Menyoal Vonis Koruptor

Menarik mencermati putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi akhir-akhir ini. Yang terbaru adalah vonis terhadap politikus yang terlibat kasus suap cek pelawat. Sekilas kasus yang melibatkan elite politikus parlemen tersebut telah bisa dibuktikan secara hukum oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Namun ada hal yang terasa janggal dan patut dikritik. Vonis yang dijatuhkan oleh majelis hakim rasanya sangat ringan: hanya 1 atau 2 tahun penjara dan denda sekitar Rp 100 juta. Padahal mereka telah terbukti terlibat dalam praktek korupsi, yang menjadi musuh utama bangsa ini. Anehnya lagi, pelapor yang berinisiatif membongkar kasus ini tidak diberi keringanan hukuman. Ia justru diganjar hukuman yang tidak jauh berbeda dari para pelaku utama.

Ringannya vonis hakim tersebut memang menimbulkan tanda tanya. Padahal, dalam putusannya, majelis hakim menyatakan para terdakwa terbukti melakukan perbuatan korupsi (suap-menyuap) yang melanggar Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Selain itu, majelis hakim menilai perbuatan para terdakwa tersebut telah menurunkan citra anggota Dewan Perwakilan Rakyat, mengkhianati konstitusi dan konstituennya, serta tidak mendukung program pemberantasan korupsi.

Munculnya vonis ringan terhadap koruptor setidaknya bisa dijelaskan dari dua hal. Pertama, terkait dengan politik penuntutan. Kedua, konsistensi putusan hakim. Memperhatikan putusan hakim, terlihat bahwa hukuman yang ringan itu berawal dari sandaran pasal yang digunakan majelis hakim dalam putusannya, yakni Pasal 11 UU Tindak Pidana Korupsi. Pasal ini jugalah yang digunakan oleh jaksa penuntut umum KPK dalam dakwaannya. Ancaman hukuman pidana dalam pasal ini memang sangat ringan, minimal 1 tahun dan maksimal 5 tahun penjara. Dendanya pun tidak terlalu berat, paling sedikit Rp 50 juta dan paling banyak Rp 250 juta. Pertanyaannya, mengapa jaksa penuntut umum KPK hanya menggunakan pasal tersebut dalam dakwaannya? Bukankah terbuka peluang untuk menerapkan pasal lain yang ancaman hukumannya lebih berat?

Selama ini, untuk kasus suap, KPK biasanya menerapkan dakwaan kumulatif (berlapis). Artinya, jaksa penuntut umum KPK menjerat terdakwa dengan pasal berlapis, dakwaan primer dan subsider. Disusun dari ketentuan pidana yang ancamannya lebih berat. Primer menggunakan Pasal 12 a dan b, sementara subsider menggunakan Pasal 5 ayat 2 dan 11 UU Tindak Pidana Korupsi. Pasal-pasal tersebut berkaitan dengan praktek suap yang melibatkan penyelenggara negara. Ancaman pidana maksimumnya cukup berat, yakni penjara seumur hidup atau paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun serta pidana denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar.

Terbukti bahwa penggunaan dakwaan berlapis ini mampu memberi hukuman yang berat bagi koruptor. Contohnya dalam kasus suap jaksa Urip Tri Gunawan. Dia didakwa dengan pasal berlapis, sehingga dihukum 20 tahun penjara. Atau dalam kasus suap yang melibatkan mantan anggota DPR lainnya, seperti Al Amin Nasution, Sarjan Taher, Yusuf Erwin Faisal, Bulyan Royan, dan Abdul Hadi Djamal. Praktek suap yang mereka lakukan didakwa dengan pasal berlapis sehingga hukuman yang mereka terima menjadi lebih berat, yakni dari 4 sampai 10 tahun dan denda mulai Rp 250 juta sampai Rp 500 juta. Model dakwaan berlapis seharusnya juga diterapkan oleh jaksa penuntut umum KPK dalam kasus cek pelawat agar hukuman yang diterima koruptor lebih berat dan menjerakan.

Konsistensi hakim
Ancaman pidana yang berat dan dakwaan berlapis tentunya akan sia-sia jika hakim memilih hukuman yang ringan. Hal ini sering kali terjadi, bahkan tak jarang koruptor dihadiahi vonis bebas. Atau yang paling sering dijumpai adalah terjadinya disparitas pidana (sentencing disparity). Dijelaskan oleh Aaron J. Rappaport (Criminal Law Review, 2004) bahwa disparitas pidana terjadi jika suatu perkara yang kurang-lebih berlatar belakang dan berkonstruksi hukum yang sama diputus dengan vonis yang berbeda.

Selisih yang signifikan antara satu putusan dan putusan lainnya, khususnya dalam kasus suap yang diputuskan oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, merupakan bentuk disparitas pidana. Mestinya, jika perkara yang dihadapi memiliki konstruksi hukum yang sama, hakim dapat merujuk pada putusan-putusan terdahulu berdasarkan doktrin yurisprudensi, sehingga disparitas pidana dapat dihindari. Lebih baik lagi jika hakim menjatuhkan vonis lebih tinggi dari tuntutan jaksa penuntut umum. Sebab, dalam hukum pidana, hal tersebut tidak dilarang selama tidak melebihi dari ancaman pidana yang diatur dalam UU Tindak Pidana Korupsi.

Kemudian, terhadap pelapor (whistle-blower), sudah sepantasnya hakim menjatuhkan vonis yang ringan. Hakim harus bisa membedakan mana pelaku yang kooperatif dan berinisiatif sebagai pelapor serta mana pelaku yang tidak kooperatif dan membangkang terhadap proses hukum. Tentu hukumannya berbeda. Jika tidak, akan menimbulkan ketidakadilan dan ketidakpastian hukum. Sebab, seperangkat aturan hukum mengenai peran serta masyarakat dan perlindungan saksi pelapor menjadi sia-sia.

Sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 41 UU Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 15 UU KPK bahwa pelapor seharusnya diberi perlindungan hukum. Bahkan Pasal 42 UU Tindak Pidana Korupsi menegaskan bahwa pelapor berhak atas penghargaan dari pemerintah, bukan malah dikriminalisasi. KPK dan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi memang telah berhasil menyeret sejumlah politikus korup ke hotel prodeo, bahkan tidak satu pun koruptor yang diloloskan oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Namun, jika hukuman yang diberikan sangat ringan, efek jera takkan kunjung datang dan impian parlemen bersih dari korupsi hanya mimpi di siang bolong.
Oce Madril, PENELITI PUSAT KAJIAN ANTIKORUPSI FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS GADJAH MADA
Tulisan ini disalin dari Koran Tempo, 28 Juni 2011

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan