Mengusung Penyidik Independen KPK

WACANA bergantung pada kepolisian menguat. Rencana penarikan empat penyidik KPK oleh Polri seperti membuka luka lama. Sejak awal KPK terbentuk, telah berkali-kali penyidik, perwira, ataupun auditor di KPK diancam akan ditarik. Tidak jarang penarikan itu dikaitkan dengan kasus strategis dan mafia besar yang sedang ditangani KPK.

Persoalan ini tentu saja tidak bisa dibiarkan berlarut-larut. Lambat laun, bukan tidak mungkin, persoalan sumber daya manusia inilah yang menjadi titik kehancuran KPK. Padahal, kita tahu persis bahwa kehancuran KPK saat ini sama artinya dengan kemenangan para koruptor.

Dengan kata lain, KPK sesungguhnya sedang menghadapi masalah besar. Apalagi, di tengah gelombang corruptors fight back yang tak pernah tidur, dan selalu ingin KPK mati. Karena itulah, pimpinan KPK dan semua pihak yang percaya korupsi adalah musuh dan harus diperangi, sepatutnya memperhatikan persoalan penyidik independen ini. Memastikan penyidik di KPK tidak punya kesetiaan ganda dan tidak mudah diintervensi dari luar adalah satu soal paling krusial. Di titik inilah, sikap Mabes Polri yang hanya menunda penarikan empat penyidiknya (Jawa Pos, 15/5), tidak akan terlalu berpengaruh positif bagi KPK. Sebab, hal itu tidak lebih dari sekadar menunda masalah yang lebih besar. Padahal, isu penyidik dan sumber daya manusia KPK ini adalah bom waktu yang setiap saat bisa meledak dan menghancurkan KPK.

Jantung KPK
Apakah peraturan perundang-undangan yang ada memungkinkan bagi KPK merekrut penyidik sendiri? Banyak pihak yakin, KPK berwenang. Tetapi, beberapa kalangan cenderung mengatakan meragukannya, termasuk pimpinan KPK saat ini. Perbedaan pandangan ini seharusnya dilihat dan diukur berdasar kepentingan yang jauh lebih besar, yaitu kepentingan pemberantasan korupsi dan perlindungan hak asasi manusia yang dirugikan akibat praktik korupsi yang merajalela di Indonesia.

Penyidik independen bagi KPK adalah pilihan yang paling masuk akal. Karena itu, pihak yang menentang atau tidak setuju dengan usul ini patutlah dicurigai sebagai kalangan yang anti pemberantasan korupsi dan anti penguatan KPK. Atau, bahkan musuh dari upaya perlindungan hak asasi manusia jutaan orang yang dirugikan oleh korupsi.

Indonesia Corruption Watch mencatat, setidaknya ada tiga dasar hukum yang sangat kuat untuk merealisasikan ide penyidik independen KPK. Pertama, putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 012-016-019/PUU-IV/2006. MK saat itu bahkan menyebut KPK sebagai lembaga yang keberadaannya penting secara konstitusional (constitutionality important). Posisi ini membuat para pengambil kebijakan berkewajiban memperkuat landasan hukum agar KPK bisa bekerja maksimal.

Perlu diingat, KPK dibentuk saat korupsi terjadi seperti benang kusut, dan pemberantasannya gagal di tangan lembaga penegak hukum lain. Bagaimana tidak, hampir setiap lapisan dan institusi negara terjangkit korupsi. Dengan latar belakang itulah, dibutuhkan sebuah lembaga yang berada di luar benang kusut tersebut. Karena itu, KPK didesain sebagai institusi independen. Dengan kata lain, upaya memperkuat dan menyempurnakan independensi KPK sangat sesuai dengan makna putusan Mahkamah Konstitusi di atas.

Dasar hukum kedua adalah UU KPK, yaitu UU Nomor 30 Tahun 2002. Pasal 3 merupakan jantung dari undang-undang ini, karena mengatur posisi KPK yang independen dalam melakukan tugas dan wewenangnya. Prinsip ini kemudian diturunkan dalam sejumlah pasal di undang-undang tersebut. Salah satunya tugas KPK yang sangat diharapkan publik tentu saja adalah investigasi kasus korupsi. Di sinilah sangat dibutuhkan kekuatan penyidik yang benar-benar hanya tunduk dan loyal pada pemberantasan korupsi dan tidak bisa dipengaruhi oleh institusi mana pun.

Namun, kenyataannya, penyidik di KPK diisi dari kepolisian. Hal tersebut membawa konsekuensi bahwa penanganan kasus di KPK rentan dipengaruhi atau bahkan diintervensi melalui jalur penyidiknya. Apalagi, saat KPK menangani kasus korupsi yang berkaitan dengan pimpinan institusi kepolisian itu sendiri. Sebut saja, saat ini KPK menangani kasus suap pemilihan Deputi Gubernur Senior BI yang diduga melibatkan salah satu istri mantan wakil Kapolri dan kasus Anggodo Widjoyo yang disebut-sebut bernuansa mafia hukum.

Masih di undang-undang KPK, ketentuan tentang penyidik independen sebenarnya dimungkinkan saat UU No 30 Tahun 2002 ini menegaskan, pasal 7 ayat (2) KUHAP tidak berlaku. Atau, UU KPK bersifat lex specialis terhadap KUHAP. Padahal, pasal KUHAP tersebut mengatur bahwa semua penyidik PPNS harus di bawah koordinasi dan pengawasan kepolisian. Lebih dari itu, bahkan pasal 21 ayat (4) membantah secara jelas, fungsional penyidik tidaklah monopoli polisi. Apalagi, tidak satu ayat pun di undang-undang KPK, KUHAP, ataupun undang-undang kepolisian yang melarang KPK punya penyidik sendiri. Selain itu, pasal 45 ayat (1) juga mengatur, PENYIDIK adalah penyidik pada KPK yang diangkat dan diberhentikan oleh KPK. Klausul ini tentu sangat kuat sebagai dasar hukum untuk mematahkan ketergantungan KPK selama ini pada lembaga lain.

Ketiga, selain putusan MK dan UU Nomor 30 Tahun 2002, sebenarnya kita mempunyai PP Nomor 63 Tahun 2005 yang bisa menguatkan ide penyidik independen tersebut. Dalam PP ini disebutkan istilah "pegawai tetap", yang diangkat dan diberhentikan oleh pimpinan KPK. Bandingkan dengan rumusan "penyidik" di UU Nomor 30 Tahun 2002. Ada kemiripan, terutama menyangkut pengangkatan dan pemberhentian yang ada di tangan pimpinan KPK. Dengan kata lain, sangat masuk akal jika dikatakan, KPK berwenang merekrut dan memiliki penyidik sendiri.

Dari tiga dasar hukum di atas, semakin jelas sebenarnya bahwa tidak dibutuhkan revisi aturan atau pembentukan undang-undang baru agar KPK bisa punya penyidik independen. Karena itu, sudah sepatutnya KPK tidak berwacana panjang lagi soal ini, dan segera menyiapkan langkah-langkah yang lebih konkret. Kita seharusnya sadar betul, selama KPK masih impor penyidik, selama itu pulalah KPK membiarkan dirinya tersandera dan berada dalam posisi terancam.

Apalagi, dalam koridor perang terhadap mafia hukum. Penyidik independen adalah salah satu jalan keluar yang paling mungkin dilakukan. Karena kita tahu persis, sulit percaya kepolisian dan kejaksaan bisa membersihkan diri sendiri. Perlu lembaga lain yang kuat dan didukung secara politik untuk mmbersihkan dan menjerat mafioso hukum tersebut. Tapi, mungkinkah itu dilakukan jika jantung KPK masih dikuasai lembaga lain? Sudah saatnya semua pihak mengusung realisasi wacana penyidik independen KPK ini. (*)

Febri Diansyah, peneliti ICW, Koordinator Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan
Tulisan ini disalin dari Jawa Pos, 18 Mei 2010

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan