Menuntaskan Skandal Century

BOLA panas kasus Bank Century Tbk (BCIC) -kini bernama Bank Mutiara- terus bergulir bagai bola liar. Kasus membengkaknya bail out Bank Century senilai Rp 6,7 triliun itu, tampaknya, akan semakin ramai. Kejaksaan Agung jauh hari menyatakan tidak ada perbuatan melawan hukum dalam pengucuran dana untuk Bank Century tersebut.

Hal tersebut tentu menjadi pertanyaan besar. Sebab, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) belum menyelesaikan audit investigasi bail out Century. Karena itu, kita layak bertanya apa pertimbangan Kejagung sehingga menyimpulkan tak ada perbuatan melawan hukum.

Mencermati hal itu, DPR -khususnya komisi XI- sontak berupaya membentuk panitia angket. Panitia tersebut, menurut beberapa kalangan, harus segera dibentuk untuk melakukan investigasi.

Pansus itu, selain bisa memanggil para pejabat yang terlibat saat bail out Century mulai dikucurkan, diharapkan bisa menyentuh aliran dana, yakni sejak dana tersebut keluar dari Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) hingga ke nasabah BCIC. Penelusuran aliran dana itu sangat penting mengingat bisa saja hasil audit BPK nanti tidak menyentuh sama sekali substansi aliran dana Century. Padahal, persoalan tersebut sangat penting.

Oleh sebab itu, polemik banyak pihak seputar dana penyelamatan BCIC yang berlarut-larut sebaiknya dihentikan. Masyarakat jangan mau digiring ke arah sana. Masyarakat sebaiknya menunggu perkembangan lebih lanjut dari audit investigasi yang tengah dilakukan oleh BPK dan pansus BCIC. Untuk sementara, sudah diselesaikan 70 persen, sisanya akan dirampungkan paling lambat hingga akhir 2009. Dikawatirkan, apabila polemik seputar BCIC itu sudah mengarah ke ranah politis, persoalannya kian rumit dan justru berdampak negatif bagi keberlangsungan operasional Bank Mutiara ke depan.

Prioritas
Melakukan audit investigasi secara keseluruhan memang tidaklah mudah. Begitu banyak permasalahan yang perlu diaudit sehingga mungkin memerlukan waktu yang cukup panjang. Oleh sebab itu, auditor BPK mungkin bisa memberikan prioritas pada beberapa hal yang penting untuk mengungkap sampai sejauh mana dasar-dasar yang bisa diambil untuk menyelamatkan BCIC tersebut. Barangkali penyelamatannya itu sendiri cukup penting. Namun, yang perlu ditelisik adalah mengapa bank tersebut diberi suntikan hingga empat kali lipat, mulai 23 November 2008 hingga 21 Juli 2009.

Dalam konteks ini, perlu dicarikan dasar pengucuran dana dan besarnya plafon setiap kali pengucuran, apakah sudah melalui perhitungan dan audit yang matang atau belum. Langkah itu sangat penting karena bisa menjadi pintu masuk temuan-temuan berikutnya. Mestinya, setiap pengucuran dana dilakukan atas dasar perhitungan (assesment) yang jelas dan sudah melalui audit yang matang (dalam arti untuk memperkecil terjadinya fraud/kejahatan) sehingga bisa dipertanggungjawabkan secara hukum. Maklum, setiap pengucuran dana melibatkan uang yang tidak kecil, mencapai triliunan rupiah.

Kalau pengucuran tersebut, ternyata, hanya untuk menalangi/menomboki para deposan kakap yang melakukan rush (pengambilan dana besar-besaran) depositonya, itu jelas melanggar prinsip penjaminan LPS. Bukankah dana-dana yang dijamin oleh LPS maksimal adalah Rp 2 miliar? Dus, dana-dana yang lebih besar dari nominal Rp 2 miliar seyogianya tetap bercokol di BCIC karena toh bank tersebut tidak dilikuidasi.

Mestinya, dana-dana kakap milik perorangan atau badan usaha tidak perlu keluar serempak. Toh, BCIC tetap merupakan bank yang beroperasi secara normal. Terlebih pemiliknya kini adalah pemerintah (LPS) yang sangat kredibel. Pengelola baru seharusnya juga bisa menahan dana-dana semacam itu untuk tidak keluar dulu dari brankas BCIC.

Sayang, nasi sudah menjadi bubur. Dana-dana kakap tersebut telanjur keluar dari brankas BCIC dan terbang ke brankas bank lainnya. Masalah itulah yang perlu mendapatkan prioritas audit investigasi sehingga permasalahannya menjadi semakin jelas.

Selain masalah tersebut, perlu diselidiki lebih lanjut tentang aset-aset bodong milik BCIC, baik dalam bentuk surat berharga, kredit fiktif (L/C fiktif), maupun jaminan kredit (collateral) yang nilainya di-mark up.

Selesaikan ADS
Hal lain yang tak kalah penting adalah solusi masalah reksadana bodong produk Antaboga Delta Sekuritas (ADS). Hingga saat terakhir, tidak kurang Rp 1,4 triliun dana nasabah (sekaligus investor) BCIC yang masih nyangkut. Mereka berencana terus melakukan aksi unjuk rasa (demonstrasi) hingga dana-dana investasi mereka bisa kembali. Artinya, operasional Bank Mutiara (rebranding dari BCIC) akan senantiasi terusik dan terganggu dengan aksi-aksi investor reksadana "bodong" ADS. Kalau hal semacam itu terus terjadi, jelas terganggu aktivitas dan perkembangan Bank Mutiara ke depan.

Oleh sebab itu, pemerintah -dalam hal ini LPS sebagai pemilik baru Bank Mutiara- harus mulai berpikir "out of the box", jangan hanya berpedoman dengan harga mati pada undang-undang dan peraturan yang berlaku. Pengelola dan pengurus Bank Mutiara mestinya mulai memproses skandal reksadana bodong tersebut. Sebab, ternyata, banyak investor yang merasa tertipu karena tidak mendapatkan informasi yang lengkap mengenai produk nonbank itu.

Oleh sebab itu, BI, Bappepam-LK, serta LPS sebaiknya kembali duduk bersama untuk merumuskan persoalan tersebut. Minimal ada iktikad dari para pihak yang terlibat (stake holders) untuk menyelesaikan persoalan itu dalam koridor win-win solution. (*)

Susidarto, pemerhati masalah keuangan-perbankan, tinggal di Jogjakarta

Tulisan ini disalin dari Jawa Pos, 16 November 2009

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan