Menutup Kasus Bank Century

KASUS Bank Century diusulkan ditutup. Usul tersebut mengalir dari pernyataan Ketua Komisi III DPR Benny K. Harman. Dia berpendapat bahwa penutupan kasus itu dilakukan jika penegak hukum tidak menemukan adanya tindak pidana dalam penyertaan modal sementara (PMS) alias bailout dan pemberian fasilitas pendanaan jangka pendek (FPJP) ke Bank Century (Jawa Pos, 27/7).

Pernyataan menutup kasus Bank Century sebenarnya tak terlalu mengejutkan. Pasalnya, indikasi menghentikan pemeriksaan kasus itu sudah terasa jauh-jauh hari. Para penegak hukum untuk sementara ini memang mengumumkan tak menemukan dugaan tindak pidana dalam kasus Bank Century. KPK, misalnya, setelah memeriksa 96 orang, mengatakan tak menemukan indikasi tindak pidana korupsi kepada tim pengawas kasus Bank Century bentukan DPR.

Pendapat penegak hukum tersebut sangat mungkin memicu Benny berani mengusulkan penutupan kasus Bank Century. Jika demikian, sepertinya agak susah membongkar dugaan tindak pidana kasus Bank Century melalui jalur hukum.

Jalan Masuk
Kasus Bank Century bukan kasus sederhana. Selain diduga merugikan keuangan negara, kasus tersebut disangka menjerat pejabat negara. Petinggi tingkat elite ikut tercatut dalam skenario pengucuran duit Rp 6,7 triliun dari kas negara. Yang lebih menghebohkan, kasus itu tidak melulu berbicara di lingkup hukum, tapi juga segmen politik dan ekonomi.

Memang benar, bila ingin mendapatkan legitimasi untuk mengungkap kasus Bank Century, jalan yang ditempuh adalah proses hukum. Pemeriksaan politik yang dilakukan Pansus Bank Century serta sidang paripurna tidak dapat memberikan legitimasi secara hukum agar menyatakan ada pelanggaran terhadap bailout dan FPJP ke Bank Century. Dan, ini tak bisa dibantah.

Hanya, apakah ketiadaan legitimasi hukum sementara ini menutup jalan pemeriksaan kasus Bank Century? Tentu tidak. Ada jalan lain yang bisa dibuka. Karena kasus Bank Century mengikutsertakan segmen lain di luar hukum (seperti politik), tak terlalu keliru apabila menggunakan jalan lain untuk menemukan kebenaran di kasus Bank Century.

Setidaknya, ada tiga jalan masuk. Pertama, keterangan Komjen Susno Duadji. Susno menulis keterangan yang dituangkan dalam testimoninya (2009) bahwa dia tidak menyidik lebih lanjut kasus Bank Century, karena salah satu pihak yang akan diperiksa tengah maju dalam pemilihan umum presiden/wakil presiden tahun lalu.

Kemelut sedang melanda Susno. Dia terjerat dugaan mafia perpajakan yang dibongkarnya sendiri. Saat ini suaranya pun lamat-lamat mulai tak terdengar akibat "dirumahkan". Penegak hukum seharusnya lebih bergerak progresif dengan meminta keterangan Susno.

Kedua, keterangan yang ditulis George Aditjondro dalam bukunya Membongkar Gurita Cikeas (2009). Penegak hukum dapat menelusuri beberapa keterangan mengenai aliran dana ke partai politik peserta Pemilu 2009 yang diduga mengucur dari dana bailout dan FPJP Bank Century. Sekali lagi, keterangan Aditjondro setidaknya sedikit membantu penegak hukum menyusun puzzle kasus Bank Century.

Ketiga, keterangan yang disampaikan Yusril Ihza Mahendra. Yusril dalam sebuah diskusi di Jakarta Selatan, awal Juli lalu, menduga Presiden SBY tahu potensi pelanggaran hukum di balik keputusan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) mengeluarkan dana ke Bank Century. Penegak hukum tak terlalu susah kiranya mengembangkan keterangan Yusril tersebut.

Ketiga jalan masuk tersebut dapat dijadikan alternatif jalur penelusuran kasus Bank Century apabila penelusuran secara hukum mengalami kebuntuan.

Kemauan Politik
Setelah penegak hukum menelusuri jalan masuk pengungkapan kasus Bank Century, langkah selanjutnya adalah memberikan dengan legawa kemauan politik yang ada di tangan para penguasa. Kemauan politik menjadi faktor dominan dalam membongkar kasus korupsi, apalagi untuk korupsi kelas kakap. Parahnya lagi, kemauan politik sering menjadi batu sandungan pengungkapan kasus korupsi.

Jeremy Pope dalam Confronting Corruption: The Elements of National Integrity System (2000) berujar, partisipasi masyarakat sipil serta media massa (pers) umumnya sudah diterima sebagai faktor penentu berhasil tidaknya program pemberantasan korupsi (antikorupsi). Namun, ada unsur yang sering tidak ada, yakni kemauan politik.

Kemauan politik untuk membuat terang benderang kasus Bank Century belum hadir dalam koridor elite. Kemauan politik tak jarang dikompromikan atau dibarter dengan kepentingan antarelite. Sebagai bukti, pindahnya mantan Menteri Keuangan Sri Mulyani sebagai salah satu manajer Bank Dunia per 1 Juni 2010 ternyata mendinginkan mesin politik salah satu partai pengusul angket Bank Century.

Sikap Partai Golkar sepertinya melunak pelan-pelan. Bahkan, salah satu petinggi partai beringin tersebut sempat keceplosan mengusulkan agar kasus Bank Century dipetieskan secara politik. Tidak hanya itu, hubungan Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie (Ical) dengan Presiden SBY seakan mencair. Forum konsolidasi bernama sekretariat bersama koalisi dibentuk dengan mendudukkan Ical sebagai ketua harian. Artinya, boleh jadi usul menutup kasus Bank Century belakangan ini adalah hasil kompromi kemauan politik para pemegang kepentingan.

Yang lebih penting, sebenarnya, kemauan politik dapat membuat seluruh pemegang kekuasaan bersimpuh dan menuruti apa pun yang diinginkan. Ketika kasus Bank Century ingin dibongkar, terbongkarlah. Begitu pula sebaliknya. Apakah ada kemauan politik dari pemegang kekuasaan saat ini untuk memeriksa kasus Bank Century?

Akhirnya, keinginan menutup kasus Bank Century bukan karena tidak ditemukannya pelanggaran hukum, tetapi karena memang ingin ditutup untuk mengamankan pemegang kekuasaan yang diduga terjerat skandal Rp 6,7 triliun itu.

Hifdzil Alim, peneliti Pusat Kajian Antikorupsi Fakultas Hukum UGM
Tulisan ini disalin dari Jawa Pos, 28 Juli 2010

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan