Menguji Konstitusionalitas APBN: Mungkinkah?

Tidak dapat disangkal lagi bahwa salah satu buah reformasi adalah kini orang atau sekelompok orang dapat menggugat (judicial review) konstitusionalitas suatu undang-undang ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Sesuatu yang dulu sebelum reformasi tak terbayangkan. Kini budaya hukum yang sangat bagus ini berkembang dengan baik: jika seseorang atau sekelompok orang merasa hak-hak konstitusionalnya dirugikan oleh undangundang, dengan serta-merta mereka menggugatnya ke MK.

Banyak sekali undangundang yang dibuat DPR bersama presiden mengalami nasib dibatalkan sebagian atau bahkan secara keseluruhan (in toto)karena dipandang MK bertentangan dengan konstitusi, Undang-Undang Dasar 1945. Fakta ini tentu sangat menggembirakan, terutama dalam konteks pembangunan budaya hukum dalam sebuah negara hukum yang menjun-jung supremasi hukum.

Tradisi menggugat undang-undang dalam sorotan konstitusi memegang peranan penting untuk menjaga konstitusionalitas kebijakan- kebijakan publik atau peraturan perundang-undangan sesuai paham konstitusionalisme yang kita anut.

Sayang sekali gugatangugatan yang dilakukan warga negara atau sekelompok orang selama ini lebih banyak berkaitan dengan undang-undang di bidang politik, seperti persoalan- persoalan yang terkait partai politik,pemilihan umum, pemilihan presiden,dan pimpinan lembaga-lembaga negara.

Memang ada juga yang menyangkut materi- materi undang undang yang lain seperti hukum perkawinan poligami, komisi kebenaran, dan anggaran pendidikan yang sekurang-kurangnya 20% dari APBN dan APBD sebagaimana yang ditentukan dalam UUD 1945.Tetapi belum pernah terjadi ada warganegara yang menggugat UU tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) ke MK.

APBN dalam Konstitusi
Sebagaimana kita ketahui UUD 1945 Pasal 23 Ayat (1) menegaskan bahwa: “Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesarbesarnya kemakmuran rakyat.”

APBN disusun dan dibentuk dalam undang-undang, yaitu, dalam hal ini, UU No 10 Tahun 2010 tentang APBN Tahun Anggaran 2011.Walhasil, sebagai undang-undang, APBN sebenarnya dapat digugat ke MK: apakah cukup konstitusional ataukah justru bertentangan dengan konstitusi.

Penulis bukanlah ahli APBN, dan memang belum pernah menjadi anggota Badan Anggaran DPR RI. Tetapi secara garis besar marilah coba kita lihat postur APBN beberapa tahun terakhir ini. Lihat saja, berapa persen APBN yang benar-benar langsung untuk rakyat (apalagi yang miskin)?

Faktanya sejak APBN kita berjumlah Rp219 triliun (tahun 1999) sampai Rp1,200 triliun (tahun 2011) pada sejatinya strukturnya tidak banyak berubah: sekitar 60% habis untuk anggaran rutin biaya/gaji pegawai/ pejabat,belanja barang, dan ongkos-ongkos kegiatan birokrasi lainnya; 15%-19% untuk mencicil hutang; dan 20% untuk pembangunan (ini pun mungkin harus dibaca bahwa yang dibangun ternyata sebagian besar gedung-gedung untuk birokrasi dan lembagalembaga negara).

Tak heran jika sejak 1998 sampai hari ini, misalnya, tidak ada pembangunan infrastruktur irigasi pertanian baru yang nyatanyata sangat diperlukan rakyat banyak itu. Angka tersebut akan terasa lebih tragis dan memelas lagi ketika sampai pada tingkat APBD: untuk biaya rutin saja ada yang mencapai 80% lebih.

Bahkan ada beberapa provinsi, kabupaten, dan kota yang anggaran rutinnya mencapai 95%.Walhasil, justru lebih banyak anggaran untuk mengurus pimpinan pemerintahan dan birokrasi daripada rakyat.

Tak heran jika Forum Independen untuk Transparansi Anggaran (Fitra) menyimpulkan bahwa APBN kita lebih besar untuk ”ongkos tukang” daripada pekerjaannya itu sendiri. Dus,berapa porsi untuk rakyat yang sebagian besar masih hidup di bawah kemiskinan itu?

Melihat postur dan struktur APBN/APBD yang seperti itu, pertanyaannya adalah apakah APBN/APBD tersebut benarbenar untuk mengurus rakyat dan memprioritaskan rakyat sejalan dengan diktum ”...untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”?

Ternyata dengan melihat postur APBN secara sekilas saja akan segera tampak bahwa tidak dulu dan tidak sekarang alihalih para elite dan birokrat yang jumlahnya minoritas (kurang dari 4% penduduk) itulah yang lebih banyak diurus dan selalu mendapatkan prioritas, bukannya rakyat yang jumlahnya mayoritas.

Pantas saja jika lonjakan APBN tahun ini yang hampir enam kali lipat dibandingkan APBN satu dasawarsa sebelumnya itu tidak berjalan paralel dengan peningkatan kesejahteraan rakyat secara signifikan. Benar angka kemiskinan memang telah berhasil diturunkan menjadi 13,3%, tetapi angka ini sungguh problematis.

Pertama, ukuran kemiskinan yang digunakan adalah mereka yang berpenghasilan di bawah USD1/hari, atau bahkan Rp7.000,- (jika mengutip angka BPS); dan juga, kedua, dengan persentase ini, angka kemiskinan secara numerikal adalah sangat besar (13,3% dari 237 juta jiwa).Apatah lagi jika ukuran yang digunakan adalah USD2/hari! Mungkin setengah penduduk Indonesia adalah miskin!

Mungkin untuk Digugat
Membaca struktur APBN setelah era reformasi sekarang ini,tidak pelak lagi orang akan mengatakan bahwa ini adalah APBN beamstenstaat, yaitu, APBN-nya “negara pangreh praja” alias pegawai. Pasalnya, alih-alih prorakyat atau propoor, malah sebaliknya proelite dan probirokrasi.

Sebab mereka yang tersebut terakhir inilah yang paling banyak menyedot APBN.Tak heran jika sahabat saya Dr Arief Budimanta Sebayang, Anggota DPR RI, secara ekstrem menyebutnya sebagai APBN model kolonial yang memang didedikasikan untuk birokrasi dan elite, bukan untuk rakyat. Walhasil,APBN yang tidak ”...untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat” berarti tidak sejalan dengan UUD 1945 Pasal 23 Ayat (1).

Dan karena itu secara yuridis pada sejatinya UU tentang APBN sangat mungkin digugat ke MK karena tidak sejalan atau bahkan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Persoalannya, selama ini kebanyakan orang atau aktivis lebih tertarik pada undangundang yang menyangkut isuisu politik,HAM,dan—jangan ketawa—poligami saja. Isu APBN yang sangat strategis ini luput dari perhatian kita.Ayo, siapa mau mulai?
HAJRIYANTO Y THOHARI Wakil Ketua MPR RI
Tulisan ini disalin dari Koran Sindo, 13 Juli 2011
 

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan