Menemukan sang Ratu Adil

JIKA tidak ada perubahan, hari ini (14/6) adalah batas akhir pendaftaran calon ketua KPK. Jika tenggat terlewati, sementara pelamar yang sudah melengkapi berkas dianggap kurang kredibel, pupuslah harapan atas terbangunnya kewibawaan KPK. Sebaliknya, para koruptor akan berselebrasi karena memiliki harapan baru untuk bisa hidup lebih aman, nyaman, tanpa kekhawatiran.

Panitia seleksi memang tidak kekurangan pelamar. Tetapi, problem yang terkuak saat ini agaknya pada belum munculnya "Sang Ratu Adil" yang di-gadang-gadang (dinanti-nantikan) masyarakat antikorupsi, yang diyakini bisa memperkukuh kewibawaan lembaga KPK di masa yang akan datang. Tanpa mengurangi rasa hormat kepada para pelamar yang sudah melengkapi berkasnya, ternyata masih cukup banyak elemen bangsa - yang selama ini konsen pada pemberantasan korupsi- yang menilai sejumlah nama yang dianggap sangat cocok mengisi jabatan sebagai ketua KPK, padahal para "beliau" itu belum kunjung mendaftarkan diri.

Ini dapat dibaca dari munculnya berbagai dukungan dan dorongan kelompok masyarakat. Sebut saja Kaukus Antikorupsi DPD. Kaukus yang beranggota para senator ini mendorong dan mendukung secara resmi senator dari Bali I Wayan Sudhirta untuk maju menjadi calon. Sampai kemarin sudah 66 anggota DPD yang menandatangani dukungan pencalonan I Wayan sebagai calon ketua KPK. Demikian pula Forum Rektor Indonesia (FRI) yang mengusulkan lima nama yang dinilai paling cocok menjadi ketua KPK, yaitu Jimly Asshiddiqie, Saldi Isra, Hikmahanto Juwana, Busyro Muqodas, dan Mahfud M.D.

***

Seleksi administrasi oleh pansel memang belum dilakukan. Tetapi, fenomena munculnya dukungan atas sejumlah nama tersebut cukup dapat dibaca sebagai pertanda bahwa sosok ketua KPK yang akan datang bukanlah sekadar tokoh yang lolos dari proses uji nyali di pansel ataupun di Senayan. Dia haruslah tokoh yang dapat memenuhi harapan masyarakat akan terberantasnya semua jenis korupsi tanpa pandang bulu, jauh sebelum tokoh tersebut mengikuti proses seleksi administrasi di pansel.

Juga tokoh yang keberanian dan kewibawaannya melebihi Kapolri dan Kajagung. Dia adalah juga tokoh yang integritasnya tidak diragukan sepanjang sejarah kehidupannya di masa kini dan masa lalu. Tidak kalah penting, dia adalah tokoh yang bisa membedakan secara jernih antara pengacara dan makelar hukum, serta bersikap sangat tegas terhadap mafia hukum.

Bagi 166 nama yang kebetulan lebih dulu melengkapi berkas ke pansel, fenomena tersebut menjadi pelajaran yang sangat berharga. Mereka mendapat tantangan yang sangat jelas bahwa melamar menjadi ketua KPK berarti menyerahkan seluruh hidup dan pengabdiannya pada harapan kuat masyarakat yang menginginkan Indonesia terbebas dari korupsi. Bahkan, sebelum proses seleksi dimulai, mereka harus sudah mulai belajar membangun diri menjadi sosok yang diidamkan masyarakat, yaitu sosok "sang Ratu Adil." Inilah pekerjaan rumah pertama para pelamar, yakni merealisasikan mimpi menjadi "sang Ratu Adil."

Sejarah pemberantasan korupsi di negeri ini pernah tidak bisa membuktikan bahwa nama besar dan integritas pimpinan lembaga antikorupsi adalah jaminan bagi dilaksanakannya pemberantasan korupsi secara efektif. Ini terjadi di masa Orde Lama. Ketika itu tokoh sekaliber Jenderal A.H. Nasution, Prof M. Yamin, dan Roeslan Abdul Gani (yang ditugasi memimpin lembaga antikorupsi waktu itu) ternyata gagal menjalankan tugasnya.

Sebaliknya, di era reformasi, munculnya tokoh Taufiqurrahman Ruki yang sebelumnya tidak banyak dikenal justru dapat membuktikan bahwa KPK cukup bergigi. Bahkan, saat Antasari Azhar terpilih menjadi ketua KPK, yang sebelumnya tidak sedikit kalangan yang meragukan, toh di bawah kepemimpinan Antasari KPK semakin bernyali (terlepas dari kasus pembunuhan Nasruddin yang melibatkan nama Antasari).

Memang, tidak ada yang salah jika saat ini kita meributkan integritas, track record, dan nama besar tokoh yang akan memimpin KPK. Itu bisa merupakan sebuah pertanda bahwa bangsa ini sangat serius memberantas korupsi, selain dapat menjadi pelajaran bagi para kandidat yang mencalonkan diri untuk berkaca dan berintrospeksi.

Sama juga halnya bahwa tidak ada yang salah jika kita mewacanakan untuk memilih calon ketua KPK dari mantan koruptor yang sudah lama bertobat. Logika yang digunakan adalah menangkap maling dengan memanfaatkan bekas maling yang sudah lama insaf. Hanya, wacana demikian di Indonesia belum populer dan belum cukup jaminan untuk bisa dilaksanakan.

Sesungguhnya wacana seperti ini pernah juga dilontarkan Prof A. Syafii Ma'arif dengan bahasa yang berbeda. Menurut dia, kita perlu tokoh yang "rada gila" untuk memimpin KPK. Orang yang bersih dan berintegritas, tetapi tidak "rada gila" kayaknya tidak akan mampu memimpin KPK di era di mana fenomena Corruptors Fight Back diperkirakan tambah marak dan tambah canggih di masa mendatang. Bagi saya, orang seperti Mahfud M.D., ketua MK, adalah tokoh yang tidak saja bersih, tegas, dan berintegritas, tetapi juga "rada gila."

***

Jadi, -di tengah hiruk pikuk penggembosan KPK (baik secara politik maupun hukum)- bangsa ini harus menemukan satu orang tokoh superhebat untuk menjadi ketua KPK. Artinya, perlu diwaspadai jangan sampai perdebatan mengenai sosok yang cocok menjadi ketua KPK disusupi agenda terselubung. Jadi, kerja pansel ini adalah kerja besar. Bukan sekadar memilih, tetapi yang lebih penting "menemukan".

KPK kini dirundung masalah. Di tengah sibuk-sibuknya persiapan seleksi calon ketua KPK, KPK dihadapkan pada permasalahan kasus SKPP Bibit Samad Rianto dan Chandra Marta Hamzah, yang cukup mengancam efektivitas kerja lembaga KPK. Ini berarti siapa pun nanti yang terpilih dan diumumkan sebagai ketua KPK, pada 22 Juni atau 23 Juni 2010, pastilah dia tidak saja akan menjadi orang supersibuk, tetapi juga orang yang harus superhebat. (*)

*) Dr Ulul Albab, rektor Universitas Dr Soetomo Surabaya, penulis sejumlah buku masalah korupsi.
Tulisan ini disalin dari Jawa Pos, 14 Juni 2010

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan