Menjelang Akhir Kasus Cek Pelawat

Ibarat bedol desa, Komisi Pemberantasan Korupsi telah menetapkan sekaligus 26 anggota Komisi IX DPR RI periode 1999-2004 sebagai tersangka baru dalam kasus dugaan suap pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Miranda Goeltom. Dengan empat tersangka sebelumnya, total anggota Dewan yang menjadi pesakitan karena diduga terlibat suap menjadi 30 orang. Meskipun kasus cek pelawat ini telah menempatkan jumlah tersangka paling banyak dibandingkan dengan kasus dugaan korupsi lainnya yang juga melibatkan anggota Dewan, belum semua anggota DPR yang diduga menerima cek pelawat telah dijadikan tersangka oleh KPK.

Perhitungannya, terdapat 41 anggota DPR dari beragam fraksi kala itu yang diduga menerima aliran cek pelawat untuk memenangkan Miranda Goeltom sebagai Deputi Gubernur Senior BI. Meskipun satu sama lain memiliki perbedaan peran, akibat hukum karena telah menerima sesuatu dalam kaitan dengan pelaksanaan tugas sebagai pejabat negara tidak bisa dihindarkan begitu saja. Dengan demikian, kita masih menunggu kapan KPK akan menyeret nama-nama lain yang tersisa.

Demistifikasi
Menariknya, dari 26 tersangka kasus cek pelawat yang ditetapkan, ada di antara mereka yang merupakan politikus senior yang cukup disegani, baik dalam konteks kelembagaan parlemen maupun partai politik. Sebut sebagai contoh Panda Nababan dan Paskah Suzetta. Kedua politikus ini bukan hanya menjadi orang kepercayaan di partainya masing-masing. Sekaligus karena posisinya pula, dalam kalkulasi politik, keterjangkauan penegak hukum terhadap mereka menjadi lebih sulit dibanding politikus anak bawang sebagai misal. Dengan begitu, bisa dimaknai bahwa KPK masih bisa diandalkan untuk meredam berbagai macam praktek abuse of power yang dilakukan oleh politikus dan cukup steril dari intervensi politik dalam mengambil keputusan hukum untuk melanjutkan kasus cek pelawat.

Selain itu, bisa dikatakan bahwa KPK telah berhasil melakukan demistifikasi kekuasaan politik yang melekat pada para politikus. Asumsi bahwa kekuasaan politik tidak atau sulit dimintai akuntabilitas hukum karena praktek penyimpangan kekuasaan setidaknya gugur dalam konteks penanganan kasus cek pelawat ini. Pasalnya, selama ini sudah kadung diyakini publik bahwa menyeret mereka yang menduduki posisi strategis dalam lingkungan politik merupakan satu hal yang mustahil dilakukan penegak hukum.

Banyaknya anggota Dewan yang ditetapkan sebagai tersangka dalam satu kasus dugaan korupsi mengindikasikan bahwa transaksi politik yang terjadi sudah sistemik terbentuk. Artinya, keterlibatan anggota DPR dari beragam fraksi dan partai politik menjelaskan sebuah fenomena korupsi berjemaah, sekaligus menandaskan praktek political buying yang sangat merisaukan. Korupsi politik yang lahir karena demikian kuatnya wewenang parlemen semakin mengukuhkan situasi state capture of corruption di Indonesia.

Strategi jitu
Kritik yang paling keras atas proses hukum kasus cek pelawat adalah bahwa, dalam kasus suap-menyuap, kedua belah pihak haruslah mendapatkan perlakuan hukum yang sama. Artinya, baik yang disuap maupun yang menyuap harus sama-sama diproses secara hukum. Sedangkan dalam kasus cek pelawat yang hingga kini masih berproses, KPK baru menangani atau menetapkan tersangka pihak-pihak yang menerima suap (cek pelawat), sedangkan pihak yang memberi suap belum dijadikan tersangka. Karena itu pula, tim hukum PDIP dan Golkar menganggap ada sesuatu yang ganjil dalam proses hukum kasus cek pelawat.

Sebenarnya kesimpulan untuk mengatakan bahwa KPK telah melakukan kesalahan dalam penanganan kasus cek pelawat belum bisa disampaikan, karena proses hukum masih berjalan. Justru sebaliknya, dilihat dalam konteks strategi mengungkap kasus suap-menyuap, menyeret penerima suap terlebih dulu dengan mendahulukan beberapa orang dijadikan tersangka adalah pendekatan yang menarik.

Pasalnya, kecenderungan dari sebuah kasus suap-menyuap adalah, baik yang disuap maupun yang menyuap secara alamiah akan sama-sama tutup mulut jika pemeriksaan terhadap mereka dilakukan secara bersamaan. Faktanya, strategi ini berbuah positif karena para tersangka terdahulu, seperti Dudi Makmun Murod dari PDIP, justru “bernyanyi” dan membeberkan siapa rekan-rekan lainnya yang juga menerima cek pelawat. Bahkan, yang tidak dibayangkan sebelumnya, muncul nama Panda Nababan yang diduga menerima jumlah cek pelawat lebih besar. Karena itu, penetapan 26 tersangka baru merupakan langkah lanjutan dari sebuah proses hukum yang cukup panjang perjalanannya dan belum dianggap selesai.

Mr X
Kini, pekerjaan rumah KPK adalah mengungkap siapa pemberi suap. Nama-nama yang diduga mengarah pada pelaku sudah mulai diperiksa. Miranda Goeltom sebagai pejabat publik terpilih telah dipanggil KPK. Demikian pula Nunun Nurbaetie, yang pemeriksaan lanjutannya belum bisa dilakukan karena alasan kesehatan. Pertanyaannya, siapa sebenarnya yang memberikan cek pelawat itu kepada anggota DPR? Meskipun Miranda Goeltom telah menyangkal keterlibatan dirinya dalam kasus ini, sulit dibantah bahwa pertemuan-pertemuan menjelang pemilihan dengan beberapa perwakilan fraksi di berbagai restoran dan kafe tak ada kaitannya dengan aliran cek pelawat. Bisa diduga bahwa Miranda sangat mafhum akan situasi yang terjadi, sekaligus menjadi pihak yang terlibat aktif dalam melakukan lobi politik untuk memenangi kontestasi jabatan Deputi Gubernur Senior BI. Jika pun alasan pertemuan politik hanya untuk menjelaskan visi dan misi sebagai calon, tidak lazim jika pembahasan hal yang sangat formal itu dilakukan di restoran, hotel, dan kafe. Padahal, untuk melakukan itu, aturan yuridis sudah memberi mekanisme melalui fit and proper test yang terbuka di forum DPR.

Di lain pihak, keterlibatan Nunun sendiri masih simpang-siur karena belum ada petunjuk lanjutan yang bisa memberi konfirmasi apakah keterlibatan Nunun dalam kasus cek pelawat hanya sebatas perantara atau menjadi donatur bagi Miranda Goeltom. Jika dia adalah aktor sebenarnya, lantas apa kepentingan dia dengan jabatan Deputi Gubernur Senior BI? Karena itu, KPK memang harus lebih jauh mengungkap siapa-siapa saja yang menjadi dalang sebenarnya.

Sangat mungkin, di belakang Nunun masih ada Mr X yang justru menjadi penyumbang sekaligus aktor yang dominan. Tetapi, semua memang berpulang pada Nunun sendiri, apakah dia akan menjelaskan situasi yang sebenarnya kepada penyidik KPK atau justru memilih menjadi tameng hidup. Barangkali bungkamnya Nunun juga sangat dipengaruhi oleh faktor keamanan dia dan keluarganya. Jika ada sebuah mekanisme yang bisa menjamin adanya pengakuan yang jujur dari Nunun sekaligus memberikan proteksi atas kemungkinan ancaman kepada dia dan keluarganya, akan sangat mungkin skenario kasus cek pelawat akan terbongkar hingga tuntas. Untuk itulah, KPK ditantang untuk membuktikan diri bahwa kekuatan apa pun yang potensial dapat mengaburkan pencarian fakta hukum yang sebenarnya bisa diatasi sehingga proses hukum kasus cek pelawat akan berakhir dengan mulus.
 
Adnan Topan Husodo, WAKIL KOORDINATOR INDONESIA CORRUPTION WATCH
Tulisan ini disalin dari Koran Tempo, 30 September 2010

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan