Mengorupsi Olahraga

Sepertinya petuah mens sana in corpore sano tidak cukup berlaku hanya bagi olahragawan. Pemaknaan ”dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang sehat” tersebut harus berlaku pula bagi mereka yang mengelola segala bentuk kegiatan yang terkait dengan dunia olahraga.

Tanpa pemaknaan yang benar dan lurus atas ”jiwa yang sehat” itu, sebagian pengelola potensial meraih keuntungan dengan cara yang tidak benar dalam gemerlap dunia olahraga. Karenanya, makin besar penyelenggaraan acara olahraga, peluang melakukan penyimpangan makin besar pula.

Bisa jadi, kegagalan memaknai ”jiwa yang sehat” itu pula yang mengundang sejumlah penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi ”bertamu” ke ruang Sekretaris Menteri Pemuda dan Olahraga Wafid Muharam, Kamis (21/4) lalu. Hadir sebagai tamu yang tidak diundang, para penyidik menangkap Wafid karena diduga terlibat kasus suap pembangunan infrastruktur untuk penyelenggaraan SEA Games XXVI/ 2011 di Palembang.

Tidak tanggung-tanggung, penyidik KPK menemukan cek senilai Rp 3,2 miliar. Selain itu juga ditemukan uang tunai 128.148 dollar AS, 13.070 dollar Australia, 1.955 euro, dan Rp 73,171 juta (Kompas, 26/4). Bak ”terinjak arang hitam telapak kaki dan terinjak tepung putih telapak kaki”, penyidik menemukan seorang pengusaha dan seseorang yang diduga sebagai perantara di kantor Wafid.

Bagaimana menjelaskan kasus suap yang dilakukan Wafid di tengah bentangan kasus korupsi yang mendera negeri ini?

Aji mumpung
Kasus suap yang dilakukan Sekretaris Menteri Pemuda dan Olahraga ini menghidupkan kembali memori publik atas tindak pidana korupsi yang terjadi pada saat penyelenggaraan Pekan Olahraga Nasional (PON) XVI di Palembang. Ketika itu, sejumlah pejabat di Sumatera Selatan melakukan penggelembungan biaya (mark-up) pengadaan alat transportasi. Dalam peristiwa tersebut, Pengadilan Negeri Palembang telah menjatuhkan vonis empat tahun penjara bagi Amir Syarifuddin, mantan Kepala Dinas Perhubungan Sumsel, dan tiga tahun penjara bagi Choirul Insani Ilham, ketua proyek transportasi PON XVI.

Sekalipun pelaku penyelewengan dalam penyelenggaraan PON XVI telah divonis, hukuman tersebut sepertinya tidak memberikan pesan yang kuat untuk penyelenggaraan acara nasional serupa yang dilaksanakan tiga tahun berikutnya di Kalimantan Timur. Hanya berjarak sekitar satu tahun, Kejaksaan Negeri Balikpapan pernah menyatakan telah menetapkan sejumlah nama sebagai tersangka korupsi penyelenggaraan salah satu cabang olahraga pada PON XVII.

Bila ditelisik lebih jauh, tindakan penyalahgunaan wewenang yang terjadi dalam penyelenggaraan acara olahraga lebih banyak disebabkan oleh perilaku aji mumpung. Bagi sebagian pihak yang ikut menyelenggarakan, acara olahraga potensial menjadi lahan subur korupsi. Selain kucuran dana yang besar, acara olahraga berskala nasional (apalagi internasional) akan mendatangkan sumber dana dari pihak ketiga. Bahkan, telah menjadi rahasia umum, acara olahraga acap kali digunakan ”menginjak kaki” perusahaan-perusahaan di daerah.

Dengan sumber dana yang berasal dari berbagai pintu tersebut, bukan tidak mungkin pengelolaan dana acara olahraga berskala besar seperti bergerak dalam lorong gelap. Karena itu, bagi sebagian penyelenggara, acara olahraga menjadi momen pesta pora di antara cucuran peluh atlet yang bertarung mengharumkan nama daerah dan/atau bangsa yang sekaligus juga bergembira memaknai sportivitas olahraga.

Praktik aji mumpung yang mungkin cukup menggelikan, adanya desain membangun sarana yang dibutuhkan dalam waktu yang serba mendesak. Dengan pola seperti itu, mereka yang diberi otoritas untuk menyelenggarakan kegiatan olahraga (terutama dalam skala besar) melakukannya tanpa proses tender yang semestinya. Biasanya, kesempatan demikian membuka celah untuk meraih keuntungan yang lebih besar. Karenanya, tidak perlu heran bila proyek-proyek yang dikerjakan dalam masa ”darurat” itu berujung pada praktik suap.

Membuka diri

Sejauh ini, publik masih menunggu perkembangan keterkaitan cek seharga Rp 3,2 miliar dan sejumlah uang tunai yang ditemukan penyidik KPK dengan pembangunan infrastruktur guna penyelenggaraan SEA Games XXVI/2011. Selain itu, hampir dapat dipastikan, publik menanti pula kejelasan hadirnya seorang pengusaha di mana perusahaannya dinyatakan sebagai salah satu yang lolos pra-kualifikasi tender rencana pembangunan gedung baru DPR. Lalu, yang tak kalah serunya: adakah alirannya sampai ke partai politik tertentu?

Untuk mengungkap itu semua, seluruh pihak harus mampu menahan diri untuk tidak memberikan penilaian miring terhadap kerja KPK. Bagaimanapun, dalam upaya mengungkap tindak pidana korupsi, tuduhan bahwa KPK telah melakukan penjebakan amat tidak relevan. Apalagi, merujuk fakta yang ada selama ini, semua pelaku suap yang tertangkap tangan gagal mementahkan bukti-bukti yang dikemukakan KPK.

Dalam konteks itu, sikap Menteri Pemuda dan Olahraga Andi A Mallarangeng yang menyatakan terbuka dan bersedia bekerja sama dengan KPK guna menuntaskan kasus ini menjadi langkah tepat. Sekiranya menteri menutup diri, hampir dapat dipastikan akan timbul kecurigaan besar di tingkat publik.

Kecurigaan publik pasti makin besar karena pengusaha yang ditangkap KPK perusahaannya juga lolos pra-kualifikasi tender pembangunan gedung baru DPR. Bukan tidak mungkin, kejadian yang menimpa Wafid dapat dijadikan argumentasi tambahan untuk menelusuri lebih jauh kenekatan sejumlah pimpinan DPR melanjutkan pembangunan gedung DPR.

Berkaca dari pengalaman sebelumnya, upaya membuka diri terhadap tindakan KPK pernah dilakukan Komisi Yudisial. Ketika Irawady Joenoes ditangkap KPK karena menerima uang rekanan dalam pengadaan tanah pembangunan gedung KY, Ketua KY menyatakan siap membantu KPK. Dengan langkah itu, sebagai sebuah institusi, KY dapat sedikit diselamatkan. Selain itu, membuka diri membantu proses hukum sekaligus memberi contoh bahwa langkah menyelamatkan institusi lebih penting dibandingkan dengan menyelamatkan individu.

Kini yang ditunggu publik, seberapa serius Menteri Pemuda dan Olahraga membantu KPK mengungkap jejaring kasus suap yang menimpa Wafid. Sebagai representasi pemerintah dalam mengelola olahraga nasional, keseriusan Menteri Pemuda dan Olahraga tidak hanya karena alasan penegakan hukum tetapi juga untuk mencegah agar tidak ada lagi yang melakukan korupsi dalam mengelola olahraga.

Bila kasus ini tidak tuntas sampai ke akar-akarnya, bersiaplah menerima kehadiran pengelola yang memakai jubah olahraga untuk melakukan korupsi. Karenanya, kita harus siap pula untuk mengubah moto ”memasyarakatkan olahraga dan mengolahragakan masyarakat” jadi ”mengolahragakan korupsi dan mengorupsi olahraga”.

Saldi Isra Guru Besar Hukum Tata Negara, Ketua Program S-3 Ilmu Hukum, dan Direktur Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang
Tulisan ini disalin dari Kompas, 28 April 2011

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan