Menyandera KPK

KOMISI III DPR akhirnya sepakat untuk menguji kelayakan dan kepatutan 8 nama calon pimpinan (capim) KPK yang diusulkan Panitia Seleksi (Pansel) Pimpinan KPK (SM, 18/10/11). Sikap itu melunak dari awalnya ngotot meminta 10 nama sehingga sebagian masyarakat khawatir modus itu bisa menciptakan keadaan darurat bagi KPK. Sikap membatu itu menjadi bahasan serius terhadap perjalanan pemberantasan korupsi. Pasalnya, ada tiga masalah penting seandainya komisi yang membidangi masalah hukum itu bersikukuh.

Pertama; jika sampai batas waktu ditentukan Komisi III tak memutuskan siapa yang menduduki kursi pimpinan KPK maka ada kekosongan pimpinan dan membuat kapal KPK tak bisa berlayar mengarungi samudra pemberantasan korupsi. Jelas, karena kapal butuh nakhoda dan bagaimana mungkin kapal berlayar kalau calon nakhodanya masih ‘’tersandera’’ urusan administrasi pemilihan.

Kedua; kekosongan pimpinan KPK bisa menimbulkan efek domino, yaitu telantarnya penanganan kasus korupsi di KPK. Sebagai informasi, sistem kerja di KPK bersifat topdown, perintah pimpinan menjadi sabda yang harus dieksekusi pejabat di bawahnya. Jika tidak ada perintah, penyidik dan penuntut KPK kemungkinan besar tidak akan bergerak.

Menyandera proses pemilihan pimpinan KPK sudah barang tentu mengakibatkan kondisi psikologis yang buruk bagi awak KPK. Bayangkan kalau dalam lembaga penegakan hukum tidak ada gairah, tak ada hasrat memberantas korupsi karena ketiadaan perintah memberantas korupsi maka hal itu akan merugikan beberapa aspek.

Misalnya, aspek keuangan negara sebab duit yang digelontorkan untuk membiayai awak kapal terbuang sia-sia. Awak tak mau membentangkan layar karena tak ada perintah dari nakhoda. Berikutnya, rugi dari aspek waktu. Hari-hari yang seharusnya digunakan untuk menangkap ikan koruptor tidak dapat dimanfaatkan secara maksimal karena ketiadaan perintah nakhoda.

Ketiga; tidak adanya pimpinan KPK merupakan kemenangan para koruptor. Tidak dapat dimungkiri, koruptor akan berbahagia karena tidak dikejar KPK. Malah, mungkin dalam perspektif koruptor, langkah Komisi III ngotot meminta 10 nama calon pimpinan diharapkan berlarut-larut. Makin lama makin baik.

Kemungkinan yang lebih parah lagi dari lambatnya pemilihan pimpinan KPK adalah memberikan waktu bagi koruptor untuk mengalihkan aset hasil korupsi. Meski kemungkinan ini dipandang agak jauh, yakinlah bahwa sedetik waktu pun akan dimanfaatkan oleh koruptor untuk menyelamatkan raga dan hartanya. Tiga masalah utama yang lahir dari sikap membatu Komisi III tentu saja memicu makin mundurnya usaha pemberantasan korupsi.

Mengamankan Kepentingan
Untung saja, Komisi III terbuka pemikirannya untuk tidak berpolemik terlalu lama dengan Pansel mengenai jumlah capim KPK. Komisi III menyepakati 8 calon pimpinan KPK usul dari Pansel. Hanya saja, kebijakan Komisi III masih menyisakan selilit. Walau mau menerima 8 nama, wakil rakyat tak mengakui masa jabatan Busyro Muqoddas. Busyro tidak otomatis menakhodai KPK setelah Komisi III memilih 4 pimpinan KPK lainnya.

Kebijakan Komisi III ini sebenarnya ingin menawar posisi KPK. Di satu sisi, wakil rakyat tidak mau dianggap melawan putusan Mahkamah Konstitusi, putusan kekuasaan yudisial, dengan ngotot meminta 10 nama baru capim KPK, namun di sisi lain juga tak mau melepaskan begitu saja momen yang sangat menentukan arah kapal KPK.
Komisi III menyandera KPK. Nakhoda kapal KPK dikocok ulang untuk memilih orang yang tepat, yang bisa disetir DPR, demi mengamankan kepentingan parlemen.

Sekadar mengingatkan, proses pemilihan ketua KPK tahun 2007, harus diulang. Pada pemilihan pertama, Chandra M Hamzah yang menang tetapi pada pemilihan ulang Antasari Azhar mengantongi suara terbanyak.

Kita perlu memasang mata dan telinga, jangan-jangan penawaran Komisi III terhadap kursi Busyro, juga tak jauh dari peristiwa 2007, menawar untuk mengamankan kepentingan anggota DPR dan partai politik. Jika itu yang terjadi, percayalah, episode pemberantasan korupsi dengan pimpinan baru KPK hasil penawaran anggota Dewan, tidak ubahnya seperti periode sebelumnya: bocor di tengah jalan, tersundut paku kepentingan politik. (10)

Hifdzil Alim, peneliti dari Pusat Kajian Antikorupsi Fakultas Hukum UGM
Tulisan ini disalin dari Suara Merdeka, 19 Oktober 2011

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan