Mendadak Dana Saksi Parpol: Melegalkan Korupsi APBN

Koalisi untuk Akuntabilitas Keuangan Negara (KUAK) menolak pembiayaan saksi partai politik dengan uang APBN. Koalisi menilai, dana saksi parpol hanya mengesahkan perampokan APBN lewat kebijakan yang korup.

Selain tidak punya dasar hukum, usulan ini melanggar prinsip pengelolaan keuangan negara. Kebijakan ini juga koruptif dan melegalkan korupsi APBN. Total biaya penyelenggaraan pemilu juga sudah tertutup, yaitu sejumlah Rp 31,57 triliun.

Sebelumnya, mayoritas partai politik menyetujui adanya alokasi dana Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) untuk mengongkosi saksi di Tempat Pemungutan Suara (TPS) saat pemilu nanti dilangsungkan.

Hingga kini baik pemerintah dan DPR tidak mengakui  siapa yang pertama kali mengusulkan ide “brilian” ini. Anggaran untuk saksi parpol sudah diketuk sebesar Rp 658,03 miliar, namun pengampu tanggung jawab duit ongkos jalan para saksi ini belum juga ditentukan.

“Filosofi penganggaran itu harus jelas siapa yang mengusulkan, siapa yang mengelola. Ini kok tiba-tiba sudah dianggarkan, ditetapkan, tapi saling lempar siapa yang melaksanakan. Ada alternatif Bawaslu (yang melaksanakan), tapi Bawaslu menolak karena dia tidak punya dasar hukum,” tutur Abdullah Dahlan, peneliti ICW.

 “Usulan dana APBN mendanai saksi untuk parpol tidak punya dasar hukum yang jelas. UU Partai Politik maupun UU Pemilu melarang keras subsidi APBN untuk anggota parpol dalam bentuk dana saksi parpol,” jelas Roy Salam dari Indonesia Budget Centre, salah satu anggota Koalisi untuk Akuntabilitas Keuangan Negara (KuAK).

Undang-undang Partai Politik memang mengizinkan subsidi APBN bagi parpol, namun hanya  dengan tujuan pelaksanaan pendidikan politik bagi anggota parpol dan masyarakat. Namun, subsidi inipun hanya bisa diperoleh setelah parpol memenangkan kursi di DPR/DPRD. Artinya, alokasi APBN/APBD kepada parpol tidak dilakukan saat pemilu berlangsung, melainkan setelah pemilu selesai.

Selain itu, UU Pemilu melarang parpol menerima dana APBN/APBD dan juga BUMN/BUMD. Pejabat publik juga dilarang menggunakan fasilitas jabatan untuk kepentingan pemilu.

Pemberian dana saksi parpol juga melanggar Prinsip Pengelolaan Keuangan Negara yang tercantum dalam Undang-undang Keuangan Negara, bahwa setiap rupiah uang negara harus  dikelola dengan mematuhi peraturan perundang-undangan.

Menurut Abdullah, dana saksi parpol patut diduga sebagai dana siluman yang tiba-tiba disahkan, dan tidak jelas siapa yang mengusulkan. “Siapa yang mempertanggungjawabkan pengelolaan? Dari awal perencanaan saja sudah salah, apalagi implementasi,” ujarnya lagi.

Jika dana ini dipaksakan, ungkapnya, akan menciptakan preseden buruk dalam sistem perencanaan, penganggaran, dan alokasi APBN.

“Dana saksi parpol jelas-jelas tidak patut dan pemborosan. Ini  bukan untuk kepentingan publik, tapi kepentingan parpol yang bersifat semi-privat!” tegas Roy lagi.

Sebagai peserta pemilu legislatif, parpol wajib mengeluarkan biaya dari sumber yang sah menurut undang-undang, termasuk membiayai saksi. Sebab, para saksi bekerja untuk memastikan kepentingan masing-masing parpol berjalan sesuai tujuan parpol.  Maka, mengucurkan APBN buat saksi, walaupun tidak lewat parpol, berarti mengalirkan APBN kepada parpol di luar ketentuan dan menabrak undang-undang.

“Artinya ada penyalahgunaan kewenangan dan potensi kerugian negara. Ini korupsi berjama'ah,” kritik Roy.

Melegalkan korupsi APBN

Koalisi juga menilai kebijakan dana saksi sebagai upaya melegalkan korupsi APBN. Sebab, pemerintah berniat memuluskan pelaksanaan dana saksi parpol dengan mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres).

Abdullah menuturkan bahwa Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan HAM (Menkopolhukam) terpaksa harus berkordinasi dengan Bawaslu, menteri dalam negeri, dan Kementerian Keuangan dalam mencari payung hukum agar mata anggaran dana saksi parpol ini legal.

“Sehingga, diupayakan ada perpres sebagai payung hukum untuk membenarkan adanya dana saksi ini,” jelas Abdullah.

Padahal, koalisi mencatat Presiden SBY sudah tiga kali terhitung mengeluarkan instruksi presiden mengenai penyelamatan dan penghematan APBN. Bahkan melalui Sekretaris Kabinet, Presiden mewanti-wanti setiap Kementerian/ Lembaga untuk mencegah praktik kongkalingkong APBN 2013-2014.

“Jika SBY yang adalah ketua salah satu parpol dan jajaran pemerintahan menyetujui anggaran ini, maka hal ini telah memenuhi aspek korupsi kebijakan,” tegas Roy.

Menjerumuskan Bawaslu melanggar UU

Koalisi juga berpendapat usulan dana saksi parpol malah menjerumuskan Bawaslu untuk menabrak undang-undang. Sebelumnya, Bawaslu ditunjuk sebagai lembaga penyaluran dana saksi parpol. Hingga berita ini diturunkan, Bawaslu masih enggan menerima tugas dadakan yang tak sesuai fungsinya itu.

Dalam aturan soal Pemilu Legislatif, Pemilu Presiden, dan Pemilihan Kepala Daerah, Bawaslu tidak pernah ditugaskan sebagai penyalur dana subsidi bagi partai politik, termasuk dana saksi parpol sebagaimana diatur UU Penyelenggara Pemilihan Umum No. 15 Tahun 2011.

Menurut koalisi, jika Bawaslu menerima usulan ini, maka jelas Bawaslu bukan lembaga independen. Sebab, ia menjadi kaki tangan kekuasaan parpol.

Koalisi mendesak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono agar tidak mengeluarkan kebijakan yang melegalkan pemberian dana saksi parpol. “Presiden selaku pemegang otoritas pengelolaan keuangan negara berkewajiban menjaga dan mengawal akuntabilitas APBN agar tidak dihambur-hamburkan dan dikorupsi,” kata Roy.

KPK juga diminta segera menyikapi rencana penggunaan APBN 2014 untuk dana saksi parpol sebelum Perpres dikeluarkan. Ini untuk mencegah korupsi anggaran pada momentum pemilu dan deteksi awal tentang para pihak yang bertanggungjawab atas dana APBN tersebut.

Bawaslu pun didesak menolak tegas dijadikan tumpangan penyaluran dana saksi parpol. Sebagai pengawas pemilu, Bawaslu harus menjaga proses pelaksanaan pemilu dengan baik, transparan, akuntabel, professional dan menjunjung tinggi integritasnya.

Selain itu, masyarakat juga harus mengawasi ketat dan mengawal anggaran Pemilu. “Tingginya biaya pemilu berpotensi ‘dibelokkan’ untuk kepentingan parpol,” ujar Roy.

Koalisi Untuk Akuntabilitas Keuangan Negara (KUAK) terdiri dari: Indonesia Budget Center (IBC), Lingkar Madani Indonesia (LIMA), Transparansi Internasional Indonesia (TII), Indonesia Corruption Watch (ICW), Komite Pemilih Indonesia (TePI), Yayasan Penguatan Partisipasi, Inisiatif dan Kemitraan Masyarakat Indonesia (Yappika), dan Perkumpulan Pemilu dan Demokrasi (Perludem).

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan