Mengendalikan Pungutan di Perguruan Tinggi Negeri

Biaya masuk perguruan tinggi negeri (PTN), terutama PTN favorit, yang telah diswastanisasi dalam bentuk perguruan tinggi badan hukum milik negara (PT BHMN) dikeluhkan oleh masyarakat karena terlalu mahal. Pungutan yang tinggi itu juga berlaku bagi mahasiswa baru yang dijaring melalui Seleksi Nasional Mahasiswa PTN (SNMPTN) atau seleksi bersama antar-PTN. Masyarakat kaget karena, berdasarkan pengalaman masa lalu, mahasiswa yang diterima melalui jalur seleksi bersama itu membayar murah dan hampir sama di seluruh PTN. Bila terdapat perbedaan, selisihnya hanya bilangan ratusan ribu, tidak mencapai bilangan juta. Tapi, sekarang, di satu PTN saja, seperti di Universitas Gadjah Mada, di antara sesama mahasiswa baru angkatan 2011 pun ada perbedaan, karena bayarnya amat bergantung pada penghasilan orang tua.

Wajar bila kebijakan baru tersebut menimbulkan reaksi publik karena mengubah tatanan kehidupan yang sudah lama dijalani oleh masyarakat, bahwa mahasiswa yang diterima melalui jalur seleksi bersama itu diperlakukan sama dan jauh lebih ringan dibanding mereka yang diterima melalui jalur seleksi mandiri. Masyarakat berasumsi, perbedaan besaran uang masuk itulah yang membedakan penerimaan melalui seleksi bersama dengan seleksi mandiri. Bila bayarnya sama-sama tidak menentu, mengapa harus dibedakan antara seleksi bersama dan mandiri?

Memperbesar akses
Pada saat pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2010 tentang Perubahan atas PP Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan, masyarakat senang karena PP tersebut mengoreksi berbagai kebijakan pendidikan tinggi, terutama di PTN dan PT BHMN, yang sudah meninggalkan komitmennya untuk mencerdaskan warga lantaran model seleksi penerimaan mahasiswa baru di PT BHMN mayoritas memakai sistem seleksi mandiri, dan besaran membayarnya selangit. Kuota mahasiswa yang diterima melalui seleksi bersama terlalu kecil dan variatif. Di UGM, misalnya, kuota mahasiswa baru melalui seleksi bersama hanya 10 persen, sedangkan Universitas Airlangga, Surabaya, mengalokasikan 54 persen. Ujian mandiri pun dilaksanakan jauh sebelum ujian nasional (UN).

Hal yang diapresiasi dari PP Nomor 66 Tahun 2010 ini adalah pemerintah mematok kuota mahasiswa baru melalui seleksi bersama minimum 60 persen dari total jumlah mahasiswa baru yang diterima. Pola penerimaan secara nasional tersebut tidak termasuk penerimaan mahasiswa melalui penelusuran minat dan bakat atau bentuk lain yang sejenis. Dengan demikian, jumlah mahasiswa baru yang diterima melalui ujian mandiri kurang dari 40 persen. Selain itu, seleksi mandiri hanya boleh dilaksanakan setelah SNMPTN, atau secara otomatis dilaksanakan setelah UN. Sebelumnya, seleksi mandiri sebelum UN sehingga mengacaukan konsentrasi murid-murid kelas III sekolah menengah atas: antara konsentrasi untuk UN dan ikut seleksi mandiri yang waktunya berdekatan serta corak soalnya amat berbeda. Akibatnya juga sering muncul kasus, pelajar kelas III SMA sudah dinyatakan diterima di suatu PT BHMN, tapi tidak lulus UN, dan akhirnya terpaksa ikut ujian paket C. Ini ironis sekali.

Di samping itu, PP Nomor 66 Tahun 2010 tersebut mengatur perihal kewajiban PTN dan PT BHMN mengalokasikan tempat bagi calon peserta didik yang memiliki potensi akademik memadai dan kurang mampu secara ekonomi paling sedikit 20 persen dari jumlah keseluruhan peserta didik baru. Mereka juga wajib memberikan beasiswa kepada minimum 20 persen dari jumlah mahasiswa. Semua aturan mengenai sistem seleksi penerimaan mahasiswa baru itu dimaksudkan untuk memperbesar akses golongan miskin lantaran jumlah golongan miskin di PTN dan PT BHMN terus menurun, tinggal 4 persen saja.

Ternyata harapan masyarakat yang semula berbunga dengan terbitnya PP Nomor 66 Tahun 2010 tersebut sirna ketika pada realitasnya mereka yang dinyatakan lolos seleksi bersama (SNMPTN) pun harus membayar uang banyak, bahkan untuk Fakultas Kedokteran di UGM mencapai Rp 100 juta.

Perlu standardisasi
Belajar dari tingginya keluhan masyarakat atas mahalnya biaya masuk PTN/PT BHMN, terutama yang diterima melalui seleksi bersama, maka jelas diperlukan adanya standardisasi biaya masuk PTN/PT BHMN, baik yang diterima melalui jalur seleksi mandiri maupun SNMPTN, terutama menyangkut batas atasnya sesuai dengan asas kepatutan. Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan Nasional Profesor Dr Djoko Santoso sebagai orang yang berpengalaman memimpin Institut Teknologi Bandung tentu mempunyai referensi yang cukup untuk membuat standardisasi uang masuk PTN/PT BHMN. Hal itu mengingat ITB merupakan salah satu PT BHMN papan atas, sehingga bisa diketahui berapa bila ingin membuat PTN sekelas ITB dan bila kelasnya di bawahnya ITB. Dari kalkulasi itu dapat dihitung pula berapa pemasukan dari pemerintah, swasta, dan mahasiswa. Dengan demikian, dapat diketahui berapa besaran maksimal yang perlu dibayarkan oleh calon mahasiswa melalui seleksi bersama dan berapa pembayaran maksimal bagi calon mahasiswa baru yang dijaring melalui seleksi mandiri. Jadi standardisasi itu lebih menyangkut soal batas maksimalnya, batas minimumnya tidak perlu.

Akal sehat saya menyatakan bahwa uang masuk bagi mahasiswa baru di PTN/PT BHMN itu yang rasional Rp 5-10 juta. Dasarnya adalah uang Rp 5 juta masih bisa diupayakan oleh mereka yang berpenghasilan per bulan Rp 4 juta yang hidup di kota besar atau berpenghasilan Rp 2 juta yang hidup di kota kecil, meskipun dengan cara meminjam. Adapun angka Rp 10 juta tidak terlalu kecil bagi mereka yang punya penghasilan per bulan Rp 7,5 juta dan hidup di kota besar atau Rp 5 juta dan hidup di kota kecil. Jika minimum Rp 10 juta, itu hanya dapat diakses oleh mereka yang memiliki penghasilan di atas Rp 3 juta dengan hidup di kota kecil atau di atas Rp 5 juta dan hidup di kota besar.

Perlu diingat bahwa biaya yang dikeluarkan oleh orang tua calon mahasiswa baru itu bukan hanya biaya masuk, tapi juga uang kos/kontrakan, wira-wiri sejak pendaftaran SNPMN, serta kebutuhan lain untuk menjadi mahasiswa baru. Sementara itu, uang orang tua sudah terkuras habis sejak anaknya di kelas III SMA untuk mengikuti bimbingan belajar lantaran sekolah tidak menjamin anaknya lulus UN dengan nilai baik. Orang tua juga harus menabung untuk membayar sumbangan pembinaan pendidikan semesteran. Standar maksimal yang sama berlaku pula untuk fakultas kedokteran.

Adapun standar maksimal uang masuk melalui jalur mandiri Rp 30 juta. Lebih dari itu tentu banyak yang mampu, tapi berdampak buruk pada etika kehidupan di masa mendatang. Yaitu, bila biaya kuliah terlalu mahal, setelah lulus, orientasinya mengembalikan modal kuliah. Maka rasa pengabdian kepada sesama nol. Dan bila bekerja sebagai pegawai negeri sipil, tidak mungkin tidak korupsi untuk mengembalikan modal kuliah tersebut.

Biaya kuliah di fakultas kedokteran perlu disamakan dengan fakultas lain dengan harapan: pertama, yang diterima di fakultas kedokteran adalah orang yang pintar, bukan orang yang mampu membayar, agar kualitas dokter kita tetap bermutu dan mengurangi risiko malpraktek. Kedua, agar setelah lulus menjadi dokter, orientasi mereka tidak untuk mengembalikan modal dengan mengeksploitasi pasien, tapi melayani masyarakat, sehingga problem etis selama ini, yakni pasien miskin ditolak berobat, bisa terhindarkan. Semakin mahal biaya kuliah di fakultas kedokteran, maka potensi pasien miskin ditolak berobat semakin tinggi.

Masyarakat awam pun tahu bahwa kuliah di kedokteran itu amat mahal sehingga tidak perlu diperdebatkan lagi. Karena itulah kita butuh kehadiran negara untuk membayar kemahalannya itu. Sebab, bila semua harus diatasi oleh masyarakat sendiri, untuk apa ada negara? Bagi saya, lebih baik mengalihkan dana subsidi bahan bakar minyak itu untuk membiayai fakultas kedokteran, farmasi, pertanian, perikanan, peternakan, dan kedokteran hewan agar masyarakat hidup sehat dan berswasembada pangan, sehingga mereka bisa membayar pajak.

Menjadikan fakultas kedokteran sebagai fakultas termurah itu sudah dilakukan oleh Iran. Di Iran, ada dua fakultas termurah, yaitu fakultas kedokteran dan sastra Persia. Fakultas kedokteran dibuat murah, karena lulusannya akan melayani masyarakat. Karena itu, agar dalam memberi pelayanan kepada masyarakat tidak komersial, biaya kuliahnya dibuat murah. Adapun fakultas sastra Persia dibuat murah agar masyarakat mau masuk ke sana untuk menjaga peradaban bangsa. Sebagai negara berasaskan Pancasila, Indonesia bisa melakukan itu. Negara lebih dari mampu membiayai pendidikan kedokteran, asalkan uang negara digunakan secara efektif dan efisien, tidak dikorup dan diboroskan.
 
Darmaningtyas, PENGURUS MAJELIS LUHUR TAMANSISWA, YOGYAKARTA
Tulisan ini disalin dari Koran Tempo, 20 Juli 2011

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan