Menyandera Seleksi KPK

Proses seleksi pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sudah memasuki tahap akhir. Presiden telah menyerahkan 8 nama calon pimpinan KPK untuk memenuhi kebutuhan 4 kursi pimpinan KPK masa jabatan 2011-2015. Berdasarkan UU No. 30 tahun 2002 tentang KPK dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 5/PUU-IX/2011 tanggal 16 Juni 2011 maka, DPR wajib memilih 4 dari 8 calon yang diajukan oleh Presiden tersebut, kemudian dalam jangka waktu maksimal 30 hari, Presiden menetapkan 4 pimpinan KPK terpilih.

Secara normatif, jika proses tersebut berjalan lancar dan semua pihak yang terkait dengan proses seleksi mematuhi aturan hukum yang ada, tentu setidaknya di akhir tahun 2011 ini, KPK sudah memiliki 4 pimpinan yang baru ditambah Busro Muqodas yang berdasarkan putusan MK dan Keputusan Presiden memiliki masa jabatan 4 tahun terhitung sejak 10 Desember 2010. Sehingga, KPK akan lebih kuat melakukan upaya pemberantasan korupsi dengan keanggotaan dan tim yang baru.

Akan tetapi, proses yang diatur secara rinci di UU KPK dan “diperbaiki” oleh Putusan MK No.5/Puu-IX/2011 tersebut tampaknya akan terganjal. Sejumlah politisi bersuara miring dan tampak ingin menghalang-halangi berjalannya pergantian pimpinan KPK dengan mulus? Ada apa? Di tataran permukaan tentu kita bisa katakan bahwa ini semata soal perbedaan tafsir terhadap masa jabatan pimpinan KPK dan pemberlakuan putusan MK. Namun, kami khawatir, sikap yang janggal dari sejumlah pihak di Komisi III DPR-RI ini punya maksud terselubung. Apalagi saat ini, KPK sudah menjerat setidaknya 63 anggota/mantan DPR, dan sedang menangani dua skandal besar yang akan sangat mungkin membongkar praktek mafia anggaran di DPR. Sebuah praktek yang disinyalir menjadi cara/modus dalam mengumpulkan dana haram politik melalui proyek-proyek pemerintah. Jika praktek mafia anggaran terbongkar, itu sama artinya kekuasaan korup sejumlah partai politik yang selama ini melakukan perampokan uang rakyat akan runtuh.

Ketua KPK, Busro Muqodas yang sebelumnya dipilih DPR setelah menyisihkan Bambang Widjoyanto pun tampaknya tidak mau “kompromi” dengan para politisi maling di Senayan yang melakukan korupsi. Dengan berbagai kekurangan dan catatan kritis terhadap Ketua KPK, setidaknya dari 2 kasus yang terbongkar dalam waktu dekat yang bisa menyasar ke jantung kekuasaan politik korup menguatkan indikasi ini, yaitu: kasus suap Wisma Atlet dan 34 perkara lainnya yang masih berada dalam ditangani tahapan di KPK, serta suap Kemenakertrans tentang alokasi anggaran untuk 19 daerah transmigrasi dengan nilai proyek Rp. 500 miliar. Sehingga, wajar rasanya masyarakat khawatir dengan sikap aneh para politisi yang berani melawan UU KPK dan Putusan MK dan ingin mengembalikan 8 nama yang sudah dipilih Pansel.

Membangkang
Memang, berdasarkan pengamatan Koalisi, pernyataan miring tersebut bukan berasal dari kelembagaan Komisi III DPR ataupun DPR. Namun, mengingat sejumlah anggota Komisi III sudah berbicara, dan dalam kapasitas personal pun mereka adalah wakil rakyat serta bagian dari pihak yang akan memilih pimpinan KPK, hal ini tetap perlu direspon secara keras dan tegas. Kita berharap, sikap kontroversial yang dinilai merupakan pembangkangan terhadap produk pengadilan yang bersifat final seperti Putusan MK tidak dilakukan oleh kelembagaan DPR, Komisi III DPR ataupun fraksi/partai politik. Karena, jika parlemen dan bagiannya sudah secara terbuka tidak mematuhi aturan hukum dan putusan pengadilan, menurut kami ini adalah bencana terhadap penegakan hukum dan prinsip ketatanegaraan Indonesia. Jika DPR saja membangkan dengan putusan pengadilan, jangan harap masyarakat harus patuh dengan aturan hukum.

Sejauh ini, ada dua argumentasi yang diajukan oleh sebagian anggota DPR untuk menolak 8 nama pimpinan KPK. Pertama, Pasal 30 ayat (10) UU KPK: DPR wajib memilih dan menetapkan 5 calon yang dibutuhkan sebagaimana dimaksud ayat (9) dalam waktu paling lambat 3 bulan sejak tanggal diterimanya usul dari Presiden. Para politisi beralasan, Pasal 30 (10) UU KPK tersebut sangat jelas menyebut angka 5 dan jika dihubungkan dengan ayat (9) maka artinya, Presiden harus mengajukan 2 x 5 yaitu 10 calon.

Kedua, Putusan MK tidak bersifat retroaktif, sehingga tidak berlaku pada Busro Muqodas yang sudah diangkat Presiden sejak 10 Desember 2010, sedangkan putusan MK baru berlaku sejak 16 Juni 2011.

Sepintas, dua argumentasi diatas cukup kuat, sehingga jika tidak dicermati secara hati-hati maka kita akan berpikir bahwa memang wajar jika DPR meminta 10 calon. Benarkah? Tidak. Argumentasi tersebut justru sudah runtuh sejak MK menyatakan secara tegas tafsir pasal yang sangat strategis tentang masa jabatan pimpinan KPK seperti diatur di Pasal 34 UU KPK. Sehingga tafsir tersebut kemudian mempengaruhi dan mengkoreksi semua pasal lainnya di UU KPK yang terkait dengan perihal masa jabatan ini.

MK mengatakan: pimpinan KPK yang diangkap bersamaan ataupun pimpinan KPK pengganti masa jabatannya adalah 4 tahun. Ditegaskan: “mempersempit makna Pasal 34 UU KPK dengan tidak memberlakukan bagi pimpinan KPK pengganti untuk menjabat selama 4 tahun adalah melanggar prinsip kepastian hukum yang dijamin konstitusi” (Hal. 75).

Sehingga, hal ini punya konsekuensi terhadap masa jabatan Busro Muqodas yang awalnya berdasarkan Kepres No. 129/P Tahun 2010 hanya sampai tahun 2011, berubah menjadi 4 tahun, yaitu sampai Desember 2014. Konsekuensi logisnya proses seleksi pimpinan KPK saat ini hanya akan mencari 4 kursi kosong pimpinan KPK lainnya yang sebelumnya diisi oleh: Chandra M. Hamzah, Bibit Samad Rianto, Haryono Umar, dan M. Yasin. Akal sehat hukum tentu akan membaca Pasal 30 ayat (9) dan (10) UU KPK dalam konteks Putusan MK ini. Mengingat, putusan MK adalah bersifat final dan bisa membatalkan, mengkoreksi atau memberikan tafsir yang sesuai dengan konstitusi terhadap sebuah UU.

Oleh karena itu, alasan DPR yang mendasarkan argumennya pada Pasal 30 ayat (10) UU KPK sudah gugur dengan sendirinya, karena Pasal tersebut harus dibaca: Presiden mengajukan calon pimpinan KPK dua kali lipat dari jumlah jabatan yang dibutuhkan. Karena saat ini yang dibutuhkan adalah 4 kursi, maka Presiden harus mengajukan 8, bukan 10. Hal ini penting, karena MK pun dalam putusannya sudah menegaskan tentang konsep kesinambungan kerja KPK atau stegger mechanism yang menjadi salah satu ciri dari lembaga negara independen. Dikatakan: “Untuk menjamin kesinambungan tugas-tugas Pimpinan KPK, agar pimpinan tidak secara bersama-sama mulai dari awal lagi, maka penggantian Pimpinan KPK tidak selayaknya diganti serentak” (hal 76).

Sedangkan untuk argumentasi anggota DPR bahwa putusan MK berlaku ke depan dan tidak berlaku surut (non-retroaktif) pada Busro Muqodas, MK pun menyangkalnya. Putusan MK tersebut berlaku secara surut untuk alasan kemanfaatan bagi pemberantasan korupsi dan pemulihan dari kesalahan tafsir DPR dan Presiden terhadap Pasal 33 dan 34 UU KPK. Apalagi, penerapan dari UU tersebut masih berlangsung sampai saat ini, yaitu: saat MK memutus, pelaksanaan yang salah dari Pasal 34 tersebut masih berlaku, sehingga harus dikoreksi demi kepastian hukum.

Ditegaskan dalam putusan MK: Oleh karena itu, untuk menghindari ketidakpastian hukum dalam masa transisi sebagai akibat dari putusan ini, terkait dengan jabatan Pimpinan KPK pengganti (yang baru terpilih), maka putusan ini berlaku bagi Pimpinan KPK yang sudah terpilih dan menduduki Pimpinan KPK sekarang untuk masa jabatan selama empat tahun sejak terpilih (hal. 76).

Dengan demikian, jelaslah Putusan MK memberikan dasar yang sangat kuat terhadap pengajuan 8 nama pada DPR. Bahkan, Presiden pun telah mematuhi Putusan MK tersebut dengan menerbitkan Kepres No. 33/P tahun 2011 tanggal 28 Juni 2011. Ketegasan dan kejelasan sikap Presiden ini seharusnya tidak diperburuk dengan tasir DPR yang dipaksakan dan bahkan dapat dinilai membangkang atau melawan Putusan MK.

Jika ada upaya-upaya untuk menghambat proses seleksi pimpinan KPK ataupun titipan kepentingan koruptor untuk menyandera KPK, hal itu harus dilawan bersama. Baik oleh masyarakat, ataupun Partai Politik dan DPR secara kelembagaan. Citra DPR sudah terlalu buruk dan korup yang diakibatkan oleh personal-personal politisi tersebut. Hal ini tidak bisa dibiarkan semakin memburuk. Jangan sampai proses seleksi pimpinan KPK ini tersandera politik, karena secara otomatis hal itu akan mengancam keberlangsungan kerja pemberantasan korupsi di KPK.
oleh: Febri Diansyah, Koordinator Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan ICW
Tulisan ini disalin dari Suara Pembaruan, 9 September 2011

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan