Meragukan Plt Pimpinan KPK

SETIAP pergantian pemimpin, tanpa terkecuali bagi pelaksana tugas (Plt) pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), diharapkan bisa memberikan yang lebih baik daripada yang terdahulu. Tiga orang Plt pimpinan KPK, Tumpak Hatorangan Panggabean, Mas Achmad, dan Waluyo, yang ditunjuk tim lima dan kemudian dilantik Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menggantikan tiga orang pimpinan KPK (Antasari Azhar, Bibit Samad, dan Chandra Hamzah) melalui perppu telah menegaskan bahwa mereka akan menjaga independensi KPK untuk tidak bisa diintervensi siapa pun.

Menurut tim lima, tiga figur yang terpilih melalui seleksi itu sebagai sosok yang sudah teruji integritasnya dan diketahui kompetensinya dalam pemberantasan korupsi. Tim lima dalam menunjuk tiga orang tersebut telah menyerap aspirasi ke berbagai pihak, termasuk mendengarkan saran dari internal KPK.

Terlepas dari perdebatan keabsahan perppu tentang pengangkatan Plt pimpinan KPK, realitas politik bahwa Plt telah ditetapkan. Kita, mau tidak mau, harus menerima kehadiran mereka di komisi antikorupsi tersebut. Pertanyaannya, apa yang bisa diharapkan dari ketiga orang tersebut? Benarkah tiga Plt pimpinan KPK itu akan mampu lebih baik daripada ketiga orang yang digantikan?

Publik berharap, kelemahan-kelemahan pemberantasan korupsi pada era Antasari Azhar bisa dieliminasi oleh Plt pimpinan yang sekarang. Pemberantasan korupsi era Antasari Azhar yang terlihat dan terasa seperti kembang api (gembyarnya indah, memukau, tapi hakikatnya mudah pudar dan menghilang) bisa diatasi. Penanganan kasus-kasus besar yang masih mangkrak bisa dilanjutkan dan dituntaskan.

Cek Kosong
Harapan publik di atas tidaklah salah. Namun, bila dicermati secara mendalam, harapan itu bisa jadi hanyalah cek kosong. Harapan itu seperti bermimpi di siang bolong. Integritas boleh, kompetensi tidak diragukan lagi. Yang layak diragukan adalah latar belakang politik yang melahirkan Plt itu sendiri.

Kita layak mengajukan pertanyaan-pertanyaan mengapa anggota KPK, selain ketuanya, yang dikriminalisasikan adalah dua orang anggota yang menangani bidang penindakan? Selebihnya, mereka yang di bidang pencegahan aman. Apakah itu terjadi karena mereka yang di bidang pencegahan tidak terkait langsung dengan pekerjaan mengeksekusi kasus-kasus korupsi? Bukankah sistem yang berjalan di KPK bersifat kolektif kolegial? Mestinya keputusan diambil bersama sehingga harus dipertanggungjawabkan bersama. Mengapa hanya cukup dua orang yang dikriminalisasikan?

Selain itu, mengapa penetapan tersangka terhadap Chandra Hamzah dan Bibit Samad Riyanto terkesan dipaksakan sehingga menyeruak ke publik adanya kriminalisasi kewenangan KPK? Mengapa dalam situasi yang belum pasti itu presiden terburu-buru mengeluarkan perppu, bukan menunggu sampai proses hukumnya jelas? Bila presiden sebagai top eksekutif berkeinginan untuk memperkuat posisi KPK, mestinya diperjelas dulu status hukumnya kedua anggota KPK yang diperiksa terkait kewenangannya tersebut? Ada apa sebenarnya?

Dari beberapa pertanyaan tersebut, apakah salah bila diduga bahwa penggantian pimpinan KPK itu adalah sesuatu yang dikehendaki bukan karena alasan kegentingan seperti alasan dikeluarkannya perppu? Dari fakta ini memunculkan banyak spekulasi yang salah satu di antaranya bahwa para anggota KPK yang digusur dengan dibentuknya Plt itu telah berani menusuk lingkaran-lingkaran penting, baik di pemerintahan maupun elite politik. Itu akan berbahaya dan tidak bisa dibiarkan. Upaya yang paling efektif ialah mengganti para anggota yang berbahaya tersebut dengan yang baru.

Jika logika-logika publik itu benar, pertanyaannya... mungkinkah tiga orang Plt tersebut bisa lebih garang daripada yang digantikan? Atau, mungkinkah mereka mampu meneruskan pengusutan dan penuntutan kasus-kasus kakap yang mulai disentuh sebelumnya seperti Bank Century?

Melihat karakter politik yang berkembang kekinian, kita patut pesimistis bahwa Plt yang ada akan bisa lebih berani dan lebih substansial gerakan pemberantasan korupsinya. Kalau sekadar memenuhi target yang penting pemberantasan korupsi berjalan serta diukur dengan banyaknya kasus yang diproses dan dituntaskan, bisa saja mereka melebihi para anggota KPK yang di Plt. Sebab, hingga kini banyak kasus korupsi yang melibatkan kepala daerah, departemen-departemen, dan pejabat level di bawah menteri yang belum ditangani. Bupati dan wali kota se-Indonesia puluhan jumlahnya dan semua sudah berstatus tersangka tinggal memantapkan penyidikan.

Pesimisme itu jangan dipahami sebagai langkah menghambat kinerja Plt pimpinan KPK, melainkan itu harus menjadi cambuk. Benarkan mereka bisa independen tanpa mau diintervensi oleh kekuasaan mana pun dalam pengusutan kasus-kasus korupsi? Atau sebaliknya, mereka hanya menjadi boneka kekuasaan. Itu akan ditentukan oleh perjalanan Plt pimpinan KPK ke depan.

Lembaga Darurat
KPK adalah lembaga darurat yang bertugas menangani extra ordinary crime (kejahatan luar biasa), bukan kejahatan biasa. Karena luar biasa, mereka diberi kewenangan luar biasa pula. Kewenangan yang luar biasa sudah bisa direduksi lewat Undang-Undang Tipikor yang baru dan secara kelembagaan personel yang ada sangat rentan untuk diintervensi kekuatan politik seperti lahirnya perppu Plt tersebut.

Bila kewenangan KPK semakin dibatasi dan hanya bisa menangani kasus-kasus korupsi biasa (kelas teri), maka bukan KPK namanya melainkan laiknya lembaga penegak hukum lain (kejaksaan dan kepolisian). Kalau sampai terjadi kondisi seperti itu, berarti KPK secara sistematis telah berperan memundurkan gerakan anti korupsi di Indonesia.

Simbol pemberantasan korupsi akan hilang dan menjadi tidak ada efek jera lagi. KPK dianggap biasa-biasa saja tidak seperti selama ini yang cukup menakutkan para koruptor.

Sebagai lembaga darurat, seharusnya kasus-kasus korupsi yang diprioritaskan adalah yang tidak bisa disentuh oleh lembaga penegak hukum permanen (kejaksaan dan kepolisian). Fungsi itu yang kini dipereteli. Pemberantasan korupsi harus tetap berjalan, tetapi harus berada dalam garis-garis besar haluan politik yang ada. Bila tidak sehaluan, mungkin kriminalisasi kewenangan akan terjadi lagi dan hal itu bukanlah sesuatu yang sulit untuk dilaksanakan. Karena itu, pemahaman pemberantasan korupsi, baik lewat undang-undang maupun lembaga negara (KPK), kini benar-benar sempurna. (*)

Jabir Alfaruqi , koordinator Komite Penyelidikan dan Pemberantasan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KP2KKN) Jawa Tengah

Tulisan ini disalin dari Jawa Pos, 9 Oktober 2009

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan