bila pemberantasan para koruptor ditugaskan kepada lembaga yang begitu superbody, mengapa mafia hukum hanya ditangani lembaga yang tidak memiliki kewenangan apa pun kecuali mengumpulkan data dan menganalisisnya?

Hasil laporannya bergantung pada bagaimana respons presiden. Bila ada mafia hukum kelas kakap yang terbongkar, tetapi presiden diam dan tidak menindaklanjuti laporan satgas, apa yang bisa dilakukan? Toh tidak ada sanksi hukum bagi presiden bila tidak menindaklanjuti laporan satgas tersebut.

Kalau memang mau serius, presiden bisa mengusulkan komisi yang independen dan superbody dengan kewenangan cukup. Dengan demikian, keinginan memberantas mafia hukum akan terwujud. Sebab, kalau tugasnya hanya mengumpulkan data, satgas mafia hukum sebenarnya tidak perlu ada. Presiden sebagai atasan lembaga kepolisian dan kejaksaan bisa menginstruksi dua lembaga itu untuk memberantas mafia hukum.

Namun, kenyataannya, terhadap Anggodo yang sudah jelas-jelas posisinya sebagai mafia hukum saja presiden tidak melakukan langkah-langkah berarti. Mafia hukum di kepolisian dan kejaksaan yang sering mencoreng nama baik kedua lembaga itu tidak mendapat tindakan yang jelas. Keinginan pencopotan Kapolri dan Kejagung karena dianggap gagal memberantas mafia hukum juga tidak direspons presiden. Dengan demikian, keraguan publik atas kinerja satgas mafia hukum adalah sesuatu yang tidak berlebihan. (*)

Jabir Alfaruqi, koordinator Komite Penyelidikan dan Pemberantasan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KP2KKN) Jawa Tengah.

Tulisan ini disalin dari Jawa Pos, 8 Januari 2010

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan