Mengindustrialisasikan Hukum

BELAKANGAN, bangsa ini dihadapkan pada pertaruhan eksistensi hukum seiring dengan mulai terkuaknya sejumlah penyelewengan, penyimpangan, bahkan kejahatan hukum yang dilakukan para elite bangsanya. Terutama pada aspek korupsi, kejahatan itu hampir menyentuh semua segmen, baik birokrasi, politikus, penegak hukum, maupun pelaku bisnis, bahkan masyarakat umum. Maka tidak berlebihan jika dikatakan bahwa komitmen penegakan hukum benar-benar menjadi pertaruhan perjalanan bangsa dan negara.

Banyaknya penanganan kasus korupsi yang tampil telanjang di layar kaca, sungguh membahagiakan. Setidaknya bahwa napas pemberantasan korupsi dan ikhtiar penegakan hukum masih berhembus kencang untuk membawa kehidupan pada kondisi penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas korupsi. Tetapi, pementasan penegakan hukum juga menampilkan ”sesuatu yang lain” yang secara akademis dapat dipandang sebagai gejala baru industrialisasi hukum di Indonesia.

Mesin Industri
Industrialisasi hukum adalah kecenderungan menempatkan hukum sebagai mesin-mesin industri yang dapat menentukan segala sesuatu dengan pasti. Sebagai mesin industri, hukum dapat membuat keputusan absolut tentang nasib seseorang, legitimasi, pembenar, dan penentu kemenangan apa saja. Juga sebagai mesin industri, hukum akan memberikan kehidupan dan keuntungan ekonomis yang sangat besar bagi orang-orang yang terkait di dalamnya. Maka wajah dan format hukum tak ubahnya ladang industri yang menjadi sumber ekonomi. Karena itu, efeknya hukum mengabsolutkan tentang menang-kalah, bukan benar-salah atau adil-lalim.

Suatu ketika, setelah pensiun dari hakim di Amerika Serikat, Harold Rothwax menulis buku yang secara khusus mengkaji langsung pergeseran hukum berdasarkan pengamatan dan pengalamannya menjalankan fungsi-fungsi justisia sebagai hakim di pengadilan negeri. Dalam bukunya, Guilty-The Collapse of the Criminal Justice System, dia mengatakan bahwa ”di Amerika, orang sudah tidak lagi mencari keadilan tetapi kemenangan dengan segala macam cara”. Jadi, pengadilan tidak lagi menjadi tempat pembuktian kebenaran semata dan tidak pula menjadi benteng pelindung keadilan, tetapi lebih merupakan medan pertarungan kemenangan dan kekalahan.

Apa yang ditegaskan oleh Rothwax, tampak jelas dalam penanganan kasus OJ Simpson yang disebut-sebut sebagai pengadilan abad ini. Para pengacara Simpson yang andal dan mahal bukannya berupaya membuktikan sang klien tidak bersalah, tetapi justru fokus pada kecerobohan tindakan polisi. Dengan itu, pengacara ini dapat memengaruhi penilaian para hakim sehingga sang klien terhindar dari jerat hukum. Tentu masih banyak kasus lain sehingga Rothwax menyebut gejala ini sebagai ajang pencarian kemenangan, bukan pencarian keadilan.

Lepas Konteks
Di Indonesia, hal-hal serupa juga mulai menjadi tren. Penanganan perkara mantan Presiden Soeharto misalnya, di mana pengacara-pengacara andal yang melakukan pembelaan menggeser isu-isu korupsinya pada persoalan yang sama sekali tidak menyentuh substansi pengadilan dengan menampilkan sisi-sisi sakit, lupa, atau halangan lain sehingga mengaburkan makna dan fungsi penanganan perkara di pengadilan. Hingga akhirnya, sampai mantan presiden itu meninggal, pengadilan tidak mampu memberikan putusan hukum terhadap status perkara Bapak Pembangunan tersebut.

Dalam kasus lain, Nunun Nurbaeti mampu mengeksploitasi catatan dokter bahwa dia menderita gangguan ingatan sehingga bisa kabur ke luar negeri sebelum disidangkan di pengadilan. Begitu juga halnya dengan mantan Bendahara Partai Demokrat M Nazaruddin yang selalu berkutat pada tuntutan pemindahan ruang tahanan, penciptaan opini perlindungan terhadap keluarga dan lain-lain. Pengalihan isu-isu ini, meskipun dalam hukum acara dibenarkan, sesungguhnya merupakan upaya mengaburkan substansi perkara untuk sekadar membebaskan seorang dari jerat hukum.

Dalam konteks seperti ini, menyadur dari peneliti hukum Marc Galanter ada tiga permainan yang berjalan beriringan. Pertama; kepentingan untuk membebaskan klien dengan memenangkan perkara. Memenangkan klien ini merupakan puncak upaya advokasi hukum  sebagai tujuan pembelaannya. Di sini, hukum dikebiri pada perangkat-perangkat aturan dan prosedur sehingga terlepas dari konteks kebenaran dan keadilan sebagai cita-cita hukum. Ironisnya, tindakan seperti ini, oleh mereka disebutnya dalam rangka menegakkan hukum.
Kedua; negosiasi perkara dengan melibatkan hakim, jaksa, dan pengacara untuk tujuan keputusan hukum yang bersifat tendensius dan mengarah pada tujuan tertentu. Negosiasi ini bersifat ekonomis sehingga semua pihak merasakan dampak ekonomis dari setiap keputusan hukum yang dijatuhkan.

Ketiga; secara khusus nilai ekonomis yang bisa dipetik oleh seorang advokat atau pengacara dalam tiap kasus yang ditangani. Galanter menyebut pola ini sebagai mega lawyering, sebuah profesi kepengacaraan menjadi sebuah perusahaan hukum yang sangat besar. Jadi, mega lawyering ini telah mengubah segala yang berkaitan dengan pembelaan hukum tak ubahnya seperti mesin-mesin industri korporasi yang begitu luas dalam skala yang amat besar sehingga bisa menarik pundi-pundi ekonomi dalam jumlah yang tak terbatas dengan mengompensasi kebenaran dan keadilan menjadi pentas penetapan kemenangan.

Kondisi seperti ini tentu sangat membahayakan eksistensi hukum, terutama bagi mereka yang berkepentingan terhadap institusi pengadilan, sebagai institusi pencarian kebenaran dan keadilan. Sebab, mengutip kritikus hukum William T Pizzi, kecenderungan industrialisasi hukum telah menghancurkan nilai-nilai fundamental hukum, diterjang oleh nafsu pertarungan komersial sebagaimana panggung pertarungan para gladiator untuk mencari pemenang dengan a win at all cost mentality. Karena itu, lanjutnya, para jaksa, advokat dan hakim pun lebih memilih institut plea-bargaining, daripada diadili secara penuh yang memakan banyak ongkos dan melelahkan.

Kembali ke Moral
Menarik apa yang menjadi perhatian toretisi hukum Ronal Dworkin. Dia mengatakan bahwa membaca konstitusi adalah melakukan pembacaan terhadap nilai-nilai moral yang terkandung di dalamnya (moral reading of the constitution). Dengan demikian, konstitusi bukan semata-mata soal aturan dan prosedur sebagaimana banyak dilakukan oleh stakeholder hukum selama ini melainkan juga memahami dan menegakkan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya sehingga wujud hukum benar-benar merupakan cerminan nilai fundamental yang hidup di tengah masyarakat.

Konstruksi hukum sudah saatnya dikembalikan kepada bentuknya yang ideal dengan menempatkan keadilan dan kebenaran sebagai basis penegakan hukum. Keadilan dan kebenaran merupakan nilai-nilai universal yang otentik dan permanen sepanjang sejarah manusia. Watak alamiah kehidupan ini dibangun di atas prinsip-prinsip yang secara moral  diikuti oleh manusia. Karena itu, pengingkaran terhadap nilai-nilai tersebut merupakan bentuk penghancuran terhadap kehidupan manusia itu sendiri.
Jika industrialisasi hukum menempatkan hukum sebagai instrumen bisnis seperti halnya mega lawyering, maka moral reading of constitution menempatkan tujuan-tujuan kehidupan dan kemaslahatan bersama sebagai tujuan dari upaya penegakan hukum sehingga tercipta ketertiban, kesejahteraan, pemihakan terhadap kebenaran, dan keberpihakan terhadap keadilan hukum. Di sini kejujuran, kesetaraan, dan perlindungan kaum marginal mendapatkan tempat yang luas.
Karena itu, untuk menyelamatkan tatanan hukum ini, secara progresif harus ada penguatan terhadap nilai-nilai moral. Karena, sebagaimana diakui oleh E Ehrlich dalam Fundamental Principles of the Sociology of Law, nilai-nilai moral itu merupakan penggambaran orisinal dari hakikat kehidupan manusia dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Dengan demikian, ketertiban, keluhuran, dan keadilan akan tercapai. (10)

Dr Gunarto SH MHum, Wakil Rektor Universitas Islam Sultan Agung (Unissula) Semarang, dosen Magister Hukum
Tulisan ini disalin dari Suara Merdeka, 21 September 2011

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan