Mengadili Kebijakan

Dalam rapat Pansus DPR tentang Hak Angket Bank Century, sejumlah nama didengarkan keterangannya terkait kebijakan Komite Stabilitas Sistem Keuangan atau KSSK

mengucurkan dana sebesar Rp 6,7 triliun kepada Bank Century. Menjadi perdebatan dalam hukum, apakah suatu kebijakan dapat diadili? Dalam konteks hukum pidana, paling tidak ada tiga parameter secara kumulatif untuk menjustifikasi apakah suatu kebijakan telah memasuki ranah hukum pidana.

Pertama, jika suatu kebijakan dijadikan pintu masuk untuk melakukan suatu kejahatan. Hal ini tentunya harus dibuktikan dengan ajaran kausalitas dalam hukum pidana bahwa antara kebijakan dan kejahatan tersebut merupakan satu rangkaian terjadinya suatu tindak pidana.

Kedua, ada aji mumpung (moral hazard) dalam pengambilan kebijakan. Secara gamblang, WPJ Pompe dalam Hanboek Van Het Nederlandse Strafrecht menyatakan, dalam hukum pidana yang dipersoalkan tidak hanya kesalahan yuridis, tetapi juga aji mumpung dalam melakukan suatu perbuatan. Aji mumpung berkaitan erat dengan sikap batin seseorang dalam melakukan suatu perbuatan dan tentunya tidak mudah dibuktikan. Oleh karena itu, dengan menggunakan teori kesengajaan yang diobyektifkan, aji mumpung dapat terlihat berdasarkan kesesuaian fakta-fakta atas dasar bukti yang valid.

Ketiga, kebijakan itu melanggar peraturan. Pengertian peraturan di sini sangat luas. Tidak harus melanggar UU, tetapi cukup melanggar peraturan perundang-undangan lain termasuk peraturan yang dibuat pejabat publik atau lembaga negara. Begitu rentannya pengambilan suatu kebijakan terhadap tindak pidana korupsi, khususnya berkaitan dengan penyalahgunaan wewenang, sehingga dalam studi kejahatan, discretionary corruption (korupsi yang dilakukan karena ada kebebasan dalam menentukan kebijakan) adalah salah satu tipe korupsi.

Ada beberapa yurisprudensi Mahkamah Agung (MA) yang dapat dijadikan rujukan untuk mengadili suatu kebijakan. Pertama, Putusan MA 15 Desember 1983 Nomor 275K/Pid/1982 dalam kasus Natalegawa, Direktur Utama Bank Bumi Daya yang mengeluarkan kebijakan pemberian kredit di bidang real estat kepada PT Jawa Building, padahal ia tahu ada surat edaran Bank Indonesia (BI) yang melarang pemberian kredit tersebut.

Menurut surat edaran BI, pelanggaran terhadap surat edaran tersebut hanya dikenai sanksi administrasi, tetapi MA dalam putusannya secara tegas menyatakan bahwa terdakwa melanggar asas kepatutan dalam masyarakat sehingga dipidana karena melakukan korupsi.

Kedua, putusan MA dalam kasus Syahril Sabirin. Dalam rangka memuluskan klaim Bank Bali senilai Rp 904,6 miliar kepada BI, Gubernur BI Syahril Sabirin mengubah Surat Keputusan Bersama (SKB) 6 Maret 1998 menjadi SKB 11 Februari 1999. Ini dianggap perbuatan tercela yang menguntungkan Bank Bali.

Sudah melanggar
Dalam kaitan dengan kebijakan meluncurkan dana Rp 6,7 triliun kepada Century, KSSK secara kasatmata melanggar peraturan BI (PBI). Berdasarkan PBI No 10/26/PBI/2008, fasilitas pendanaan jangka pendek (FPJP) diberikan kepada bank yang punya rasio kecukupan modal (CAR) minimal 8 persen, padahal CAR Century saat itu 2,35 persen. Lalu, pada 14 November 2008 BI mengubah aturan itu, yang intinya persyaratan FPJP dari semula CAR 8 persen jadi CAR positif. Saat dikucurkan, CAR Century per 31 Oktober 2008 minus 3,53 persen. Dengan demikian, parameter ketiga untuk mengadili kebijakan telah terpenuhi.

Selanjutnya terhadap parameter pertama. Pada dasarnya kebijakan KSSK memberikan dana kepada Century dan penggunaan dana itu oleh Century adalah dua hal yang berbeda. Namun, jika dapat dibuktikan bahwa kebijakan pemberian FPJP kepada Century dimaksudkan untuk dibagi-bagikan kepada pihak-pihak tertentu, maka berdasarkan teori individualisasi dalam ajaran kausalitas Birckmayer dan Kohler (sebab adalah syarat yang paling kuat untuk timbulnya suatu akibat), antara kebijakan dan penyalahgunaan dana Century adalah suatu rangkaian tindak pidana. Artinya, kebijakan tersebut merupakan pintu masuk untuk melakukan suatu kejahatan.

Terakhir adalah parameter kedua, bahwa ada aji mumpung dalam pengambilan kebijakan. Salah satu pintu masuk untuk membuktikan ini adalah perubahan PBI terkait persyaratan CAR untuk FPJP. Sulit dinafikan, perubahan PBI tersebut adalah untuk memuluskan pemberian dana kepada Century.

Berdasarkan teori kesengajaan yang diobyektifkan, dugaan adanya aji mumpung dalam pengambilan kebijakan diperkuat fakta bahwa saat itu ada tiga bank yang dinyatakan gagal termasuk Century, tetapi hanya Century yang diberikan FPJP. Indikasi ada aji mumpung hanya bisa ditepis jika dapat dibuktikan bahwa pemberian FPJP kepada Century dan tidak kepada kedua bank lain adalah untuk menghindari kerugian yang lebih besar.

Selain itu, harus dapat dibuktikan, pengambilan kebijakan tersebut dalam keadaan darurat. Dengan demikian, sifat melawan hukum adalah suatu perbuatan pidana dapat dikesampingkan.

Eddy OS Hiariej Pengajar Hukum Pidana Fakultas Hukum UGM

Tulisan ini disalin dari Kompas, 2 Februari 2010

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan