Meniti Hamparan Karpet Putih - Kolom Begog D.Winarso [02/08/04]

Di area komunitas perokok Bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng, kemarin pagi secara kebetulan saya bersua sobat lama, seorang praktisi hukum, asal Sragen Meski sudah lama bermukim di Jakarta dan bergabung dengan sebuah lembaga bantuan hukum ternama, dia senantiasa mengikuti perkembangan daerah asalnya. Sragen sekarang lagi heboh, ya? DPRD-nya diperkarakan ke kejaksaan soal dana purnabaktinya, ya?, katanya menanyakan, sembari menyedot rokoknya.

Dari berita-berita di media massa yang disimaknya dan informasi para aktivis LSM (lembaga swadaya masyarakat) di Sragen, dia menyimpulkan bahwa kejaksaan Sragen sangat merespons laporan dugaan penyimpangan hukum soal dana purnabakti anggota DPRD setempat. Menurut dia, sikap itu merupakan fenomena positif yang wajib didukung oleh semua elemen masyarakat Kabupaten Sragen demi upaya penegakkan supremasi hukum. Kasus itu kelak terbukti atau tidak sebagai tindak pelanggaran hukum adalah urusan pengadilan.

Yang pasti, dugaan DPRD Sragen melakukan pelanggaran hukum dengan main sikut, saling injak, atau merasa diri paling benar dan paling berkuasa dalam pengucuran dana purnabaktinya sebanyak Rp 1,25 miliar itu, menjadi tugas kejaksaan untuk menyingkapnya. Kita tunggu saja ending dari kasus ini, kata dia. Sebagai orang yang paham hukum, maka sobat ini runtut bicara soal hukum.

Yang pasti pula, menurut Suharto, Kabag Hukum Pemkab Sragen, pengucuran dana purnabakti untuk anggota dewan tanpa pijakan hukum. Acuannya cuma usulan anggota dewan dalam sebuiah rapat panitia anggaran tahun 2003. Usulan ini kemudian dituangkan ke draf APBD 2003 dan akhirnya bisa ditetapkan dalam APBD 2003.

Para wakil ralyat Sragen itu, bisa jadi, merasa dirinya telah berjasa sehingga layak memperoleh pesangon, yang disebutnya dana purnabakti, per anggota Rp 25 juta. Prinsip kerja mereka ternyata uang, bukan perjuangan untuk rakyatnya sebagaimana komitmennya saat dikukuhkan sebagai wakil rakyat. Praduga ini tambah kental dengan kucuran dana-dana khusus -- di luar gaji yang dilabeli sebagai dana tunjuangan ini itu - ke koceknya setiap bulan. Fakta ini menunjukkan jiwa dan sukma mereka telah terjajah oleh hawa nafsu duniawi. Bukan kobaran api perjuangan untuk menyejahterakan rakyat dan daerahnya yang selalu ditiupkan di mimbar politiknya.

Seperti layaknya orang makan dan makan, tanpa pernah merasa kenyang. Mereka pun membuang etika dan mentertawakan kegundahan hati rakyat -- lantaran posisi tawarnya luar biasa dan memegang tampuk kekuasaan daerah. Betapa tidak, Mereka merancang sendiri program berikut anggaran danya sekaligus mengesahkannya. Begitulah kehebatan otak memanfaatkan peluang, walu rakyat Sragen sepakat: Itu liciknya anggota DPRD era sekarang. Atau, dengan kata lain kecerdikan dan kepintarannya justru dipakai untuk ngakali APBD.

Kini bola di tangan Kejaksaan Sragen. Sebagai hamba penegak hukum jaksa yang ditugasi menangani kasus dana purnabakti itu, tentu berpedoman pada aturan main hukum. Tak ada kata kompromi dan tanpa pandang bulu. Ia bukan pula sosok yang suka menyalahkan, apalagi mencari-cari kesalahan orang lain. Itu artinya yang salah atai melanggar hukum akan diberkaskan apa adanya -- tanpa pulasan apapun. Mata dan telinga rakyat Kabupaten Sragen terfokis kepadanya.

Dalam jagat pewayangan, warna putih begitu diagungkan karena menyimbolkan spiritualitas tinggi. Putih itu mengandung energi positif yang membuat orang menjadi berkesadaran tinggi, dan memiliki kebenaran sejati.

Hati yang putih bersih dapat menyatu dengan nur Ilahi, kata sobat saya lainnya, budayawan Emga Ainun Nadjib, suatu saat. Jika tiap individu memiliki kesadaran tinggi, begara ditanggung aman dan tentram,

Kita hanya bisa berharap, Kejaksaan Sragen bisa meniti langkah di hamparan karpet putih dalam menagani kasus dana purnabakti anggota dewan ini, Dengan begitu, batin rakyat Kabupaten Sragen bisa sejuk dan merasa tentram. Mereka pun akan semakin hormat pada korp kejaksaan yang tampil tanpa noda. Menabukan praktik-praktik dagang sapi dan sebangsanya serta tidak berpihak pada siapapun. Ini bisa tercapai bila aparatnya punya komitmen tinggi.

Tulisan ini diambil dari kolom yang dimuat di Radar Solo, 2 Agustus 2004

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan