Meragukan, Kualitas Calon Hakim Ad Hoc Tipikor

Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) menyita perhatian publik karena tren vonis bebas dan ringan bagi para koruptor, selain juga deretan hakimnya yang bermasalah. Kini, Pengadilan Tipikor membutuhkan sekitar 70 hakim baru di seluruh Indonesia. Koalisi Masyarakat Pemantau Peradilan menelusuri rekam jejak 40 calon hakim ad hoc tipikor, sebagai rekomendasi bagi Mahkamah Agung selaku Panitia Seleksi (Pansel).Dan sayangnya, kualitas 45% calon hakim ad hoc tipikor meragukan.

Penelusuran dilakukan di tingkat pertama dan banding, baik di Jakarta dan beberapa daerah lain dengan dukungan mitra kerja koalisi. Emerson Yuntho, peneliti ICW, mengatakan, “Kami menggunakan metode investigasi, obeservasi, studi dokumen/CV, penelusuran media dan wawancara. Karena alasan waktu dan sumber daya yang terbatas maka tidak semua metode tersebut digunakan untuk seluruh calon,” jelasnya.

Hingga Agustus 2013, Pansel MA telah meluluskan 40 calon yang lulus seleksi administratif dan tertulis. Selanjutnya mereka akan mengikuti proses seleksi profile assesment dan wawancara. Berikut hasil penelusuran koalisi terhadap 40 calon hakim ad hoc tipikor. 

Rincian Temuan Koalisi terhadap Rekam Jejak 40 Calon Hakim Ad Hoc Tipikor

Profil

Jumlah

Punya afiliasi dengan partai politik

7 calon (17.5%)

Pengalaman di bidang hukum kurang dari 15 tahun

2 calon (5%)

Pernah terlibat dalam kasus korupsi baik sebagai kuasa hukum, maupun namanya disebutkan dalam dakwaan jaksa atau BAP

4 calon (10%)

Gelar pendidikannya diragukan

2 calon (5%)

Pernah mengikuti seleksi pejabat publik lainnya (jobseeker)

3 calon (7.5%)

Tabel 1. Profil para calon hakim ad hoc tipikor

“Jumlahnya sangat mungkin bertambah karena kami masih menunggu informasi atau proses klarifikasi,” jelas Emerson lagi. Sedangkan, aku Emerson, 22 orang (55%) calon diragukan kredibilitasnya. “Kami belum menemukan catatan buruk 22 orang ini. Tapi kami juga tidak menemukan kontribusi signifikan mereka untuk upaya pemberantasan korupsi,” Emerson menekankan.


Komposisi Calon Hakim Ad Hoc Tipikor

Berdasarkan Profesi

Profesi

Jumlah

Advokat

24 calon (60%)

Dosen

8 calon (20%)

PNS

4 calon (10%)

Militer

3 calon (7.5%)

Purnawirawan Polri

1 calon (2.5%)

Tabel 2. Komposisi calon hakim ad hoc tipikor berdasarkan profesi

Banyak calon hakim ad hoc yang memasuki usia tidak produktif, namun tetap. Berikut rinciannya:

Usia

Jumlah

40-45 tahun

14 calon (35%)

46-50 tahun

9 calon (22.5%)

51-55 tahun

8 calon (20%)

di atas 55 tahun

4 calon (10%)

Tabel 3. Komposisi hakim ad hoc tipikor berdasarkan usia

Koalisi menegaskan bahwa dari total 40 orang calon, tidak ada calon yang memenuhi kriteria. “Sangat riskan untuk tetap meloloskan hakim ad hoc yang kualitasnya meragukan. MA tidak perlu memaksakan diri, karena banyak calon yang kualitas dan integritasnya lemah,” ungkap Emerson. 

Emerson yakin, bahkan dalam kondisi khusus, MA bisa saja tidak meloloskan seluruh calon. “Supaya tidak ada lagi hakim tipikor yang malah melakukan tipikor, atau putusan-putusan kontroversial,” tegas Emerson. Koalisi bahkan mendorong moratorium (penghentian sementara) seleksi maupun penempatan hakim ad hoc tipikor, sampai ada evaluasi menyeluruh terhadap Pengadilan Tipikor.  

Calon hakim tipikor harus sesuai standar

Secara umum, mandat pengangkatan hakim ad hoc tercantum dalam UU No. 46 Tahun 2009. Kriteria pengangkatannya, diatur dalam Pasal 12 huruf a hingga k. Syarat-syarat tersebut antara lain:

1. Berpendidikan sarjana hukum atau sarjana lain dan berpengalaman di bidang hukum sekurang-kurangnya selama 15 tahun

2. Berumur sekurang-kurangnya 40 tahun pada saat proses pemilihan

3. Tidak pernah dipidana karena melakukan kejahatan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap

4. Tidak menjadi pengurus dan anggota partai politik. 

Koalisi Masyarakat Sipil mengajukan beberapa kriteria lain untuk Mahkamah Agung, agar dapat menyeleksi para hakim yang lebih berkualitas, yaitu:

Usulan Kualifikasi

Alasan

Sudah berpengalaman selama 15 tahun di bidang hukum.

Menjadi hakim ad hoc tipikor butuh pemahaman mendalam tentang hukum. Bukan sekadar punya gelar sarjana hukum selama 15 tahun. Pengalaman 15 tahun di bidang hukum paling tidak dapat menjamin bahwa calon memiliki pemahaman yang sudah cukup dalam tentang hukum.

Independen dan imparsial.

Jaminan calon tidak akan “main mata” dengan para makelar kasus, mafia pengadilan, maupun parpol. Jangan sampai ada hakim-hakim yang justru “dititipkan” parpol untuk menyelamatkan kader-kader yang terjerat kasus korupsi.

Memiliki komitmen dan orientasi pemberantasan korupsi.

Rekam jejak dan motivasi para calon hakim yang tidak jelas boleh jadi mencerminkan mereka hanya sekadar menjadi jobseeker atau menunda masa pensiun.

Integritas.

MA harus meneliti betul apakah para calon pernah menjadi kuasa hukum terdakwa kasus korupsi, menjadi saksi dalam persidangan, atau namanya disebutkan dalam dakwaan jaksa, maupun BAP. Tentu akan keliru jika hakim ad hoc yang akan menjadi pemutus dalam kasus korupsi, justru pernah menjadi kuasa hukum koruptor, dan bahkan diduga terlibat dalam kasus korupsi—ini potensi malapetaka bagi pemberantasan korupsi.

Kualitas pendidikan

Indikasi beberapa calon beli ijazah palsu menunjukkan pentingnya penelusuran mendalam tentang pendidikan calon.

Beberapa lembag diduga kerap jualbeli ijazah dan gelar, sehingga calon-calon yang pernah menempuh pendidikan di lembaga semacam itu, kualitasnya kami ragukan.

Tabel 4. Rekomendasi Kriteria  Hakim Ad Hoc Tipikor oleh Koalisi

Saat ini, Pengadilan Tipikor tercemar korupsi akibat ulah para hakimnya. Sudah ada 5 hakim tipikor yang telah diperiksa, didakwa dan dijebloskan ke penjara karena terlibat korupsi. Berikut daftarnya:

Hakim

Kasus

Hakim tipikor Semarang Pragsono dan hakim ad hoc Tipikor Palu, Asmadinata.

Keduanya menjadi tersangka perkara dugaan penerimaan suap terkait penanganan perkara korupsi pemeliharaan mobil dinas di DPRD Grobogan, Jawa Tengah. Mereka ditetapkan sebagai tersangka dari hasil pengembangan penyidikan perkara suap hakim ad hoc Pengadilan Tipikor Semarang, Kartini Julianna.

Kartini Julianna Marpaung, Hakim ad hoc Pengadilan Tipikor Semarang

Kartini divonis 8 tahun penjara karena dianggap menerima suap dari Sri Dartuti, kerabat Ketua DPRD Grobogan, M Yaeni. Suap diduga diberikan dalam rangka mengatur vonis M Yaeni di Pengadilan Tipikor Semarang.

Heru Kisbandono. hakim ad hoc Tipikor Pontianak, Kalimantan Barat.

Perkara Kartini juga menjerat Heru yang akhirnya divonis 6 tahun penjara. Heru dianggap terbukti menyuap Kartini untuk mempengaruhi putusan perkara yang melibatkan M Yaeni.

Setyabudi Tejocahyono, hakim Tipikor dari Bandung Jawa Barat.

Setyabudi ditangkap KPK karena menerima suap Rp 150 juta berkaitan dengan penanganan dugaan perkara korupsi bantuan sosial (Bansos) di Bandung.

Tabel 5. Daftar Hakim Tipikor yang Terjerat Kasus Korupsi

“Ini sungguh memalukan. Mereka adalah hakim yang sebelumnya bertugas memeriksa serta mengadili pelaku korupsi, namun justru terlibat melakukan korupsi,” ujar Emerson. Kartini dan Heru bahkan telah diadili rekan sejawat mereka di Pengadilan Tipikor Semarang dan dinyatakan terbukti sebagai koruptor. Sedang Setyabudi, Asmadinata dan Pragsono segera menyusul diadili.

Publik tentu berharap seleksi hakim ad hoc tipikor menghasilkan para pengadil yang berintegritas dan berkualitas. “Berdasarkan hasil seleksi sebelumnya, cukup sudah kita terkecoh oleh seleksi hakim Tipikor yang ternyata menghasilkan beberapa orang koruptor,” tandasnya.

(Koalisi Masyarakat Sipil Pemantau Peradilan yang terdiri dari Indonesia Corruption Watch (ICW), Masyarakat Pemantau Peradilan (MaPPI)-FHUI, dan Indonesia Legal Roundtable).

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan