Menjinakkan Korupsi

Korupsi seperti binatang liar yang memangsa orang jujur dalam suatu sistem korup. Pelakunya tidak hanya pegawai kecil yang terimpit kebutuhan, tetapi juga mereka yang serakah. Korupsi tak peduli jika bangsa masih tersandera kemiskinan. Ia menggerogoti kemampuan negara melindungi dan menyejahterakan rakyat.

Kasus tenaga kerja Indonesia yang selama puluhan tahun tanpa jaminan perlindungan terstruktur merupakan buah sistem pemerintahan yang korup. Rakyat kecil korban terparah.

Dana untuk pemberantasan buta aksara dikorupsi. Isi truk bantuan untuk korban bencana sebagian isinya diturunkan di tengah jalan. Negeri yang pernah dilanda tsunami hebat ternyata belum memiliki standar operasional untuk mengantisipasi dan menanggulangi bencana.

Dana untuk bencana alam dibiarkan tersebar di berbagai instansi sehingga tumpang tindih dan tidak efektif.

Ambiguitas politik
Pemerintah yang lemah komitmen pemberantasan korupsinya membiarkan penumpukan berkas dan perkara. Selalu ada alasan untuk kelambatan agar yang berkepentingan tergoda mempercepat proses dengan uang pelicin.

Korupsi memihak yang bayar, bukan yang benar, bukan yang sesuai dengan prosedur. Ia merusak tatanan hukum dan persaingan sehat. Ia mengusik rasa keadilan dan perikemanusiaan. Pejabat korup sedang membangun karakter bangsa pemuja uang.

Pemberantasan korupsi di Indonesia seperti jinak-jinak merpati. Indeks pemberantasan korupsi dalam dua tahun terakhir jalan di tempat untuk tidak mengatakannya mundur. Bertahun-tahun sejak kehadiran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), indeks hanya di kisaran angka 2 dari angka tertinggi 10, tertinggal dibandingkan China.

Meski dibahasakan sebagai kejahatan luar biasa, hukuman koruptor biasa saja. Mereka diperlakukan terhormat, tak mengenakan baju tahanan, memperoleh banyak kemudahan di penjara.

Perang melawan korupsi sebagian besar hanya politik pencitraan penguasa daripada realitas politik Indonesia Baru. Betapa janggalnya institusi penegakan hukum memasang iklan di surat kabar untuk meyakinkan publik bahwa reformasi birokrasi terjadi di lingkungannya.

Penguasa dan elite politik ambigu untuk memerangi korupsi habis-habisan. Pasalnya, korupsi mendukung penguasa. Pembangunan tetap jalan. Investasi asing tetap masuk. Dengan alasan gaji rendah, korupsi ikut menggerakkan mesin birokrasi. Padahal, korupsi merayakan anarki aturan.

Setelah lembaga KPK bergerak liar, timbul kekhawatiran elite politik yang secara institusional ikut membidani proses kelahirannya. Mereka tak lagi leluasa memanfaatkan sumber keuangan dan cara yang koruptif. Satu per satu elite politik maupun kerabatnya terjerat tindak pidana korupsi.

Bangkitlah solidaritas sempit yang sejak dulu membuat Indonesia sulit beranjak menjadi bangsa besar. Daripada membendung syahwat untuk harta dan kuasa, mulailah upaya pelemahan KPK secara sistematis. Komisioner KPK yang dipilih pun sebisanya bukan figur yang keras memerangi korupsi.

Korupsi (dan) agama
Marcel Mauss (Pemberian: Bentuk dan Fungsi Pertukaran di Masyarakat Kuno, 1992) menarik keterkaitan pranata tradisional pemberian sebagai sebab korupsi di masa modern. Korupsi tidak lain sebentuk pertukaran. Namun, Syed Hussein Alatas justru melihat aspek positif tradisionalisme untuk menjinakkan korupsi (Sosiologi Korupsi: Sebuah Penjelajahan dengan Data Kontemporer, 1981).

Faktor terpenting korupsi adalah moralitas dan intelektualitas pemimpin masyarakat. Di negara berkembang, ikatan tradisional masih kuat. Maka, perlu dengan sengaja memunculkan keteladanan tokoh karismatis dari yang masih hidup maupun wafat.

Mereka memang tidak memengaruhi perubahan dari atas, tetapi jelas vitamin rohani yang memperkuat daya tahan tubuh bangsa dari serangan penyakit moral dan korupsi.

Juga perlu dengan sengaja mendudukkan orang-orang yang tidak mengejar harta dan kuasa di posisi-posisi birokrasi yang vital. Sayang sekali, penguasa di negeri berkembang biasanya tak menyukai sosok idealis, apalagi yang berani mengecam tatanan yang korup.

Di tengah gairah beragama kita yang tinggi, tidak boleh dibiarkan agama dan korupsi menempuh jalan sendiri-sendiri. Siraman rohani hanya mengarahkan umat kepada relasi dengan Tuhan, tidak mengutuk korupsi seberat dosa seksual. Kewajiban kepada Tuhan lebih ditekankan daripada kepada negeri.

Seorang nabi pernah bersabda, berilah kepada pemerintah apa yang menjadi miliknya dan kepada Tuhan apa yang menjadi milik-Nya. Jangan sampai donasi untuk kegiatan agama berasal dari donatur kaya yang mengakali pembayaran pajak. Juga ”cukupkanlah dirimu dengan gajimu”.

Godaan untuk korupsi adalah gaya hidup yang tak sesuai gaji. Seorang wakil lurah di Jakarta baru-baru ini diketahui memiliki hobi bermain golf, yang sewa lapangannya saja menguras gaji sebulan.

Tidak sedikit pejabat di negara berkembang memiliki kebiasaan main golf untuk memperluas relasi dengan kalangan atas. Jika pejabat memenangi taruhan dalam permainan, itu bukan tanpa pamrih. Praktik seperti itu lolos dari jerat gratifikasi.

Demoralisasi di kalangan abdi negeri terjadi ketika mereka juga mau menjadi abdi harta. Kuasa bukan jalan untuk melayani rakyat, tetapi untuk memperkaya diri. Orang tak dapat menjadi abdi Tuhan sekaligus abdi harta sebab manusia tak dapat menjadi abdi yang sama baiknya untuk dua majikan sekaligus. Pejabat korup sebenarnya kehilangan legitimasi moral sebagai abdi bangsa.

Korupsi selalu ada, tetapi ruang geraknya harus dipersempit. Kalaupun terjadi, sifatnya haruslah perorangan, bukan institusional, tidak berjejaring rapi di dalam dan di antara institusi penegak hukum. Menjinakkan atau dijinakkan korupsi?

Yonky Karman Pengajar di Sekolah Tinggi Teologi Jakarta

Tulisan ini disalin dari Kompas, 4 Desember 2010

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan