Menuju Kursi Trunojoyo I

Suasana panas setiap menjelang pergantian Kapolri tak dapat dihindari.Jabatan yang penuh prestise, kekuasaan begitu besar,dan capaian tertinggi bagi setiap anggota Polri dalam kariernya menjadikan ritus seleksi calon Kapolri kerap diwarnai intrik.

Masalah apapun yang berkaitan dengan Polri,acap dikaitkan dengan situasi menuju kursi Trunojoyo I. Sebut saja sebagai contoh kasus Susno Duadji, pembongkaran rekening gendut Polri, hingga wacana penguatan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan PPATK dalam penanganan kasus pencucian uang.Posisi strategis sebagai Kapolri selalu menarik untuk diperebutkan hingga semua kelompok yang memiliki kepentingan langsung dengan Polri nimbrung dalam pertarungan nan sarat politis ini. Tak dapat dipungkiri, atensi masyarakat luas terhadap proses penentuan Kapolri pengganti Bambang Hendarso Danuri (BHD) kian tinggi karena beberapa persoalan krusial yang dihadapi Polri hingga saat ini belum dapat diselesaikan dengan memuaskan.

Satu yang paling penting adalah masalah rekening gendut milik sejumlah oknum Perwira Tinggi (Pati) Polri yang telah dilaporkan PPATK sejak 2005 silam. Mabes Polri sendiri telah merespons secara internal persoalan di atas dengan melakukan upaya pemeriksaan. Akan tetapi,hasil pemeriksaan internal yang sudah disampaikan kepada publik sama sekali tidak dapat meyakinkan masyarakat bahwa jumlah kekayaan yang dimiliki beberapa perwira tinggi (pati) Polri diperoleh dengan caracara yang wajar.

Sosok Hoegeng yang Mustahil
Keinginan publik agar kapolri ke depan bisa melakukan terobosan besar dalam membenahi internal Polri adalah refleksi dari harapan masyarakat akan hadirnya perubahan institusi Polri yang lebih esensial.Akan tetapi, sulitnya mencari sosok Kapolri yang sesuai dengan harapan publik membuat bayangan ideal seorang Kapolri selalu berhubungan dengan (alm) Hoegeng. Siapa Heogeng?

Dia adalah mantan Kapolri yang dikenal sepanjang hidupnya berlaku sangat sederhana, benci terhadap penyalahgunaan jabatan, dan berani mengatakan tidak terhadap suap. Saking beratnya mendapatkan karakter pembanding yang setara dengan Hoegeng pada saat ini, dalam berbagai kesempatan, pihak Polri selalu menggunakan Hoegeng sebagai contoh polisi yang baik. Lantas, tidak adakah tokoh polisi lain yang–paling tidak–mendekati almarhum Hoegeng sehingga bisa dibanggakan oleh Polri sendiri? Saat ini bisa dikatakan mustahil bagi Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) bisa menjaring calon-calon Kapolri baru yang setara dengan Hoegeng untuk disodorkan kepada Presiden SBY. Justru sebaliknya,wacana mencari kandidat yang terbaik di antara yang buruk adalah realitas yang tidak bisa dihindari.

Artinya, bahan yang kini tersedia tidak memungkinkan bagi lahirnya sosok Kapolri baru yang bisa diandalkan, terutama dalam rangka melepaskan diri dari jerat berbagai kepentingan yang selama ini telah melilit Polri dan tampil sebagaimana gambaran sempurna selayaknya Hoegeng.

Kriteria Minimal
Mengingat sosok Hoegeng tak mungkin dilahirkan kembali, barangkali ada beberapa kriteria spesifik minimum harus dimiliki oleh calon Kapolri ke depan. Kriteria utama tentu berhubungan dengan skandal rekening gendut yang hingga kini masih jadi pergunjingan publik bahkan membesar karena sudah mulai ada tuntutan agar Presiden SBY membentuk tim independen untuk melakukan audit terhadap rekening-rekening yang dikategorikan tambun. Dikaitkan dengan isu di atas, sosok Kapolri ke depan sudah semestinya bukan calon yang namanya ikut terseret dalam kepemilikan rekening fantastis ini.

Sosok Kapolri ke depan juga harus dipilih dari kandidat yang paling sedikit memiliki relasi “istimewa” dengan kalangan eksternal, terutama dengan pengusaha. Sebagaimana kita tahu, penegakan hukum Polri kerap kali berhubungan dengan praktik nakal para pengusaha,mulai dari kasus pembalakan liar,penyelundupan, penggelapan pajak, korupsi, pencucian uang, penambangan liar, penyerobotan lahan, dan lain sebagainya. Untuk mendeteksi adanya jejaring istimewa itu, dibutuhkan sebuah kerja penelusuran rekam jejak dari masing-masing kandidat. Gagasan Kompolnas untuk melibatkan unsur lain seperti PPATK, KPK,dan masyarakat luas perlu diapresiasi karena selama ini seleksi calon Kapolri dilakukan secara eksklusif.

Dengan melibatkan aktor lain, informasi yang diperoleh akan lebih kaya mengingat para pati Polri tentu saja sudah pernah mengalami rotasi pekerjaan ke berbagai wilayah di Indonesia.Dari pemetaan terhadap rekam jejak tersebut, Kompolnas sebagai lembaga yang memiliki otoritas untuk menyerahkan nama calon Kapolri kepada Presiden dapat melihat apakah kandidat Kapolri yang kini berjumlah delapan orang itu memiliki sejarah kelam atau tidak.

Menghindari Political Buying
Masalah seleksi calon kapolri bukan hanya berhenti pada sulitnya mencari sosok seperti Hoegeng dan bagaimana mendorong agar mekanisme seleksi lebih akuntabel dan transparan, melainkan keterlibatan ranah politik dalam menentukan Kapolri. UU No 2 Tahun 2002 tentang Polri mengatur wewenang DPR untuk menyetujui atau menolak calon Kapolri yang diajukan Presiden.

Ini artinya,DPR sebagai lembaga politik akan menjadi aktor yang cukup strategis untuk menentukan siapa Kapolri terpilih. Masalahnya, wewenang DPR untuk memilih pejabat publik kerap kali disalahgunakan. Kasus pemilihan Miranda Gultom sebagai misal adalah bukti aktual bagaimana political buying potensial menghantui proses seleksi calon pejabat publik,termasuk Kapolri. Untuk mengantisipasi kemungkinan tawar-menawar politik antara calon Kapolri dengan politisi di Senayan, akan sangat baik jika Presiden cukup menyodorkan satu nama calon Kapolri kepada Komisi III DPR. Pasalnya, dalam kasus seleksi Panglima TNI, sudah ada pengalaman Presiden menyampaikan satu nama dan disetujui oleh DPR.

Harus disadari akan ada kemungkinan satu calon kKapolri yang diserahkan Presiden kepada DPR diterima meskipun kemungkinan untuk ditolak juga tetap ada. Penyerahan nama tunggal calon Kapolri juga akan meredakan ketegangan internal di tubuh Polri. Sebagai konsekuensi dari lebih dari satu nama calon Kapolri,akan muncul kompetisi yang dapat mengarah pada perpecahan. Jika arena kompetisi dibiarkan sangat terbuka bagi masing-masing calon Kapolri,masing-masing calon pasti membutuhkan tim sukses,pelobby, dan donatur dari pihak lain.

Caracara ini akan mengancam integritas calon Kapolri dan membuka peluang bagi masuknya politik balas budi yang membuat Polri sebagai institusi akan sulit melepaskan diri dari kepentingan berbagai pihak yang turut menyukseskan salah satu calon Kapolri sebagai pemenang.(*)

Adnan Topan Husodo, Wakil Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW)
Tulisan ini disalin dari Seputar Indonesia, Opini, 27 Juli 2010

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan