Menunggu (Ang)-Godot

Tidak ada simbol komunikasi politik yang lebih signifikan untuk mempersatukan semua kemarahan dan pertanyaan terhadap pemberantasan korupsi di Indonesia daripada gambar Anggodo dalam pakaian petinggi polisi!

Entah siapa yang memulai kreativitas seperti itu, tetapi daya persuasi simbol tersebut belum berakhir sampai saat ini. Apalagi polisi masih menyatakan tidak bisa melakukan apa pun terhadap Anggodo sebab tidak ada korban yang melaporkannya!

Padahal, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pernah menyatakan kegeraman bahwa namanya dicatut dan meminta hal itu diusut tuntas. Selain itu, seluruh rakyat berasumsi SBY telah mendengar pula dari rekaman yang diputar di Mahkamah Konstitusi (MK) bahwa Anggodo memang sudah mencatut namanya!

Gerakan moral?
SBY tercatat pernah melaporkan Zaenal Ma’arif karena mencemarkan nama baik, harga diri, dan kehormatannya (saat Zaenal menyatakan SBY telah menikah sebelum dengan Ibu Ani). Kutipan dari situs resmi Presiden RI (29/7/2007) menyatakan, ”Oleh karena itu, saya melakukan gerakan moral sebagai seorang warga negara. Mari, apabila seseorang dicemarkan nama baiknya, apalagi pada tingkat yang sangat berlebihan, gunakan pintu keadilan, pintu hukum, untuk menyelesaikannya dengan baik.”

Sekali lagi, mengapa SBY tidak melaporkan Anggodo? Bahkan terkesan sampai SBY bersedia melupakan gerakan moral yang dia mulai tahun 2007 tersebut? Bukankah pelaporan semacam itu pula yang merupakan esensi ”Kotak Pos Ganyang Mafia Hukum” yang diluncurkan SBY (5/11/2009)?

Denny Indrayana pernah mencoba menjelaskan di televisi bahwa SBY tidak memandang perlu melaporkan semua orang yang membawa-bawa nama presiden kalau kasusnya tidak demikian mengganggu kredibilitas. Bung Denny salah besar! Gerakan moral (istilah) yang dimulai SBY, Kotak Pos Ganyang Mafia Hukum, dan persepsi rakyat tentang Anggodo terlalu gegabah untuk dikorbankan dan dibandingkan dengan pelaporan SBY yang relatif sangat personal sebelumnya.

Jawaban yang lebih memuaskan logika keluar saat saya diwawancarai Elshinta bersama pengamat intelijen Wawan Purwanto. Saat itu saya mengajukan pertanyaan yang sama. Wawan menjawab, terdapat kekhawatiran bahwa Anggodo akan ”menyanyi”. Saya menambahkan, kalau begitu persis seperti rangkaian Bernard Barker, Haldeman, Erlichman, yang akhirnya menyanyi dalam Kasus Watergate.

Polarisasi
Ketika berdiri di depan kelas sebagai pengajar, saya tidak bisa menjelaskan kepada mahasiswa, berapa lama kita harus menanti SBY melaporkan Anggodo? Saya coba pelajari betul teori-teori withholding information dalam krisis komunikasi (antara lain Robinson, jurnal Human Communication Research, Oktober 2009). Namun, tidak ada satu alasan pun yang membenarkan penantian tanpa kepastian yang mirip drama ”Menunggu Godot” karya Samuel Beckett!

Sejak kasus cicak versus buaya, lembaga-lembaga negara dan masyarakat kita sudah mulai terpolarisasi, dan ini kian nyata dalam kasus Bank Century. Entah direkayasa atau alamiah, meluncurlah isu personal Aburizal Bakrie yang ingin mendiskreditkan Sri Mulyani. Atau keinginan tokoh tertentu menjadi wakil presiden jika Boediono rontok karena kasus Bank Century. Semua ini amat mudah dibaca.

Terus terang, saya tergolong orang yang sedih melihat rontoknya ikon reformasi. Apalagi kalau sekadar menghasilkan estafet ke tokoh-tokoh lama. Namun, di sisi lain sedikitnya terdapat dua kasus ”Menunggu Godot” lainnya.

Pertama, ketika SBY, Andi Mallarangeng, dan Denny Indrayana selalu menyatakan bahwa SBY telah begitu banyak mengeluarkan surat izin pemeriksaan pejabat publik dalam upaya perang terhadap korupsi. Pada saat yang sama sejarah harus mencatat bahwa dalam era pemerintahan SBY pula, dua unsur pimpinan KPK sempat ditahan karena dugaan rekayasa (perihal rekayasa ini dinyatakan juga dalam keputusan MK). Persoalan tidak pernah boleh mereka anggap selesai dengan menyatakan toh Bibit dan Chandra sudah dikembalikan ke posisi mereka! Rakyat sedang ”menunggu Godot” yang menunjukkan siapa yang merekayasa pimpinan KPK sampai masuk tahanan.

Kedua, dari Watergate dan berbagai kasus lain, kita tahu bahwa kebohongan harus ditutup dengan kebohongan lainnya. Lihatlah betapa nama almarhum Cak Nur sampai harus dibawa-bawa untuk sekadar membangun logika lain dengan aroma kebohongan. Sebuah rezim yang bersalah, jika selamat karena upaya polarisasi apa pun, pasti telah mempekerjakan begitu banyak agen kebohongan untuk menutupi kebohongan-kebohongan baru. Lalu, masa pemerintahannya akan dihabiskan untuk membalas jasa para agen kebohongan itu, antara lain agar tidak ”menyanyi”. Dengan demikian, tidak akan pernah terjadi pembangunan yang efektif untuk rakyat.

Jadi, kita sedang menunggu politikus jantan dengan rombongan intelektual jantan, yang segera menunjukkan di mana bersihnya mereka serta melaporkan yang tidak bersih sebagaimana mestinya. Jika tidak, kita memang sedang ”Menunggu (para) Godot” yang tak kunjung tiba....

Effendi Gazali Koordinator Program Master Komunikasi Politik UI

Tulisan ini disalin dari Kompas, 16 Desember 2009

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan