Mengalkulasi Nasib Angket Century

BELUM genap seratus hari masa pemerintahan, Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) telah menghadapi hari-hari yang teramat panjang dan melelahkan. Drama politik yang terus bergulir dari proses kriminalisasi KPK sampai hak angket DPR terkait dengan kasus Bank Century akan membawa SBY menuju persimpangan jalan. Nasib pemerintahan SBY dapat berakhir seperti Hamlet dalam drama Shakespeare. Dia dapat terjungkal atau bertahan dalam kondisi limbung legitimasi akibat isu yang ditampilkan sendiri selama ini (antikorupsi). Kemungkinan lain, dia mampu mempertahankan kekuasaan dengan tingkat kepercayaan diri yang tidak berubah.

Pendeknya, hari-hari ke depan, kita melihat apakah hak angket Century berujung pada terbongkarnya selubung kepentingan ekonomi-politik elite dalam kasus tersebut dengan seluruh konsekuensi politik yang menyertainya (delegitimasi rezim SBY) atau seperti yang kerap terjadi, hak angket menjadi ruang bagi transaksi dan negosiasi politik yang mengabaikan tuntutan publik.

Berbagai contoh pelaksanaan hak angket di masa lalu, mulai angket lumpur Lapindo, kenaikan BBM, sampai impor beras, telah membuktikan kekhawatiran bahwa angket Bank Century akan berujung pada nasib yang sama.

Upaya mengalkulasi arah bergulirnya bola panas angket itu tidak dapat dilepaskan dari tindakan aktor-aktor yang terlibat dalam kasus tersebut dalam merespons dinamika yang terus bergerak. Posisi dan peran-peran yang diambil presiden, fraksi-fraksi dalam tubuh DPR, dan kekuatan masyarakat sipil yang menghimpun diri mengepung pintu kekuasaan sangat menentukan akhir cerita politik skandal Bank Century.

Kesempatan Politik
Membaca kesempatan politik yang hadir dalam sirkuit deras politik hak angket Bank Century, kita bisa membaca, SBY sepertinya berada di bawah angin. Arus politik dan tekanan terhadap SBY tak henti-henti bergulir, menekan posisi presiden. Koalisi enam partai besar pendukung SBY mulai retak. Hal tersebut membuktikan bahwa lebarnya koalisi tidak menjamin stabilitas dukungan politik terhadap pemerintahan.

Kedua, lemahnya inisiatif kepemimpinan SBY saat krisis ikut memperkuat hadirnya kesempatan politik bagi arus besar kekuatan yang menekan pemerintahannya. Pidato presiden pada 23 November lalu, meskipun terbaca mendukung arus publik terhadap upaya menjerat pimpinan KPK dengan hukum, tetap dipandang publik kurang meyakinkan. Ketika suara publik telah bergerak dari isu kriminalisasi KPK pada kasus Bank Century, SBY tidak menunjukkan ketegasan karakter presidensialismenya dalam merespons kesalahan bailout Bank Century, peristiwa yang terjadi pada akhir masa kepresidenannya yang pertama.

Namun demikian, dua momen yang membuka kesempatan politik tersebut bukan tanpa pengimbangan. Selain dapat dipandang sebagai komitmen Partai Demokrat (PD) terhadap bergulirnya hak tersebut, bergabungnya PD untuk menyetujui pelaksanaan hak angket dapat kita baca dalam skenario lain. Apabila bersikeras menolak hak angket, PD tidak akan dapat melakukan negosiasi politik dan memengaruhi arah hak angket tersebut. Penolakan PD terhadap hak angket bakal memudahkan kekuatan-kekuatan politik mendesak pemerintahan SBY ke sudut.

Dengan mendukung hak angket, PD dapat mengambil inisiatif politik untuk mengamankan hak angket agar tidak menggoyang kepentingan elite-elite politik yang saat ini berkuasa. Setidaknya, hal tersebut bakal mengamankan presiden.

Mobilisasi Politik
Hal lain yang turut memengaruhi arah angket Bank Century adalah pemaknaan publik terhadap kasus itu dan mobilisasi sumber daya. Sirkulasi opini publik yang kini berkembang dalam kasus tersebut telah bergulir dengan cepat.

Publik tidak lagi memaknai kasus itu semata-mata sebagai persoalan kriminalisasi terhadap KPK, melainkan melihat koneksitasnya dalam sebuah persoalan ekonomi-politik yang lebih besar, yaitu potensi pemanfaatan dana yang begitu besar untuk kepentingan politik dan kekuasaan.

Pemaknaan publik terhadap kasus itu dapat berkembang menjadi daya tekan politik yang besar ketika bertemu dengan inovasi dan kemampuan aktor-aktor strategis masyarakat sipil untuk memobilisasi sumber daya demi menekan jantung kekuasaan. Di situ, kita melihat arus mobilisasi dan dukungan yang cukup kuat dari hadirnya media baru (yaitu Facebook) untuk menunjukkan komitmen warga negara dalam menuntut dan membongkar kasus tersebut sampai ke akar-akarnya.

Dukungan 1 juta lebih Facebookers untuk membebaskan Bibit-Chandra dan mengusut tuntas kasus Bank Century menjadi referensi penting bagi elite politik untuk melegitimasi tekanan politik guna membuka selubung kepentingan tersebut.

Seruan-seruan tokoh masyarakat terhadap upaya pembukaan kasus itu juga dapat dimaknai sebagai bentuk mobilisasi dan dukungan publik terhadap penguatan hak angket. Namun demikian, semua itu belum memperlihatkan faktor mobilisasi sumber daya sebagai sesuatu yang serta-merta dapat mendorong tekanan signifikan terhadap hak angket. Tantangan untuk mendesakkan hak angket baru dapat berjalan secara efektif melalui mobilisasi sumber daya ketika publik mampu menggeser dukungan di dunia maya menuju tindakan. Begitu juga ketika komitmen aktif publik hadir di ruang-ruang politik utama, seperti parlemen dan Istana Negara, untuk mendesakkan masa depan politik yang lebih bersih dari praktik korupsi bagi masa depan Indonesia. (*)

Airlangga Pribadi, pengajar ilmu politik FISIP Universitas Airlangga, koodinator Serikat Dosen Progresif Universitas Airlangga

Tulisan ini disalin dari Jawa Pos, 2 Desember 2009 

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan