Mengkonkretkan Keterbukaan Presiden

Setelah masyarakat frustrasi oleh perkembangan kasus Gayus, akhirnya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyikapinya dengan mengeluarkan 12 instruksi. Salah satu instruksi yang sesungguhnya bisa mengurangi tensi frustrasi masyarakat adalah instruksi kesebelas, yang meminta jajaran penegak hukum menjelaskan atau mengumumkan kepada masyarakat luas tentang kemajuan penanganan kasus Gayus secara berkala serta insidental agar masyarakat dapat mengikuti apa yang telah, sedang, dan akan dilakukan. Instruksi ini jelas menunjukkan bahwa selama ini aparat memang terkesan "tertutup" dalam menyampaikan perkembangan kasus Gayus. Jangankan kasus Gayus, kasus pencurian yang dialami seorang warga yang dilaporkan kepada aparat jarang sekali ditindaklanjuti secara serius dengan alasan klasik: minimnya anggaran.

Pasal 9 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik memang mewajibkan badan publik mengumumkan secara berkala tentang kegiatan dan kinerjanya kepada publik. Persoalan muncul ketika aparat penegak hukum berlindung di balik proses penyelidikan dan penyidikan sebagai dasar untuk tidak menyampaikan perkembangan kasus Gayus secara terus terang, tegas, dan informatif lantaran UU KIP memang mengecualikan informasi yang dapat menghambat proses penegakan hukum serta informasi yang mengungkap identitas informan, pelapor, saksi, dan/atau korban yang mengetahui adanya tindak pidana.

Benarkah alasan tersebut bisa dijadikan dasar untuk tidak menyampaikan secara berkala perkembangan kasus Gayus? Setidaknya ada beberapa pertimbangan. Pertama, yang dimaksudkan Presiden tentunya menyangkut progress report (laporan kemajuan) atas pengusutan kasus Gayus yang sekurang-kurangnya mengandung informasi tentang kinerja aparat penegak hukum, rentang waktu yang dibutuhkan untuk penuntasan kasus, jumlah temuan (bukti), daftar pihak yang terlibat, alasan mengapa aparat melakukan tindakan tertentu (memanggil dan tidak memanggil pihak yang terkait langsung dengan kasus Gayus), serta yang tak kalah pentingnya adalah menyampaikan kepada publik sudah berapa biaya yang dikeluarkan negara untuk pengusutan kasus Gayus. Hal-hal tersebut di atas sama sekali tidak akan menghambat proses penegakan hukum. Sebaliknya, justru akan mendongkrak rasa berani masyarakat untuk secara aktif melaporkan bukti-bukti pendukung lainnya.

Kedua, informasi yang disampaikan aparat cenderung menyembunyikan fakta, misalnya Gayus sudah keluar rumah tahanan 68 kali, termasuk ke luar negeri, tapi yang disampaikan kepada publik justru pemalsuan paspor atau ada oknum Imigrasi yang bermain. Mengapa petugas yang mengizinkan Gayus keluar-masuk rumah tahanan tidak menjadi fokus informasi. Pergeseran informasi seperti ini menyebabkan masyarakat memandang aparat tidak proporsional. Ini menjadi pemicu (trigger) untuk mempertinggi ketidakpercayaan masyarakat terhadap kinerja aparat. Maka sama sekali tidak beralasan jika jawaban standar aparat seperti "tunggu saja ya, sedang diselidiki" terus-menerus disodorkan kepada publik.

Ketiga, magnitude kepentingan publik dari kasus Gayus ini sedemikian besarnya, hingga sulit menyangkal jika ada warga negara Indonesia yang tidak tahu keberadaan kasus ini. Artinya, muatan public interest-lah yang seharusnya dikedepankan untuk terus-menerus disampaikan kepada publik seterang-terangnya mengenai perkembangan kasus mafia pajak Gayus.

Pekerjaan besar yang harus segera dilaksanakan adalah memberdayakan instruksi keterbukaan Presiden menjadi kenyataan, agar semua jenjang jajaran aparat penegak hukum di negeri ini sadar bahwa amanah yang mereka emban adalah mahaberat. Sedemikian beratnya maka dibutuhkan bantuan dan dukungan publik.

Upaya pemberdayaan dapat dilakukan dengan beberapa pendekatan. Pertama, harus ada perbaikan besar-besaran terhadap kemampuan aparat penegak hukum dalam mengkomunikasikan pesan-pesan yang terkait langsung dengan kasus Gayus dengan bahasa yang populer dan tuntas, bukan bertele-tele dan miskin data. Kedua, jangan biarkan ada aparat yang tak paham akan fungsinya sebagai penegak hukum. Artinya, sanksi keras harus diberlakukan jika terbukti terlibat menutupi fakta dan membantu suburnya mafia pajak. Hukuman mutasi saja tidaklah cukup. Pemberhentian dengan tidak hormat lebih fair. Ketiga, meningkatkan otoritas sumber informasi tepercaya kepada level pimpinan tertinggi di lembaga penegak hukum. Pengalaman yang sering terjadi, yang disampaikan juru bicara tidak linear dengan sikap resmi lembaga penegak hukum dan bahkan cenderung malah mengaburkan substansi pesan sebenarnya.

Imbauan demi imbauan sudah sangat sering dikumandangkan oleh Presiden SBY. Kini saatnya mengubah imbauan menjadi titah sakti bagi penegakan hukum di negeri yang sedang dijadikan arena pesta para mafioso pajak ini. *

*) TULISAN INI PENDAPAT PRIBADI.
 
Usman Abdhali Watik, ANGGOTA KOMISI INFORMASI PUSAT (2009-2013) SUBKOMISI INFORMASI KEUANGAN DAN ANGGARAN
Tulisan ini disalin dari Koran Tempo, 20 Januari 2011

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan