Menebak Izin Presiden

ADA hal yang patut dipikirkan serius mengenai salah satu materi pembicaraan dalam silaturahmi Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) Jawa Tengah Salman Maryadi ke kantor Redaksi Suara Merdeka, Rabu pekan lalu, terkait dengan usaha pemberantasan korupsi, yakni izin Presiden.

Kajati mengakui diperlukannya izin Presiden dalam pemeriksaan kepala daerah yang tersangka korupsi menjadi faktor pengusutan korupsi tidak bisa cepat. Setelah 60 hari apabila izin Presiden tidak terbit, pemeriksaan dapat dilakukan. ‘’Tetapi undang-undang menyebut 60 hari itu sejak diterima Presiden. Lha kapan saya akan tahu itu diterima Presiden, coba,’’ ucap Kajati Jawa Tengah (SM, 22/0710).

Izin Presiden memang dipandang menjadi masalah dalam usaha memberantas korupsi di daerah. Saya pernah mengulas perihal izin Presiden di harian ini pada 20 Agustus 2009 berjudul ‘’Kerikil Pemberantasan Korupsi’’.

Izin Presiden menjadi masalah ketika dihadapkan pada dua poin, pertama; lambatnya proses lidik dan sidik akibat ketentuan administratif. Pasal 36 Ayat (1) UU Nomor 32 Tahun 2004 mengatakan, ‘’Tindakan penyelidikan dan penyidikan terhadap kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah dilaksanakan setelah ada persetujuan tertulis dari Presiden atas permintaan penyidik’’.

Penyidik, dari Kejaksaan misalnya, baru akan bekerja mengusut kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah ketika sudah menerima surat izin Presiden. Pada bagian ini, kerangka administratif surat permohonan izin membelit urusan pemeriksaan tindak pidana korupsi.

Boleh jadi, ketentuan Pasal 36 Ayat (1) bermaksud menjaga agar tidak ada kekosongan kekuasaan dalam pemerintah daerah. Sebab, kekosongan kekuasaan (vaccum of power) kemungkinan besar akan menciptakan gesekan politik (chaos) dalam pemerintah daerah yang kemudian menimbulkan efek negatif bagi tatanan politik, sosial, dan ekonomi di daerah.

Akan tetapi, ketika izin Presiden diakui menghambat penuntasan kasus korupsi di daerah, seperti pernyataan Kajati Jawa Tengah itu, maka alasan politik kekosongan kekuasaan menjadi tak lebih penting. Koridor hukum untuk menjamin stabilitas pemerintah daerah lebih urgen digelar. Mempercepat penuntasan pengusutan korupsi secara hukum sekaligus memberikan jaminan terhadap kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah tersangka korupsi.

 Setelah posisi hukumnya jelas, pemerintah daerah dapat ditata lagi. Apabila terjerat korupsi, proses ganti kepala daerah dapat segera dilaksanakan. Ketika terbukti bersih dan tak bersalah, rehabilitasi atas nama dan haknya sebagai kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah dipulihkan. Pendek kata, penuntasan di jalur hukum dapat efektif menyokong stabilitas politik pemerintah daerah.

Membingungkan

Kedua; izin Presiden berpotensi membuat bingung penegak hukum. Kenapa? Pasal 36 Ayat (2) UU Nomor 32 Tahun 2004 menyebutkan, ‘’Dalam hal persetujuan tertulis Presiden sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) tidak diberikan oleh Presiden dalam waktu paling lambat 60 hari terhitung sejak diterimanya permohonan, proses penyelidikan dan penyidikan dapat dilakukan’’. Ketentuan ini membuat bingung penegak hukum. Bahasa Kajati Jawa Tengah adalah, ‘’Lha kapan saya akan tahu (surat permohonan izin) itu diterima Presiden, coba’’.

Penegak hukum akan meraba-raba kapan mereka akan memulai memeriksa kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah yang terindikasi korupsi. Penegak hukum tentu berpikir seribu kali.

Karena ketika ia salah melangkah (memeriksa padahal izin Presiden belum terbit atau belum diterima), ia bisa dituntut melakukan pelanggaran hukum, menentang undang-undang. Dan untuk ini, tentu penegak hukum manapun tak mau berbuat gila mencobanya.

Atas dua analisis itu, izin Presiden berposisi sangat bertentangan dengan usaha pemberantasan korupsi di daerah. Di kabupaten/kota dalam wilayah Provinsi Jawa Tengah misalnya, izin Presiden sungguh menjadi benalu pemberantasan korupsi. Data KP2KKN Jawa Tengah misalnya, menunjukkan per Januari 2010 ada tiga kabupaten (Batang, Sukoharjo, Pati) serta dua kota (Magelang dan Semarang) yang belum keluar izin Presiden sehingga pemeriksaan menjadi terhambat.

Akhirnya, izin Presiden untuk memeriksa kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah terindikasi korupsi seyogianya dihapus. Penghapusan izin dapat melalui amandemen Pasal 36 UU Nomor 32 Tahun 2004. Kekuasaan mengamandemen ada di tangan DPR dan/atau melalui usulan Presiden. Semoga political will dua kekuasaan itu sudi memikirkannya. (10)

Hifdzil Alim, peneliti pada Pusat Kajian Antikorupsi Fakultas Hukum UGM
Tulisan ini disalin dari Suara Merdeka, 26 Juli 2010

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan