Menolak Remisi untuk Koruptor

Pemerintah masih setengah hati dalam upaya pemberantasan korupsi. Buktinya, beberapa terpidana kasus korupsi mendapat remisi dalam rangka HUT ke-65 Republik Indonesia.

Beberapa koruptor yang mendapat remisi adalah Aulia Tantowi Pohan (korupsi aliran dana BI), mantan Bupati Kendal Hendy Boedoro (terpidana korupsi APDB Kendal), dan Artalyta Suryani (terpidana suap terhadap jaksa).

Pemerintah terkesan tidak konsisten dalam pemberian remisi. Dapat kita amati dari pernyataan Menteri Hukum dan HAM. Menurut Patrialis Akbar, untuk tahun ini napi kasus korupsi tak memperoleh remisi (Kompas, 12/8). Namun, kemudian mengendur dengan memberikan remisi kepada terpidana korupsi dengan alasan semua orang yang memenuhi kategori kualifikasi haknya harus diberikan negara (Kompas.com, 17/8).

Sebenarnya, salahkah memberi remisi untuk koruptor? Jika melihat dasar hukumnya Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2006 tentang tata cara pelaksanaan hak bina pemasyarakatan tidak salah. Dalam peraturan tersebut terdapat pasal yang menerangkan syarat khusus pemberian remisi tindak pidana terorisme, narkotika, korupsi, kejahatan terhadap negara, kejahatan HAM, dan kejahatan transnasional terorganisasi lainnya, berkelakuan baik dan telah menjalani sepertiga pidana.

Sangat disayangkan, dalam pemberian remisi Menteri Hukum dan HAM tidak melihat dampak yang akan ditimbulkan. Dampak yang akan ditimbulkan adalah aspek jera dan pro-kontra di masyarakat. Korupsi akan terus merajalela jika tidak diberikan hukuman yang menyebabkan aspek jera. Sementara pro- kontra akan terus bergulir ketika pemerintah tidak segera merevisi PP No 28/2006 yang mengatur tentang pemberian remisi untuk terpidana kasus korupsi.

Sikap tegas agar tercipta rasa jera perlu diberikan pemerintah kepada koruptor, hal ini karena kasus korupsi terus meningkat. Lihat saja rilis Indonesia Corruption Watch (ICW) semester I-2010, tercatat sebanyak 176 kasus. Terdiri dari 144 yang sudah ditetapkan sebagai tersangka dengan kerugian negara Rp 2,1 triliun. Angka ini jauh meningkat dari indeks pada tahun sebelumnya, 2009, yaitu 86 kasus, 217 tersangka dengan kerugian negara hanya Rp 1,17 triliun. Kerugian negara semester I-2010 meningkat hampir 100 persen dari tahun 2009.

Salah satu cara memberikan efek jera adalah dengan tidak memberikan remisi kepada koruptor. Sebenarnya pemberian remisi kepada koruptor sempat mendapat perhatian serius dari ICW tahun 2009. Hal ini terkait remisi yang diberikan kepada 46 koruptor yang masih menjalani masa hukuman di Lembaga Permasyarakatan Kelas I Cipinang. ICW menolak pemberian remisi kepada tahanan korupsi dan mengimbau pemerintah untuk merevisi peraturan pemberian remisi PP No 28/2006. Tahun ini permasalahan ternyata masih sama.

Efek jera
Argumentasi tuntutan penolakan pemberian remisi kepada koruptor bukanlah diskriminatif atau bahkan melanggar HAM. Sebab, tuntutan penolakan pemberian remisi untuk koruptor mempunyai beberapa alasan kuat. Pertama, tindakan korupsi melanggar HAM. Korupsi yang dilakukan Wali Kota Magelang Fahriyanto untuk pengadaan buku ajar menghalangi hak untuk mengenyam pendidikan mudah dan murah.

Kedua, pemberian remisi adalah sikap yang tidak mendukung gerakan antikorupsi dan merupakan pengkhianatan terhadap cita-cita reformasi. Akan menjadi omong kosong jika pada periode kedua kekuasaan Presiden SBY, ia masih memberikan remisi kepada terpidana korupsi.

Sejauh ini, semua pihak termasuk pemerintah mengakui bahwa korupsi adalah kejahatan yang telah laten di Indonesia. Bahkan, Prof Saldi Isra mengatakan, sudah tidak terbantahkan, korupsi benar-benar menjadi ancaman laten terhadap keberlangsungan negeri ini. Namun, apa yang telah dilakukan Presiden?

Kita bisa lihat betapa ragu Presiden menyikapi masalah penggembosan KPK yang menyeret Bibit-Chandra dalam ranah hukum. Sampai sekarang masalah ini sampai berlarut-larut dan menjadi misteri, siapa yang salah dan siapa yang benar. Bahkan, untuk menyelesaikan masalah rekening tidak wajar para perwira Polri pun, Presiden belum mampu diharapkan.

Presiden belum mampu memimpin pemberantasan korupsi dengan baik. Alih-alih meningkatkan pemberantasan korupsi, Kapolri dan Jaksa Agung malah menciptakan kontroversi. Misteri di mana call data records antara terdakwa Ary Muladi dan Deputi Penindakan KPK Ade Raharja belum terjawab. Jika berlarut-larut, polemik ini akan semakin meresahkan masyarakat.

Akhirnya masyarakat hanya bisa berharap kepada Presiden jangan sampai lupa dengan janji akan pemberantasan korupsi. Sebab, yang saat ini terjadi adalah semangat dan upaya pemberantasan korupsi terus melemah. Oleh karena itu, pemberian remisi serta merevisi PP No 28/2006 juga akan menjadi tolok ukur, apakah Presiden SBY masih memiliki komitmen dan sikap tegas terhadap pemberantasan korupsi atau tidak.

Apung Widadi Apprentice Program di Indonesia Corruption Watch
Tulisan ini disalin dari Kompas, 21 Agustus 2010

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan