Menyoal Keefektifan KPK

KPK sebagai lembaga ad hoc untuk memerangi korupsi di Indonesia didirikan berdasarkan UU 30/2002. Meski demikian, KPK baru beroperasi sejak tahun 2004. Sejak itulah KPK secara aktif berkiprah dalam hal menanggulangi dan mencegah korupsi di Indonesia. Berbagai keberhasilan mengungkap kasus korupsi kelas kakap telah berhasil dilakukan KPK.

Tidak jarang orang dibuat berdecak kagum dengan metode dan penggunaan peralatan canggih yang digunakan KPK dalam mengungkap kasus-kasus korupsi besar.

Terlepas dari keberhasilan KPK yang sering diberitakan di media massa, kita patut bertanya apakah keberadaan KPK efektif menanggulangi korupsi di Indonesia? Pertanyaan ini perlu kita jawab bersama untuk menentukan apakah keefektifan KPK dalam menanggulangi korupsi adalah suatu kenyataan atau mitos belaka.

Untuk menjawab pertanyaan di atas, tulisan singkat ini menggunakan analisis Economic Evaluation yang jamak dipakai di area ilmu ekonomi kriminalitas (crime economics) dan ilmu ekonomi kesehatan (health economics).

Data yang digunakan untuk analisis ini bersumber pada putusan Mahkamah Agung tentang kasus-kasus korupsi pada kurun 2001-2009 yang dimuat di www.putusanmahkamahagung. go.id, yang bisa diunduh secara gratis. Tercatat 549 kasus korupsi yang diputus MA selama kurun waktu tersebut dan melibatkan 831 terdakwa.

Fungsi KPK tidak terbatas pada upaya penanggulangan korupsi, namun juga pencegahan terhadap korupsi. Jumlah kasus/terdakwa yang diajukan ke meja hijau karena terindikasi melakukan korupsi bisa digunakan sebagai salah satu outcome measures atau indikan kinerja. Indikan ini menunjukkan detection rate atau kemampuan mendeteksi dari lembaga hukum terhadap praktik korupsi.

Namun, indikan ini tergolong sebagai intermediate outcome karena tidak semua terdakwa yang diajukan ke meja hijau dinyatakan bersalah oleh pengadilan. Indikan alternatif yang bisa digunakan sebagai final outcome atau indikan utama adalah jumlah terdakwa yang dinyatakan bersalah oleh Mahkamah Agung.

Indikan ini menunjukkan kemampuan lembaga hukum untuk tidak saja menyeret koruptor ke meja hijau, namun juga membuktikan keterlibatan terdakwa dalam praktik korupsi (conviction rate).

Sejak KPK beroperasi, pada saat itulah di Indonesia terdapat dua sistem penanggulangan korupsi. Korupsi skala kecil dan sedang, yaitu yang bernilai kurang dari 1 miliar rupiah, ditangani oleh Kepolisian dan Kejaksaan. Sementara itu, korupsi skala besar dan sangat besar (lebih dari 1 miliar rupiah) ditangani oleh KPK.

Berdasarkan kenyatan ini, intervention period adalah terjadi sejak 2004 hingga sekarang, sementara baseline period adalah sebelum beroperasinya KPK. Pada periode 1999-2003, jumlah terdakwa kasus korupsi skala kecil yang diajukan polisi/jaksa ke pengadilan adalah 121 orang. Angka ini tumbuh menjadi 461 terdakwa pada periode 2004-2008.

Hal itu menunjukkan pertumbuhan jumlah terdakwa kasus korupsi skala kecil yang diajukan Polisi/Jaksa ke meja hijau selama dua periode tersebut adalah 280,99 persen atau 56,20 persen per tahun.

Di sisi lain, jumlah terdakwa korupsi skala besar yang diajukan polisi/jaksa ke meja hijau pada periode 1999-2003 adalah 36 orang. Angka ini meningkat pesat menjadi 209 orang pada periode 2004-2008 sejalan dengan beroperasinya KPK. Artinya, terjadi pertumbuhan penuntutan atau detection rate 480,56 persen atau 96,11 persen per tahun.

Implikasinya adalah keberadaan KPK telah meningkatkan detection rate sebesar 199,57 persen (diperoleh dari 480,56 persen 280,99 persen) selama periode 2004-2008 atau hampir 40 persen per tahun.

Jika detection rate kasus korupsi besar pada periode 1999-2003 adalah 36 orang, keefektifan keberadaan KPK relatif terhadap Polisi/Jaksa adalah meningkatkan tuntutan 14,4 terdakwa per tahun atau 72 terdakwa selama periode 2004-2008.

Berdasarkan metode perhitungan yang sama, keefektifan KPK bisa dihitung untuk menghitung indikan utama, yaitu kemampuan membuktikan terdakwa bersalah (conviction rate).

Pertumbuhan jumlah terpidana kasus korupsi skala kecil yang diajukan Polisi/Jaksa selama periode 2004-2008 adalah 256,47 persen ([303-85]/85) atau 51,29 persen per tahun. Angka pertumbuhan variabel yang sama untuk korupsi skala besar selama periode 2004-2008 adalah 290,32 persen ([121-31]/31) atau 58,06 persen per tahun. Implikasinya adalah keberadaan KPK telah meningkatkan conviction rate sebesar 33,85 persen (diperoleh dari 290,32 persen - 256,47 persen) selama periode 2004-2008 atau 6,77 persen per tahun. Jika conviction rate kasus korupsi besar pada periode 1999-2003 adalah 31 orang, keefektifan keberadaan KPK relatif terhadap Polisi/Jaksa adalah meningkatkan conviction rate 2,1 terpidana per tahun atau 10,5 terpidana selama periode 2004-2008.

Hasil analisis di atas menunjukkan bahwa keefektifan KPK untuk menanggulangi korupsi di Indonesia tidak perlu diragukan lagi. Pada analisis ini, diasumsikan tidak ada kompleksitas penanggulangan kasus korupsi skala besar dan kecil.

Namun, di dunia nyata, semakin besar skala korupsi yang dilakukan, semakin tinggi kedudukan/jabatan dari pelaku korupsi tersebut sehingga kemampuan mereka menyalahgunakan jabatan untuk menutupi korupsi yang mereka lakukan juga semakin besar.

Penulis adalah Dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis, Universitas Gadjah Mada
Rimawan Pradiptyo
Tulisan ini disalin dari Koran Jakarta, 23 Juni 2010

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan