Menyoal Tirani Publik

Dalam menyikapi kasus penahanan Bibit-Chandra, Komisi III DPR mempunyai pandangan berbeda dengan suara publik.

Ketua Komisi III berpendapat, kesimpulan komisi adalah dalam rangka menjaga penegakan hukum dan menolak apa yang disebut tirani publik (Kompas, 13/11/2009).

Komentar ini menarik dicermati. Muncul persoalan, apakah publik bisa menjadi tiran? Jika legislator mempunyai cara pandang berseberangan dengan publik, juga tirankah mereka?

Desakan publik melalui berbagai media maya, seperti jejaring sosial facebook atau media jalanan dengan demonstrasi yang mendukung KPK beberapa waktu lampau, semestinya direspons serius oleh legislator. Ajang klarifikasi baik dengan Polri atau KPK harus dilakukan dengan dasar tuntutan publik.

Legislator mendapat legitimasi atau lebih tegas disebut juga sebagai persetujuan publik saat mereka memenangi pemilu. Dalam konteks ini, ketundukan pada publik menjadi hal jelas untuk dipilih. Alasan lain, seperti penegakan hukum dan semacamnya, jangan sampai melangkahi asas konstituensi yang merujuk fungsi legislator sebagai penyambung lidah publik dalam institusi politik.

Dua tiran
JS Mill dalam Essay on Liberty menulis tentang dua macam peluang untuk mengontrol. Pemerintah melakukan kontrol dengan menetapkan aneka aturan yang dibuat dan melengkapi dengan sanksi hukum. Kontrol pemerintah berdaya ikat, menuntut ketundukan warga negara terhadap berbagai mekanisme yang diatur melalui aturan hukum.

Sebaliknya, masyarakat bisa memberikan kontrol kepada pemerintah melalui opini publik sebagai upaya melakukan tekanan moral. Kontrol melalui opini publik mengandung konsekuensi terhadap legitimasi pemerintahan. Jika yang dikritik abai, tekanan moral bisa berubah menjadi tekanan fisik, berujung pada instabilitas sosial politik.

Baik pemerintah atau warga negara sama-sama mempunyai senjata dan kapasitas untuk menjadi tiran. Namun, yang perlu dilihat lebih jernih adalah tujuan yang ingin dicapai. Ini untuk membedakan antara dimensi tiran yang negatif dan positif.

Dalam esai yang dipubikasikan melalui Dominations and Powers (1951), G Santayana memberi jawaban menarik terkait tingkat pertanggungjawaban opini publik. Ditegaskan, pemberi legitimasi atas opini publik adalah adanya kebebasan individual. Dengan bebas berbicara dan media massa yang informatif, membuat kapasitas warga negara dalam aneka hubungan publik kian baik. Semua persepsi mereka bisa dipertanggungjawabkan.

Kekhawatiran atas munculnya tirani publik dilatarbelakangi adanya kecurigaan atas agenda terselubung yang membuat opini publik tidak muncul alami dan netral, bebas dari kepentingan pihak-pihak tertentu.

Sejatinya, jika dilihat lebih jauh, ruang publik sendiri merupakan ajang perebutan klaim. Di dalamnya terbuka silang pendapat, negosiasi, dan berujung terbentuknya konsensus atau disensus. Ruang publik menjanjikan terpenuhinya perdebatan di mana warga negara bisa menilai bagian mana dari opini yang dianggap masuk akal.

Meski demikian, dari sisi lain, ada pihak yang menolak legitimasi opini publik. Salah satunya Walter Lippmann dalam buku klasiknya, Public Opinion (1922). Lippmann mengingkari legitimasi publik sebagai subyek bagi kedaulatan umum sehingga menyebut opini publik sebagai hantu atau sesuatu yang abstrak.

Tiran yang baik
Sejak lama, rezim yang tiran berkonotasi buruk. Gambarannya begitu dramatis dan bertalian erat dengan penggunaan kekuasaan sewenang-wenang, despotik, serakah, dan bertangan besi. Konotasi itu mewakili tiran yang buruk dan cenderung melekat pada kekuasaan pemerintah.

Tirani publik juga bisa disebut bagian pengejawantahan agenda kontrol yang ketat. Pemerintah harus tahu, publik juga bisa menampar wajah mereka yang korup saat diberi kesempatan untuk berkuasa. Jika saluran politik di legislatif dianggap tidak mampu mengingatkan eksekutif atau saat eksekutif terlena, jangan salahkan publik untuk memanfaatkan kekuasaannya.

Krisis penegakan hukum yang tecermin dalam kasus perseteruan antarlembaga penegak hukum telah menyebabkan kemarahan publik. Tiran yang baik amat dibutuhkan guna menjaga keseimbangan politik, terutama jika yang prosedural-formal menjauhi yang substansial. Lambat laun, kebebasan, kedewasaan, dan kematangan warga negara tidak bisa dianggap sebelah mata. Ruang publik yang terbuka memungkinkan percepatan informasi, ketanggapan tindakan, dan ketajaman tuntutan.

Pemerintah perlu berhati-hati karena bisa saja kelak demonstrasi besar-besaran tidak lagi digerakkan oleh ideolog atau aktivis di lapangan. Warga negara yang sadar hak bisa bergerak cukup dengan berita, pesan, dan fakta yang menggugah mereka, yang diusung media massa.

M Faishal Aminuddin Dosen Ilmu Politik FISIP Universitas Brawijaya

Tulisan ini disalin dari Kompas, 19 November 2009

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan