Menyelamatkan IPK Indonesia

SUDAH berjalan dua tahun berturut-turut, yakni pada 2008 dan 2009, indeks persepsi korupsi (IPK) Indonesia meningkat. Jika pada survei 2008, IPK Indonesia adalah 2,6 atau naik 0,3 poin jika dibandingkan dengan IPK 2007, pada 2009 IPK Indonesia kembali meningkat menjadi 2,8. Meski demikian, kita tidak boleh buru-buru berpuas diri mengingat pada skala IPK global, Indonesia masih dalam kategori negara yang dipersepsikan rawan korupsi.

Hal itu akan semakin jelas jika kita membandingkan IPK Indonesia dengan negara lain, meski sebatas kawanan Asia Tenggara. Hingga 2009, kita masih sangat tertinggal jauh dari Malaysia (4,5), Singapura, Brunei Darussalam (5,5), dan Thailand (3,3).

IPK sebagai pendekatan ilmiah telah diakui secara global sebagai instrumen untuk mengukur keadaan korupsi di sebuah negara. Gambaran IPK menjadi urgen dalam konteks Indonesia mengingat hingga saat ini, kita masih berjuang terus-menerus untuk memberantas korupsi.

Mestinya, kecenderungan yang positif itu terus dipelihara dengan mengawal agenda pemberantasan korupsi pada aras yang tepat. Sangat mungkin jika upaya pemberantasan korupsi melemah, pada 2010 atau tahun setelahnya, IPK Indonesia kembali merosot.

Inkonsistensi skor IPK Indonesia dapat dirujuk pada tahun-tahun sebelumnya. Indonesia selalu berada pada level yang fluktuatif, yakni dari skor 2,0 (2004), 2,2 (2005), 2,4 (2006), dan 2,3 (2007). Naik turunnya IPK Indonesia dapat dibaca sebagai gagalnya pemerintah dalam mendorong agenda pemberantasan korupsi secara lebih serius. Dengan bahasa lain, ketika pemberantasan korupsi sudah membaik, ganjalan kemudian datang. Contoh yang paling aktual adalah kriminalisasi terhadap pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) saat ini.

Faktor Penguat IPK
Sebagaimana rilis IPK 2009 yang dilansir TII, meningkatnya IPK Indonesia pada 2009 lebih disebabkan faktor kinerja pemberantasan korupsi oleh KPK dan agenda reformasi birokrasi yang didorong Departemen Keuangan. Itu berarti para responden survei IPK yang terdiri atas pelaku bisnis dan pengamat negara menilai tingkat keseriusan Indonesia dalam memberantas korupsi baru muncul pada dua institusi tersebut.

Harus diakui, sedikit banyak kiprah KPK telah memberikan warna bagi Indonesia di mata dunia internasional (baca: investor). Keberanian KPK dalam membongkar korupsi tingkat tinggi turut membentuk persepsi publik bahwa Indonesia mulai serius dalam memberantas korupsi.

Bank Dunia melalui IFC (International Finance Cooperation) secara rutin memantau perkembangan iklim usaha dunia, termasuk di Indonesia. Doing Business sebagai judul riset rutin Bank Dunia menggunakan instrumen kemudahan birokrasi perizinan untuk mengukur tingkat iklim usaha dunia. Jika dalam birokrasi perizinan masih sangat kuat praktik pemerasan, suap-menyuap yang melahirkan ketidakpastian dalam memperoleh pelayanan usaha, bisa dipastikan di mata internasional, peringkat iklim usaha negara itu akan jeblok.

Seiring dengan sepak terjang KPK, reformasi di Departemen Keuangan juga secara tidak langsung telah memengaruhi secara positif persepsi pelaku bisnis, khususnya pada sektor pajak dan bea cukai. Paling tidak, langkah konkret yang telah diambil otoritas dalam mengimplementasikan reformasi birokrasi di Departemen Keuangan adalah dipecatnya ratusan pegawai Depkeu karena melanggar kode etik PNS maupun terlibat dalam indikasi tindak pidana.

Kriminalisasi KPK
Tentu saja menjadi sangat ironis jika di satu sisi KPK merupakan salah satu faktor pendorong naiknya IPK Indonesia. Tapi, di sisi lain, eksistensi KPK justru terancam. Sebenarnya sudah menjadi siklus alamiah jika sebuah badan baru yang dibentuk untuk memberantas korupsi telah berani mengusik wilayah status quo, serangan balik akan dialami.

Kecenderungan itu tidak hanya terjadi dalam konteks KPK Indonesia. Di Burundi, negara di belahan Afrika sana, salah satu anggota komisioner badan antikorupsi indepedennya dibunuh karena sepak terjangnya dalam memberantas korupsi. Di belahan Afrika lainnya, Nigeria, ketua KPKnya harus melarikan diri ke Amerika Serikat karena diintimidasi sekaligus dipecat dari jabatannya karena berani memproses kasus dugaan korupsi yang melibatkan karib presiden Nigeria.

Di Korea Selatan, KICAC (Korean Independent Commission Againts Corruption) dibubarkan dan dilebur ke dalam sebuah badan baru yang tidak lagi memiliki kewenangan penindakan. Salah satu mantan komisionernya, Kim Geu Song, yang secara langsung berdiskusi dengan penulis pada sela-sela Konferensi UNCAC di Doha, Qatar, beberapa waktu lalu juga ditetapkan sebagai tersangka karena dianggap menyalahgunakan keuangan KICAC.

Saat ini, kata kunci bagi keselamatan KPK ada pada Presiden SBY. Jika SBY memiliki komitmen yang kuat dalam memberantas korupsi, seharusnya IPK Indonesia yang sudah membaik akan tetap dipertahankan. Konflik cicak lawan buaya yang tidak ada ujung pangkalnya hanya akan merusak capaian positif dari agenda pemberantasan korupsi.

Presiden SBY tidak hanya berurusan dengan publik di Indonesia jika masalah kriminalisasi terhadap KPK tidak segera diputuskan. Tetapi, juga berhadapan dengan komunitas internasional yang dipayungi oleh PBB. Indonesia sebagai salah satu negara peserta UNCAC saat ini terikat dengan sebuah resolusi yang dikeluarkan pada Konferensi UNCAC ketiga di Doha. Negara peserta UNCAC harus memastikan keberadaan badan antikorupsi dengan menjaga independensinya dan memperkuat kapasitasnya serta sekaligus menjaga badan itu dari berbagai pengaruh yang tidak diinginkan. Wallahu a'lam. (*)

Adnan Topan Husodo , wakil koordinator ICW

Tulisan ini disalin dari Jawa Pos, 23 November 2009

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan